HOME OPINI OPINI

  • Selasa, 6 Juni 2023

Minangkabau Dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (4)

Orasi Ilmiah Herry
Orasi Ilmiah Herry

Minangkabau dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (4)

Oleh: Herry Nur Hidayat*

 

Pada bagian sebelumnya, saya telah uraikan film Salah Asuhan dan film Para Perintis Kemerdekaan karya sutradara Asrul Sani. Keduanya diangkat dari karya sastra yaitu novel. Keduanya juga ditampilkan secara berbeda oleh sutradara dengan mengolahnya menjadi karya yang berbeda, terutama Para Perintis Kemerdekaan. Kedua film tersebut seolah menjadi salah satu bukti perjalanan industri perfilman Indonesia pada era Orde Baru yang mengedepankan pembangunan karakter nasional dan kebangsaan. Pada era tersebut terdapat dua judul film, Titian Serambut Dibelah Tujuh (Chaerul Umam, 1982) dan 7 Manusia Harimau (Imam Tantowi, 1986), yang oleh sebab beberapa keterbatasan saya belum bisa menguraikannya dalam rangkaian tulisan ini. Pada bagian ini saya hendak menguraikan film yang dianggap sebagai tonggak kebangkitan film Indonesia berbasis etnisitas yaitu film Merantau.

 

Merantau (Gareth Evans, 2009)

Meskipun digarap oleh sutradara asing, film Merantau dapat dipandang sebagai film yang mengangkat budaya dan tradisi Minangkabau. Film Merantau ini disebut sebagai film laga dengan silek sebagai andalannya. Film ini dibuka dengan aksi silek tokoh Yuda di sebuah lanskap.

Melalui narasi yang disampaikan narator, dapat diduga isi cerita film. Sebuah kisah seorang pemuda dalam perantauannya. Sebagai salah satu tradisi Minangkabau, merantau adalah ajang menimba sekaligus mengasah pengetahuan dalam kehidupan. Filosofi alam takambang jadi guru (Alam semesta menjadi guru pembimbing) menjadi dasar tradisi merantau ini. Di samping itu, tampilnya Yuda di awal film juga membangun kesan bahwa dialah tokoh utama dalam cerita film ini.

Film Merantau ini bercerita tentang tokoh Yuda. Yuda adalah seorang pemuda asal Bukittinggi yang pergi merantau ke Jakarta. Di perjalanan, Yuda bertemu dengan Erik yang juga seorang perantau. Dalam percakapannya dengan Erik dapat diketahui bahwa niatnya merantau adalah untuk mengajar silek (silat). Di Jakarta, alamat yang dia cari ternyata sudah tidak ada lagi. Saat menangkap Adit, anak lelaki yang mencuri dompetnya, Yuda bertemu dengan Astri yang dianiaya Joni. Astri adalah gadis penari di klub milik Joni. Rupanya Joni berniat menjual Astri pada Ratger. Dalam usahanya menolong dan membebaskan Astri, Yuda bertemu Erik yang disewa untuk menyingkirkannya. Erik tewas ditembak anak buah Ratger. Yuda pun tewas setelah mengalahkan dan membunuh Ratger. Akhirnya, Astri dan Adit pergi ke Bukittinggi tinggal bersama ibu Yuda dan Yayan kakak Yuda.

Description: D:\_SEKOLAHposterMerantau.jpg

Poster film Merantau (sumber: filmindonesia.or.id)

 

Secara umum, cerita film Merantau ini mengandung cerita klasik tentang kepahlawanan dan pertarungan antara kebaikan dengan kejahatan. Yuda pada sisi kebaikan serta Ratger dan Joni pada sisi kejahatan. Pertarungan tersebut terjadi oleh karena adanya kelompok yang lemah yang diperebutkan, dalam hal ini Astri. Pengaluran melalui bangunan konflik tokoh-tokohnya mengarahkan pada peristiwa-peristiwa yang sudah dapat diduga. Akan tetapi, kelemahan pada alur cerita film ini tampaknya dapat ditutup oleh tampilan aksi laga melalui perkelahian dan pertarungan tokoh. Ketegangan yang coba dibangun melalui adegan perkelahian dapat menutupi tempo pengaluran cerita yang monoton.

