HOME OPINI TAJUK

  • Kamis, 2 Mei 2019

Memperingati Hardiknas, Sambil Menunggu Hasil Pemilu

Para siswa berbaris
Para siswa berbaris

Memperingati Hardiknas, Sambil Menunggu Hasil Pemilu

Hari ini 2 Mei. Aparatur Negara di semua level pemerintah mengikuti upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). “Menguatkan pendidikan, memajukan kebudayaan” itulah tema besar peringatan Hardiknas 2019.  

Sebagaimana diketahui, Hardiknas yang ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 ini, dan diperingati setiap tahun sekaligus juga merayakan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia.

Dikutip dari Wikipedia, Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.

Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia. Filosofinya, tut wuri handayani  ("di belakang memberi dorongan"), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia. Ia wafat pada tanggal 26 April1959. Untuk menghormati jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan Indonesia, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Lalu, kini dunia pendidikan pun berjalan. Pemerintah dengan alokasi anggaran yang besar, 20 persen dari APBN, berusaha mengelola dunia pendidikan untuk mencapai tujuan ideal sebagaimana termaktub dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas); Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jelas bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Membentuk watak dan peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa! Ini bukan perkara main-main. Dan bagaimana hasilnya saat ini, setelah sekitar 74 tahun kita merdeka?

Masih banyak dipertontonkan watak yang mau menang sendiri, seperti debat yang mengarah kasar dan menyerang personal dalam ruang-ruang diskusi yang diikuti para cendekiawan dan tokoh-tokoh yang punya kapasitas. Bertambah-tambah sejak setahun terakhir, sehingga menaikkan tensi politik ke arah yang menguatirkan.

Begitu pula tentang peradaban. Dengan kemajemukan suku bangsa yang menghuni negara ini, adalah keniscayaan bilamana kebudayaan dan peradaban berbeda-beda pula. Atas dasar itulah dicantumkan di kaki Burung Garuda; Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka dalam kebudayaan, tunggal dalam bernegara. Tetapi pertanyaannya, apakah saat ini kita hidup dalam kebudayaan dan peradaban kita sendiri, atau—seperti diskusi saya via whatsapp dengan seorang cendekia yang “puasa bicara” lantaran kegeramannya (mungkin) atas semua sengkarut yang terjadi dalam peri kehidupan berbangsa kita saat ini—kita hidup dalam peradaban global yang memang tidak mampu dibendung arus derasnya merasuk hingga ke dalam bilik-bilik dan saku-saku kita?

Apalagi jika lebih dalam ditelaah, bahwa peradaban yang berakar pada ide dan menyangkut kemajuan material (ilmu pengetahuan dan teknologi/iptek), penataan sosial dan aspek kemajuan lain, sedangkan kebudayaan yang juga berakar pada ide mengenai nilai, tujuan, pemikiran yang ditransmisikan melalui ilmu, seni dan agama suatu masyarakat, maka manakala akar kebudayaan sudah rapuh, peradaban pun akan cenderung liar mengikuti perkembangan iptek dan aspek sosial serta kemajuan yang dominan!

Alhasil, lantaran peradaban kita sudah bukan lagi sesuatu yang mengakar pada kebudayaan, melainkan diindoktrinasi melalui ragam media kepada kita saban detik, sudah jelas kita tidak bisa bicara tentang “martabat bangsa”! Karena harga diri dilandasi oleh prinsip-prinsip yang mengakar dan terawat sejak lama, maka mustahil kita akan tersinggung bilamana anak-anak kita saat ini lebih gandrung budaya K Pop daripada asyik menyimak saluang.

Lalu, semua yang sudah dilakukan itu adalah dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Nah, siapa bilang bangsa kita tidak cerdas? Sejumlah putra terbaik bangsa ini diakui kepakarannya di dunia internasional. Secara lintas kelimuan, selalu ada orang hebat kita yang disegani secara global.

Tetapi, apakah bangsa ini sudah cerdas? Apakah “kehidupan bangsa” ini sudah cerdas? Apakah kita sudah cerdas manakala berdebat tidak karuan, saling teriak di ruang publik? Apakah kita sudah cerdas dengan menyalahkan sistem yang dibuat bersama untuk menghalalkan pendapat? Apakah kita sudah cerdas bilamana saluran-saluran lain dibawa-bawa untuk tumpah ruah mengepung saluran formal yang dijamin regulasi?

Apakah kita sudah cerdas manakala semakin jarang cendekiawan yang menyebarkan kebenaran keilmuan bilamana dihadapkan pada sesuatu yang lebih besar, seperti berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian yang merajalela belakangan ini?

Atau tiba-tiba para cendekiawan itu memang “puasa bicara”? Mungkin, seperti kata kawan saya yang cendekiawan itu mengatakan; Saat ini, bila kita berbicara/berpendapat, bukan peradaban yang terbangun, tapi perdebatan!

Entah tajuk ini akan bernasib serupa? EGP saja lah dulu.

Yang penting, tajuk ini ingin menyuarakan bahwa, sesuai pasal 1 UU Sisdiknas; Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara, kita perlu introspeksi apakah urusan pendidikan di negara ini sudah sesuai dengan beleid yang disepakati itu?

Dengan indikasi-indikasi yang dituliskan di atas, poin kita adalah bahwa sudah harus dibahas secara lebih mendalam terkait urusan pendidikan sebagaimana fungsi dan tujuan yang sudah termaktub dalam UU 20/2003. Tentu saja dalam rangka “menguatkan pendidikan, memajukan kebudayaan” seperti tema besar hardiknas tahun ini. 


Tag :Tajuk #Hardiknas

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com