HOME VIRAL SELEB

  • Senin, 8 Desember 2025

Krisis Adat Dan Penderitaan Anak Dalam Lagu Ba Ayah Lai Babako Tido: Analisis Kritik Sastra Pradopo

 Ba Ayah Lai Babako Tido
Ba Ayah Lai Babako Tido

Krisis Adat dan Penderitaan Anak dalam Lagu Ba Ayah Lai Babako Tido: Analisis Kritik Sastra Pradopo

Oleh: Andika Putra Wardana  

(Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)

Lirik Lagu "Ba Ayah Lai Babako Tido" - Ipank
(Minang)

Salah yo salah bana
Mandeh manjalin cinto
Jo mamak balahan kanduang
Mangko kami taniayo
Lai ba ayah babako tido
Siriah jo pinang kini lah samo
Lah tatilungkuik rupo carano
Adaik barubah kami ko seso
Adaik barubah kami ko taniayo
Niniak mamak urang tapandang
Batungkek di rumah gadang
Kama malu ka kami buang
Lah tau urang sa kampuang
Mandeh kami lah gadang-gadang
Kaba barito barunyo datang
Tasuruak malu jo ranah minang
Mangkonyo lupo jalan ka pulang
Mangkonyo lupo jalan ka pulang
[Chorus]
Ka Tuhan kuaso mamintak ampun
Lah abih dayo jo pinto
Ka Tuhan kuaso basarah diri
Lah tajadi ka dipangakan
Mandeh kami lah gadang-gadang
Kaba barito barunyo datang
Tasuruak malu jo ranah minang
Mangkonyo lupo jalan ka pulang
Mangkonyo lupo jalan ka pulang

Analisis Kritik Sastra

Berdasarkan Prinsip Rachmat Djoko Pradopo

I. Alasan Pemilihan Objek (Lagu "Ba Ayah Lai Babako Tido")

Lagu "Ba Ayah Lai Babako Tido" karya Ipank dipilih sebagai objek kajian kritik sastra karena beberapa alasan utama yang sangat relevan dengan pendekatan Rachmat Djoko Pradopo:

1. Kandungan Konflik Sosial dan Adat yang Kuat: Lagu ini mengangkat tema yang sangat sensitif dan mendalam dalam konteks Adat Minangkabau (terkait hubungan terlarang antara kerabat kandung/dekat), yang berujung pada penderitaan anak-anak. Ini memberikan materi analisis yang kaya akan unsur ekstrinsik (konteks sosial dan budaya) yang ditekankan oleh Pradopo.

2. Nilai Moral dan Kemanusiaan Universal: Meskipun berlatar adat Minang, tema sentral tentang penyimpangan, penyesalan, dan penderitaan anak tak berdosa merupakan pengalaman batin dan dilema moral yang bersifat universal. Hal ini sesuai dengan pandangan Pradopo bahwa karya sastra yang baik harus menyentuh nilai kemanusiaan universal.

3. Kekayaan Bahasa dan Estetika Lisan: Sebagai lagu Minang, liriknya menggunakan gaya bahasa yang puitis, kiasan, dan emosional khas sastra lisan (seperti pepatah/pantun). Ini memberikan landasan kuat untuk mengkaji unsur estetika (keindahan ekspresif, bentuk, dan isi) yang juga menjadi fokus Pradopo.

II. Analisis Menggunakan Prinsip Kritik Sastra Rachmat Djoko Pradopo

Prinsip kritik sastra menurut Pradopo menekankan analisis menyeluruh pada unsur intrinsik dan ekstrinsik, objektif, ilmiah, dan estetik. Analisis dapat dibagi menjadi tiga aspek utama:

1. Unsur Estetika dan Gaya Bahasa

Aspek ini menilai keindahan ekspresif lirik, di mana bentuk dan isi saling menguatkan.

* Metafora dan Kiasan Adat: Penggunaan frasa inti "Lai ba ayah babako tido" (Berayah ada, berbako/paman tidak ada) adalah sebuah kiasan mendalam yang melambangkan sesat adat atau status anak yang tidak diakui secara adat karena hubungan orang tuanya terlarang.

* Simbolisme dan Irama: Kalimat seperti "Siriah jo pinang kini lah samo / Lah tatilungkuik rupo carano" (Sirih dan pinang kini sudah sama / Carano sudah terbalik) menggunakan simbolisme adat Minang (sirih-pinang/carano adalah simbol kesopanan dan adat) untuk menggambarkan rusaknya adat dan kehormatan.

* Keindahan Ekspresif: Repetisi pada bagian penyesalan, seperti "Mangkonyo lupo jalan ka pulang," memperkuat nada emosional dan penderitaan tokoh. Hal ini menunjukkan keindahan ekspresif karena bentuk (repetisi) memperkuat isi (penyesalan dan malu).

2. Nilai Moral dan Kemanusiaan

Aspek ini mengkaji pesan moral dan relevansi nilai kemanusiaan universal.

* Dilema Moral: Lagu ini menghadirkan dilema moral yang berat yakni kesalahan orang tua yang berdampak pada anak ("Mangko kami taniayo"). Nilai moralnya adalah tentang pertanggungjawaban atas perbuatan dan penderitaan generasi yang menanggung malu akibat penyimpangan etika dan adat.

* Penyesalan dan Tobat: Ada dimensi reflektif dan spiritual yang kuat, seperti baris "Ka Tuhan kuaso mamintak ampun" dan "Ka Tuhan kuaso basarah diri," yang mengangkat tema penyesalan dan pasrah kepada Tuhan (nilai religiusitas universal).

* Tema Penderitaan Anak: Penderitaan anak yang "tidak punya bako" (tidak punya sanak laki-laki dari pihak ibu yang sah) adalah tema kemanusiaan universal tentang hilangnya identitas dan pengakuan sosial.

3. Fungsi Sosial dan Konteks Budaya (Ekstrinsik)

Aspek ini menganalisis fungsi karya sastra dalam konteks sosial, budaya, dan mendidik.

* Cermin Adat Minangkabau: Lagu ini berfungsi sebagai cermin kritis terhadap pelanggaran adat (sumbang dalam Minang) yang sangat dilarang. Adat tidak hanya mengatur hubungan pribadi, tetapi juga martabat kaum (kelompok keluarga besar).

* Fungsi Didaktik: Lagu ini mendidik pendengar secara tidak langsung tentang pentingnya menjaga norma, batas hubungan, dan kehormatan dalam tatanan sosial Minangkabau. Liriknya menjadi pengingat (suluah) bahwa penyimpangan moral membawa konsekuensi sosial yang abadi.

* Dimensi Psikologis: Rasa malu yang mendalam ("Kama malu ka kami buang / Lah tau urang sa kampuang") menunjukkan dimensi psikologis yang menjadi dampak dari kesalahan (penyesalan kolektif dan pribadi).
 


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :Lagu Minang, Ipank, Krisis Adat, Penderitaan Anak

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com