Terlepas dari banyaknya kritik terhadap film ini, tidak bisa dipungkiri bahwa Merantau mengangkat unsur keminangkabauan yaitu silek dan merantau. Di sisi lain, terdapat kesalahan penggunaan istilah silek dalam keseharian. Menurut Navis (1984), pencak silat adalah suatu permainan rakyat mempunyai dua peranan. Sebagai permainan dinamakan pancak (pencak) dan sebagai seni bela diri dinamakan silek (silat). Ditegaskan juga oleh Maryono (1999), pancak merupakan bagian dari silat yang dilakukan tidak secara sungguh-sungguh, parintang jo pamenan. Sementara itu, silek adalah permainan bela diri yang sungguh-sungguh yang tidak dapat dipertandingkan ataupun dipertontonkan.

Tidak banyak citraan visual yang mengidentifikasikan Minangkabau dalam film ini. Selain gerakan dan jurus silek dalam beberapa adegan, kekhasan Minangkabau tampil melalui pakaian yang dikenakan Yuda dan guru silek-nya dan senjata kurambik (kerambit). Di Minangkabau, pakaian yang dikenakan oleh pasilek pada umumnya adalah pakaian hitam, bercelana hitam longgar khas yang disebut sebagai galembong, sisampiang (kain samping), dan menggunakan ikat kepala yang disebut sebagai deta (destar). Pakaian itulah yang dikenakan Yuda dan gurunya. Sementara itu, kurambik terinspirasi dari bentuk kuku harimau namun dirancang lebih melengkung. Senjata khas Minangkabau ini menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari silat Minangkabau. Keistimewaannya seperti kuku harimau  yang setiap saat secara tiba-tiba keluar dari balik kaki dan tangannya pada saat menerkam mangsa. Selebihnya, muatan keminangkabauan muncul melalui dialog, meskipun didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia, dan perilaku tokoh.

Sesuai dengan judulnya, film ini mengangkat merantau sebagai sarana utama pengisahan. Perilaku merantau masyarakat Minangkabau ditampilkan melalui tokoh Yuda. Sebagai seorang pemuda, Yuda merasa memiliki tanggung jawab moral untuk pergi merantau sebagai salah satu bentuk usahanya mencapai kedewasaan. Tokoh utama dalam film ini memiliki niat bukan untuk menuntut ilmu melainkan mengamalkan ilmu yang dimiliki di rantau. Motif tokoh Yuda dalam film Merantau berniat mengajar silek di Jakarta.

Melalui Yuda, merantau digambarkan sebagai sebuah proses kehidupan sebagai wujud tanggung jawab laki-laki Minangkabau. Akan tetapi melalui dialog ibu Yuda pada awal cerita, tergambar pula bahwa merantau bukanlah sebuah kewajiban yang harus dijalani pemuda Minangkabau. Perwujudan tanggung jawab tersebut tidak harus dijalani melalui merantau.

Dalam masyarakat Minangkabau sendiri terdapat perbedaan pandangan mengenai perilaku merantau ini. Gambaran tentang perbedaan pandangan tentang merantau muncul dalam film Merantau. Tokoh Yuda menganggap merantau adalah sebuah kewajiban laki-laki Minangkabau sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap kerabat. Baginya, merantau adalah sebuah ujian pengalaman untuk diakui sebagai lelaki sejati (inisiasi). Di sisi lain, ibunya menganggap merantau bukanlah kewajiban untuk membuktikan diri sebagai lelaki. Melalui penggambaran tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku merantau tidaklah selalu dipandang sebagai hal yang positif dan menguntungkan bagi sebagian masyarakat Minangkabau sendiri. Graves (2007) menyatakan, sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, di nagari-nagari dengan lahan persawahan yang luas cenderung menolak perilaku merantau ini. Sikap ini nyata di kalangan penghulu dari daerah yang memiliki sawah luas. Pada derah-daerah tersebut hampir tak seorang pun ingin merantau, kecuali keadaan benar-benar memaksa yaitu jika ia betul-betul miskin total atau karena ia bermusuhan. Pandangan tokoh ibu Yuda dalam film Merantau tersebut seolah merepresentasikan pernyataan Graves tersebut. Dalam film ini, keluarganya digambarkan memiliki kebun yang luas sebagai gambaran status dan kekayaannya. (bersambung)

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com