HOME OPINI OPINI

  • Senin, 21 Oktober 2019

MENGENANG TANGIS NASRUL ABIT DI BUMI PAPUA,(Catatan Korban Selamat Rusuh Wamena)

Nofri Zendra (Sekretaris IKM Kabupaten Jayawijaya)
Nofri Zendra (Sekretaris IKM Kabupaten Jayawijaya)

Wamena berdarah menyisakan duka mendalam bagi ranah Minang. Korban selamat mengambil sikap pulang kampung, sementara mereka yang pergi untuk selamanya, dipastikan tak akan kembali. Kehilangan puluhan nyawa, atau kerugian harta benda, akan menjadi catatan kelam perantau di bumi Papua.

Benar kata tetuah. Ada hikmah di balik setiap peristiwa, ada pula pembelajaran usai rusuh Wamena. Kekompakan urang awak di seluruh Indonesia kian nyata di Nusantara. Terlebih setelah kedatangan Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit (N. A) di Wamena, perhatian pemimpin begitu terasa. Kami sempat menangis bersama.

Saya, bagian dari mereka yang selamat masih di sini. Menikmati kenangan indah Kota Wamena di sela puing-puing luka. Tulisan sekenanya ini sengaja saya tulis biar semua pihak ikut merasa. Luka kami, duka saudara, dan duka Bangsa Indonesia. Semoga kelak kita tak lupa jika para pejuang pernah menyabung nyawa demi mengejar mimpi hari depan keluarga yang bahagia.

Tragedi Wamena berdarah menyisakan luka yang mendalam bagi kita semua. Di mana, sekelompok anak bangsa meluapkan amarahnya dengan melakukan pembakaran dan pembunuhan terhadap warga yang tidak tahu apa-apa. Mereka baru sempat memikirkan bagaimana cara mengais rezeki di rantau orang demi merubah ekonomi keluarga.

Tanggal 23 September 2019 adalah hari yang paling bersejarah bagi kami. Warga Minang dibantai, dibunuh dan kios-kiosnya dibakar. Para korban Wamena mengungsi ke Kodim dan Polres. Mereka menyelamatkan diri hanya dengan pakaian di badan. Saat itu kita semua tidak tahu harus berbuat apa.

Sehari setelah kejadian jenazah para korban sudah dibawa ke rumah sakit. Saya selaku Sekretaris IKM (Ikatan Keluarga Minang) Kabupaten Jayawijaya mendapat telepon dari keluarga korban di kampung halaman. Keluarga meminta tolong diuruskan jenazah korban agar bisa dipulangkan ke Pesisir Selatan.

Keluarga mengaku siap menanggung biaya asalkan korban dimakamkan di rumah. Saya sedih. Terbayang nasib mereka, sudah ditinggal keluarga, harus pula menanggung biaya pemulangan.

Malam itu saya sempat menangis sendiri di pengungsian. Kepada siapa harus mengadu. Kami semua di sini adalah korban.

Setiap saat saya selalu menjalin komunikasi dengan Ketua DPW IKM Papua Zulhendri Sikumbang via telepon. Berdiskusi untuk mencari solusi. Di sela-sela komunikasi dengan beliau yang akrab saya penggil “mamak”, karena sama-sama suku sikumbang, saya sampaikan, bagaimana kalau dalam situasi seperti ini, IKM mengadu kepada Pemda Sumbar.

Kala itu saya mengakui tidak punya akses. Namun, koordinasi penting untuk menjalin komunikasi dengan Pemda Jayawijaya. Beliau menyetujui dan siap menghubungi Pemda Sumbar.

Selang beberapa menit telepon saya kembali berdering. Mamak Zulhendri meminta nomor telepon Bupati Jayawijaya. Tidak sampai 1 jam Mamak Zulhendri Sikumbang menghubungi saya kembali. Katanya jenazah akan dipulangkan ke Sumbar dibiayai Pemda  Jayawijaya. Hanya peti jenazah yang dibebani pada korban.

Peti jenazah bukan perkara mudah. Harga satu peti mencapai Rp 8 juta. Ketua DPW IKM Papua itu pun langsung berkoordinasi dengan Pemda Sumbar. Sehari kemudian, pada 25 September sekira pukul 04.00 waktu setempat, saya dikabari lagi. Peti jenazah akan ditanggung oleh Pemerintah Propinsi Sumbar. Saya terharu sambil melafalkan kalimat alhamdulillah.

Waktu berangsur naik, saya bersama masyarakat lainnya langsung menjemput peti jenazah dan membawa ke rumah sakit. Pada hari itu jenazah berangkat menuju Kabupaten Jayapura. Berhubung waktu sudah sore jenazah bermalam di sana dan diterbangkan ke Padang esok hari, 26 September. Sekitar Pukul 21.00 WIB jenazah sampai di BIM. Jenazah diterima langsung oleh Wagub Nasrul Abit untuk kemudian diserahkan pada pihak keluarga.

