HOME OPINI OPINI

  • Rabu, 6 Oktober 2021

Berguru Ke Alam

Lindawati
Lindawati

Berguru ke Alam

Oleh: Lindawati*

  1. Pendahuluan

            Kata alam bagi orang Minang memiliki makna yang dalam. Alam adalah segala-galanya, bukan hanya tempat hidup, berkembang, dan  mati, tetapi juga memiliki makna filosofi sebagai sumber pengetahuan, inspirasi (Alam Takambang Jadi Guru) (Navis, 1984:59). Orang Minang tergantung pada alam dalam kontek epistimologi, karena pola konsepsi masyarakat dibangun melalui pengamatan terhadap alam. Bentuk, sifat, dan ciri alam direkam dalam kata, dimetaforakan dan kemudian dijadikan kembali sebagai sumber pengetahuan dan pandangan hidup.

            Dalam khasanah perbendaharaan bahasa Minangkabau ditemukan banyak bentuk dan konstruksi kiasan yang berisi suruhan dan larangan. Pada kesempatan ini, bahasan dibatasi pada mamangan yang kontruksinya menyimpang. Penyimpangan ini dapat dilihat dari tidak adanya keserasian bentuk dan makna dari unsur-unsur pembentuk mamangan itu. Ujaran dalam bentuk mamangan yang antara kategori, bentuk, dan maknanya terjadi ketidakserasian disebut mamangan Anomalous. Contoh mamangan anomalous itu di antaranya adalah : 1. Tagang bajelo-jelo kandua badantiang-dantiang Tegang beruntai-untai, kendur berdenting-denting.’ 2. Kurangi nan randah nak samo tinggi jo nan tinggi, tambah nan tinggi nak samo  randahi jo nan randah.

‘Kurangi yang rendah agar sama tinggi dengan yang tinggi, tambah yang tinggi agar sama rendah dengan yang rendah’

Dengan logika bahasa biasa, tidak mungkin bisa dipahami arti dan maksud kedua mamangan itu karena terdapat ketidakserasian konstruksi makna kata yang membentuk mamangan itu. Kedua mamangan di atas dikatakan anomalus, karena pada kedua mamangan itu ditemukan pelanggaran terhadap keselarasan kategori atau keselarasan makna elemen pembentuk mamangan itu. Pada mamangan pertama misalnya, konstruksi Tagang bajelo-jelo kandua badantiang-badantiang dantiang Tegang beruntai-untai, kendur berdenting-denting, jika dipahami sebagai pernyataan mengenai keadaan untaian tali atau benang, maka terlihat adanya kejanggalan. Tidak mungkin tali atau benang yang teruntai berada dalam keadan tegang dan yang tegang akan teruntai atau beruntai. Ungkapan atau peribahasa itu dapat dikatakan ujaran yang anomalus karena secara semantik memperlihatkan gejala yang kontradiktif.

Demikian juga halnya dengan peribahasa kedua yang berbunyi Kurangi nan randah nak samo tinggi jo nan tinggi, tambah nan tinggi nak samo randahi jo nan randah. Menurut logika biasa, sesuatu yang berada dalam keadaan rendah tidak mungkin dikurangi lagi untuk bisa sama dengan yang tinggi. Demikian juga dengan penggalan kedua, sesuatu yang sudah berada dalam keadaan tinggi tidak mungkin lagi ditambah untuk bisa sama dengan yang rendah.

2. Alam sebagai Sumber Inspirasi Pembentukan Mamangan Minangkabau

            Mamangan (peribahasa) merupakan kristalisasi dari hasil pemikiran (pemahaman) manusia tentang sesuatu. Sebahagian dari mamangan (peribahasa itu) dilahirkan  dengan memahami sifat alam sekitar. Mamangan yang anomalous yang secara logika bahasa biasa memperlihatkan kejanggalan atau kontradiksi  secara faktual fisikal bisa dibuktikan atau ditemukan di sekitar lingkungan kita. Fenomena tagang bajelo, kandua badantiang misalnya, bisa kita temukan pada layang-layang yang sedang terbang di udara. Kalau dilihat dan dirasa, tali layang-layang tampak dalam keadaan tegang tetapi terlihat kendur. Bila dipetik akan terasa tegang dan itu dapat  menghasilkan bunyi.

Sesungguhnya, peribahasa ini mengajarkan orang terutama pemimpin agar bijaksana dalam menerapkan aturan yang sudah ditetapkan dan disepakati. Adakalanya aturan itu harus diterapkan secara ketat dan kadang-kadang diperlukan toleransi. Bagaimana menerapkannya, disitulah diperlukan kearifan dan kebijaksanaan seorang pemimpin.

            Fenomena fisikal untuk mamangan tambah nan tinggi nak samo randah jo nan randah, kurangi nan randah nak samo tinggi jo nan tinggi dapat kita lihat pada benda timbangan duduk. Jika menimbang sesuatu, antara yang ditimbang dengan anak timbangan harus berada dalam seimbang. Untuk mencapai keseimbangan, maka yang ditimbang jika berada pada keadaan tinggi harus ditambah agar turun hingga mencapai keseimbangan. Atau, dengan cara mengurangi anak timbangan jika dia berada pada posisi bawah agar dapat mencapai keseimbangan.

            Mamangan ini berisi ajaran agar orang selalu berusaha mencapai keseimbangan dalam segala hal untuk tujuan yang lebih dalam yaitu mencapai keharmonisan. Seseorang yang sangat pintar, jika  berkomunikasi dengan orang yang kurang pintar (bodoh) maka dia seharusnya berusaha “mengurangi kepintarannya”. Sebaliknya pihak yang bodoh juga harus berusaha untuk meningkatkan kepintarannya agar komunikasi antara orang yang pintar dengan orang yang kurang pintar dapat berjalan dengan lancar. Kedua mamangan Minangkabau yang kelihatan kontradiktifnya itu ternyata dapat ditemukan secara fisikal di alam sekeliling . Inilah  barangkali yang di maksud dengan alam takambang jadi guru itu.

Mamangan ini baru dapat dipahami maknanya apabila dikaitkan dengan konteks lingual dan konteks ekstra lingual. Konteks lingual dapat berupa kata, frasa, kalimat yang mendahului dan yang mengikuti mamangan itu. Konteks ekstra lingual dapat berupa penutur, lawan tutur, setting dan topik yang dibahas.

3. Kesimpulan

 Mamangan merupakan bagian dari kiasan yang berisi nasehat. Mamangan menjadi pedoman orang dalam bertingkah laku dan sekaligus membentuk pola perilaku hubungan sosial dalam masyarakat. Mamangan merupkan kristalisasi pengalaman batin masyarakat Minangkabau yang inspirasinya bersumber dari alam. Di antara mamangan-mamangan yang ada dalam khazanah perbendaharaan kiasan Minangkabau terdapat mamangan yang berkonstruksi anomalous. Pada mamangan anomalous ini terdapat penyimpangan. Penyimpangan itu dapat terlihat dari adanya ketidakselarasan antara bentuk dan makna. Di antara mamangan anomalous itu ada yang fenomena fisiknya dapat ditemukan di alam sekeliling kita. Mamangan anomalous dalam bahasa Minangkabau bukanlah ujaran yang tak bermakna, karena ujaran ini sangat dalam artinya dan sangat bermakna bagi orang Minang. Mamangan yang seperti itu biasanya dituturkan oleh orang yang pintar, arif, dan bijaksana.

*Dosen Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 


Tag :#Opini # Lindawati

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com