HOME OPINI OPINI

  • Senin, 12 Desember 2022

BELAJAR DI SURAU

Lindawati
Lindawati

BELAJAR DI SURAU

Oleh: Lindawati*

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 

Dulu, suasana kehidupan di kampung Minangkabau umumnya, orang hidup dalam lingkungan keluarga luas. Pendidikan sosial mereka terima dari lingkungan: mamak mengajari kamanakan, mande (perempuan-perempuan sepesukuan dengan ibu ego) bertanggung jawab mengasuh dan mengajari anak-anaknya (artinya anak saudara perempuannya). Itulah sebabnya ‘anak  kampung’ itu mempunyai nilai sosial dan nilai moral yang sama. Bila seorang tua memarahi anak siapa pun di kampung itu atas kelakuan mereka yang tidak patut, orang tua anak itu tidak marah kepada orang yang memarahi anaknya itu. Pertimbangannya adalah bila anaknya berkelakuan salah yang sangat mungkin terbawa ke kampung lain maka itu akan membuat malu kampung asalnya.

Surau adalah institusi terpenting dalam kebudayaan Minangkabau. Di surau inilah anak-anak Minangkabau belajar segala hal tentang kehidupan, baik tentang konsep hidup maupun ketrampilan untuk kehidupan, termasuk olah raga beladiri seperti silek ‘silat’. Demikian pentingnya institusi ini sehingga direkam dalam bahasanya. Dalam bahasa Minangkabau ada beberapa idiom yang menggunakan kata surau. Idiom-idiom itu diantaranya adalah:

  • ka surau ‘ke surau’/‘pergi ke surau’. Orang yang pergi kesurau biasanya bertujuan untuk mengaji. Dalam arti yang sempit mempelajari Alquran dan dalam arti yang luas mempelajari berbagai hal tentang dunia dan kehidupan. Orang yang ke surau mengaji dipersepsi oleh masyarakat sebagai orang yang berpelajaran atau berilmu.  
  • sasurau ‘sesurau’/ ‘surau yang sama’. Orang belajar di surau yang sama berkemungkinan besar punya sikap dan fikiran sama. Kalau di rantau, misalnya muncul silang sengketa sesama anak muda yang berasal dari Minang kalau sudah sama-sama tahu bahwa mereka sealiran (dalam persilatan), mereka tidak boleh melanjutkan perkelahian, langsung bersalaman, walaupun mereka belajar di surau yang berbeda secara fisik dan diajar oleh guru yang berbeda.
  • urang indak ka surau ‘orang tidak ke surau’ Artinya mengacu kepada orang-orang yang tidak memakaikan adab sopan santun dan tenggang menenggang dalam kehidupan’
  • urang surau (orang alim),
  • kaji surau (adab dan adat menurut ajaran agama islam) (Amir, 2011, 2012).

Dengan kebijakan pemerintah mengganti kata surau dengan mushalla, maka spirit kata surau pun musnah. Idiom urang mushalla tidak  sama dengan urang suaru, bahkan muazim pun bukan; mungkin hanya berarti ‘orang yang tinggal dekat mushalla’ (Amir, 2013). Seterusnya, idiom yang lain pun hilang dalam perbahasaan orang Minangkabau padahal sejatinya surau adalah lembaga kecendekiaan dalam kebudayaan Minangkabau; di sana orang belajar agama, di sana orang membaca kitab, di sana orang menulis kitab-kitab baik dalam bahasa melayu maupun dalam bahasa Arab, di sana masalah sosial dibicarakan dan diselesaikan (Amir, 2011). Dari surau pulalah digelorakan semangat berjuang melawan penjajah Belanda.

 Demikianlah pentingnya surau dalam kebudayaan Minangkabau. Jadi, surau bukan hanya sebuah bangunan, bukan pula hanya sebuah kata; ia adalah pusat kecendikaan (center for excellent). Di surau, anak-anak belajar berbagai ilmu agama, mulai dari belajar membaca al-Quran, pelajaran adab (etika), dan pelajaran pengetahuan agama (fikih). Pelajaran itu harus mereka  pakaikan dalam kehidupan sehari-hari; lingkungannya akan mengawasi terlaksananya pelajaran itu.

Di surau, guru boleh memarahi murid-murid itu bahkan sampai memukul mereka. Dalam realitanya, ketika seorang guru di surau memarahi murid, disitu tekandung dua hal penting. Pertama, orang tua mengantar dan mempercayakan bulek-bulek (‘sepenuhnya’) pendidikan anaknya kepada guru, guru boleh memarahi anak itu bahkan sampai memukul. Dimasa lampau yang jauh, bahkan orang tua membawakan sepotong rotan bagi guru untuk memukul anaknya. Betapapun itu sebuah perlambang atau simbol saja, tetapi simbol itu menyatakan, kepercayaan yang diberikan orang tua murid kepada  guru. Kedua, dari pihak guru, marah itu menjadi sebagian dari metode pengajaran. Bila harus memukul, ada bagian tertentu yang dipukul. Biasanya, tahap pertama tapak kaki; dipukul 5 sampai 10 kali. Bila masih membuat kesalahan, dipukul tapak tangan, 5 sampai 10 kali. Ada juga yang dipukul  pahanya, biasanya anak laki-laki. Tidak ada guru yang ‘manangani’ (memukuli) muridnya sampai cedera atau teraniaya (bahasa populernya tidak ada yang sampai babak belur). Hebatnya, tidak  ada masalah HAM yang timbul meskipun guru memukul murid itu. Kalau dilihat dengan kacamata medis sekarang (pijat refleksi) memukul-mukul telapak kaki atau tangan malah jadi sehat.

Sekarang, dengan surau sudah bertransformasi menjadi mussolla dan mesjid. Secara fisik memang boleh berubah, tetapi konsep, ide, semangat mungkin ada yang bisa dan perlu tetap dihidupkan.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Tag :#Opini #Lindawati #Surau

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com