Momen mengejutkan terjadi. Pagi di 27 September Wagub berangkat ke Jayapura. Beliau sampai esok hari. Sesampai di Jayapura beliau menyambangi warga Minang di tempat pengungsian di Sentani. Sebab, sebagian pengungsi waktu itu sudah diterbangkan menggunakan pesawat Hercules dari Wamena.

Wagub menjenguk Buk Putri, salah seorang korban yang lolos dari pembakaran. Keseokan harinya tanggal 29 september beliau melanjutkan perjalanan ke Wamena beserta rombongan. Di sinilah awalnya pengungsi merasakan bagaimana sosok seorang Nasrul Abit yang sebenarnya.

Pengungsi tidak lagi melihat seorang Wagub, bukan seorang pemimpin daerah. Namun, kami melihat kedatangan sosok seorang ayah untuk melihat anak-anak yang dapat musibah di perantauan. Beliau memastikan keadaan anaknya dan keluarganya dalam keadaan baik. Saya, warga Minang yang (mungkin, red) pertama kali menyalami sesampai di Wamena, menyaksikan sabak di matanya. Suasana semakin haru hingga tangis membuncah. Kami menangis bersama.

Seorang ibu-ibu yang ikut bersama Wagub pun tak tahan menahan tangis. Dia tersedu. Kemudian waktu saya ketahui, perempuan berhati lembut itu bernama Hilma, Kabag Rantau Biro Kerjasama Pembangunan dan Rantau Pemrov Sumbar.

Kami kemudian meninggalkan bandara bersama rombongan untuk mengelilingi Kota Wamena. Menyaksikan langsung puing-puing sisa kebakaran. Kebetulan kala itu saya satu mobil dengan Bu Hilma.

Sepanjang perjalanan beliau menangis melihat sisa kejadian. Di benak beliau terlintas jerit tangis korban saat kejadian. Perjalanan kami terhenti seiring pijakan rem sopir kendaraan di Kodim 1702 Jayawijaya. Rombongan menghampiri warga yang mengungsi di sana.

Sesampai di Kodim rombongan sudah ditunggu di halaman Kodim oleh ratusan warga asal Minang. Rombongan Wagub langsung masuk ke halaman. Masih segar diingatan saya, Wagub pertama kali mendekati seorang anak kecil yang sedang duduk di tengah keramaian. Si anak beliau peluk dan dicium. Spontan pengungsi lain terdiam.

Suasana hening pecah sesaat kemudian saat pengungsi mengerumuni beliau sambil berteriak harap, “Bapak, kami ingin pulang”. Wagub berupaya menenangkan lewat satu kalimat pasti, semua yang ingin, akan kita pulangkan.

Tanpa saya sadari air mata saya meleleh menyaksikan suasana yang penuh haru itu. Bu Hilma kembali menangis. Lalu Wagub mengambil microphone yang sudah disiapkan oleh Dandim setempat. Baru berucap salam, kalimatnya langsung terbata. Kata-kata sulit menyelinap di sela tangis. Lebih banyak diam. Beliau kemudian berupaya tegar di tengah kecemasan warga. Kalimat menenangkan suasana perlahan disampaikan. Wagub berjanji akan membawa kami  semua pulang, Proses pemulangan akan dibicarakan dengan Gubernur Sumbar,Irwan Prayitno.

Pengungsi pun minta foto bersama. Sesaat luka warga terobati. Nampak keceriaan dari wajah warga Minang di saat itu. Bahkan beberapa warga berpelukan dengan Nasrul Abit. Pengungsi telah didatangi seorang pahlawan. Pada kunjungan itulah, pertemuan antara Pemrov Sumbar, Pemda Wamena dan IKM Jayawijaya menuai kesepakatan. Difasilitasi Damdim, permohonan membawa pengungsi kembali ke Sumbar sementara waktu diterima Pemda setempat.

Sebelum pamit kembali ke ranah Minang, pengurus IKM Jayawijaya mengajak Wagub makan di sebuah rumah makan Padang. Wagub menolak. Dirinya tak akan mampu menelan makanan melihat kondisi pengungsi. Kami hanya bisa diam.

Pesannya yang saya tak akan lupa, jangan terprovokasi isu tak jelas. Wagub benar, keyakinan harus ada. Tragedi 23 September 2019 itu bukanlah akhir segalanya. Keharmonisan bisa dirajut kembali. Esok, lusa, bulan depan atau tahun depan, semua hanya soal waktu. Saya percaya! (*)


Tag :#papua#wamena

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com