HOME OPINI OPINI

  • Rabu, 26 Juni 2024

Harmoni Adat Dan Syariat Di Minangkabau Dalam Mamangan Adat Basampiang, Syarak Batalanjang

Penulis: Nurul Fadila
Penulis: Nurul Fadila

Harmoni Adat dan Syariat di Minangkabau Dalam Mamangan Adat Basampiang, Syarak Batalanjang

Oleh: Nurul Fadila

Jika kita mengkaji tambo alam Minangkabau dan memperhatikan bagaimana masyarakat Minangkabau terbentuk dengan adat tradisinya kemudian berakulturasi dengan syariat Islam yang datang bersama pedagang dari jazirah arab, maka kita akan melihat bagaimana dua hal tersebut dapat membentuk harmoni masyarakat Minangkabau yang saat ini kita lihat.

Ada sebuah konsep yang tertuang dalam mamangan yang berbunyi  “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang berarti adat bersendi syariat, syariat bersendi kitabullah (Al-Qur’an ) . Mamangan ini dikenal luas oleh banyak orang dan menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau.

Namun ada proses panjang dalam integrasi antara adat dan syariat Islam hingga dapat mencapai hasil berupa mamangan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ini. Salah satu mamangan lain yang turut dikenal untuk menggambarkan integrasi antara adat dan syariat Islam di Minangkabau adalah mamangan yang berbunyi “adat basampiang, syarak batalanjang” (adat bersamping, syariat bertelanjang)

Mamangan  adat basampiang syarak batalanjang dapat kita kategorikan sebagai majas yang berjenis personifikasi, yaitu majas yang mengibaratkan objek mati atau bukan manusia melakukan sifat layaknya manusia. Dalam mamangan tersebut jika kita mengibaratkan adat dan syarak sebagai manusia, lalu melakukan tindakan basamping dan   batalanjang.

Jika kita membaca atau mendengarkan mamangan ini secara sekilas saja, mungkin akan melihat bahwa mamangan ini justru tertentangan dan kontras. Adat yang mungkin bisa kita sebut sebagai hal yang bebas, dibuat oleh manusia, tercipta dari kebiasaan digambarkan basampiang atau mengenakan kain untuk menutupi tubuh bagian bawah. Akan tetapi syarak yang tergambarkan dalam pikiran kita adalah hal yang baik, bersih dan beretika justru digambarkan oleh mamangan ini bertelanjang yang mana akan mengarah ke negatif.

Akan tetapi makna sebenarnya dari mamangan ini adalah menunjukan keharmonisan dari integrasi antara adat dan syariat tadi. Adat kebiasaan telah ada dan dijalani oleh nenek moyang kita sebelum syariat Islam datang. Adat kebiasaan dahulu dapat kita katakan kontras dengan aturan aturan dari Allah SWT yang diajarkan dalam syariat. Adat yang dulu adalah adat yang “batalanjang”.

Masih ada perjudian, sabung ayam, bertaruh, dan minuman keras untuk mabuk mabukan. Dan hal tersebut adalah hal yang biasa dalam pandangan adat dulu. Sehingga, dalam mamangan yang kini tergambarkan sebagai adat basampiang, karena adat dilengkapi dan diberi pakaian oleh aturan dalam syariat Islam.

Ini juga sangat sejalan dengan mamangan lainnya yang berbunyi syarak “mangato, adat mamakai”.  Adat memakai dari apa yang dikatakan syarak. Apa yang diperintahkan dalam syariat Islam diterapkan dan diimplementasikan dalam adat kebiasaan masyarakat Minangkabau.

Lalu bagaimana dengan syariat yang digambarkan batalanjang tadi? Syarak justru harus batalanjang. Batalanjang dalam mamangan ini konteksnya oleh orang Minangkabau adalah syariat haruslah tegas dan transparan dalam menetapkan yang benar dan yang salah, antara yang haq dengan yang bathil. Syariat Islam tidak boleh diubah ubah. Ia haruslah sebagaimana mestinya ia datang dari Allah SWT dan dibawa ajarannya oleh nabi Muhammad Saw.

(Penulis Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas Padang)

 


Tag :#Harmoni Adat dan Syariat #Mamangan Adat

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com