HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Senin, 14 Maret 2022

Miskominikasi Dalam Bahasa Minangkabau

Rona
Rona

 Miskominikasi dalam Bahasa Minangkabau

Oleh: Rona Almos*

Miskomunikasi antarbudaya dapat digambarkan sebagai masalah komunikasi di antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Menurut Chick (1996) ada lima sumber miskomunikasi antarbuda yakni pertama, transfer sosiolinguistik. Transfer sosiolinguistik adalah penggunaan aturan berbicara dari komunitas bahasa atau kelompok budaya sendiri ketika berinteraksi dengan anggota komunitas lain. Hal ini juga dapat dilihat antara orang-orang dengan bahasa ibu yang sama, tetapi termasuk dalam komunitas tutur yang memiliki aturan berbicara yang berbeda. Kedua, perbedaan distribusi pujian di komunitas yang berbeda. Perbedaan distribusi pujian di komunitas yang berbeda sering terjadi masalah interaksional ketika anggota satu kelompok budaya memuji dalam situasi di mana pujian tidak pantas untuk anggota kelompok lain. Ketiga, perbedaan sistematis dalam isyarat kontekstualisasi. Perbedaan sistematis dalam isyarat kontektualisasi berupa pesan verbal dan nonverbal: pilihan leksikal, sintaksis, fonologis, prosodik, dan paralinguistik; penggunaan ekspresi formula, alih kode, dan alih gaya; dan perubahan dalam konfigurasi postural, gerak tubuh, dan ekspresi wajah. Keempat, intonasi. Intonasi pada bahasa yang berbeda memiliki intonasi yang berbeda pula, penutur dapat mengeksploitasi intonasi dengan cara yang berbeda. Kelima, strategi kesatuan. strategi kesantunan yang berbeda dalam budaya yang berbeda sebagai sumber terakhir dari miskomunikasi.

Miskomunikasi yang terjadi di dunia akademik seperti di kampus sering kita dengar karena latar belakang budaya yang berbeda. Hubungan antarbudaya dalam berkomunikasi penting untuk dipahami oleh sesama penutur  karena melalui budayalah para penutur dapat berkomunikasi tanpa hambatan. Dengan kata lain budaya itu sangat mempengaruhi komunikasi seseorang. Karena budaya berbeda satu sama lain, praktik komunikasi dan perilaku individu yang tumbuh dalam budaya tersebut juga berbeda. Sebagai contoh dapat kita perhatikan data di bawah ini.

Penutur            : lapa   ang?                            Ka       kantin awaklah

                          lapar kamu (laki-laki)            ke        kantin kita

                         ‘Kamu lapar? Ayo ke kentin.’

Mitra tutur       : Nah

                        ‘Ayo.’

            Pada data di atas dapat dijelaskan bahwa komunikasi di atas terjadi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Karena sudah siang penutur bertanya kepada mitra tutur lapa ang? ‘Kamu lapar?’. Kata lapa pada tuturan di atas dapat diartikan sebagai lapar; berasa ingin makan karena perut lapar. Kata lapa yang memiliki makna lapar ketika penuturnya berasal dari daerah Pariaman dan Bukittinggi. Namun kata lapa memiliki makna yang berbeda ketika dituturkan oleh penutur dari Padang. Bagi penutur yang berasal dari Padang kata lapa diartikan rakus; suka makan banyak dengan tidak memilih; lahap. 

            Berdasarkan pendapat Chick (1996) di atas mengenai sumber miskomunikasi, kata lapa dapat kita jadikan data pada sumber miskomunikasi perbedaan sistematis dalam isyarat kontekstualisasi. Ketika penutur mengatakan kata lapa sambil mengusap-usap perutnya kata tersebut dapat diartikan sebagai lapar. Sementara penutur mengatakan lapa diiringi dengan ekspresi muka masam disertai melihat teman di sampaingnya dengan sudut mata ini bisa dimaknai sebagai rakus. Selain itu kata lapa dalam sumber miskomunikasi intonasi dapat juga dijadikan data. Jika intonasi pada akhir kata menurun ini dapat diartikan lapar. Namun, jika intonasi akhir kata naik kata tersebut diartikan sebagai rakus.

            Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa kesalahpahaman dalam menginterpretasikan tuturan sering diakibatkan karena pembawa pesan (penutur) tidak memahami latar belakang budaya penerima pesan (mitra tutur) atau salah dalam memakai saluran atau tempat berlalunya pesan. Hubungan antarbudaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya. Agar tidak terjadi miskomunikasi maka penutur dan mitra tutur sebaiknya saling memahami budaya mereka. 

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand

 

 


Tag :#Opini #Didaktika #Rona Almos

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com