HOME OPINI OPINI

  • Selasa, 9 Mei 2023

Membangun Kesadaran Politik Akar Rumput

H. Ferizal Ridwan, S.Sos adalah Wakil Bupati Limapuluh Kota Periode 2016-2021 dan saat ini Ketua Yayasan Ibrahim Datuk Tan Malaka (Ibratama)
H. Ferizal Ridwan, S.Sos adalah Wakil Bupati Limapuluh Kota Periode 2016-2021 dan saat ini Ketua Yayasan Ibrahim Datuk Tan Malaka (Ibratama)

"Politik harus dimengerti semua orang, karena politik adalah kehidupan sehari-hari. Politik adalah kecerdasan dalam memahami keadaan. Politik bukan dunia para Dewa. Berpolitiklah kamu untuk memperjuangkan hidupmu,” (Tan Malaka)

Kembali kita akan menghadapi Pemilihan umum (Pemilu), pada tahun 2024 mendatang. Namun dibalik kedatangan musim pesta demokrasi, tentu ada baiknya juga mengulang-ulang kaji supaya lancar tentang politik demokrasi atau demokrasi politik.

Sepanjang sejarah politik, sejak zaman pasca kemerdekaan, maka pesta besar yang diselenggarakan pertama bagi segenap bangsa Indonesia adalah apa yang pernah dilakukan pada tahun 1955.

Demokrasi ketika politik pertama kali menjadi panglima dan hak-hak sipil dalam berpolitik mendapat tempat yang seluas luasnya dialam kemerdekaan Indonesia. Bahkan, lebih terlampau demokratisnya para pendahulu kita jika dibandingkan dengan demokrasi yang diselenggarakan sejak awal Orde Baru dan Orde Reformasi.

Bayangkan saja, betapa demokratisnya tahun 1955 karena selain multi partai, calon perorangan (Independen) pun berhak untuk mengajukan dirinya untuk dipilih. Hal tersebut tentu mangacu kepada amanat konstitusi yang tertuang didalam Undang Undang Dasar 1945 juga Perundangan tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dimana disana termaktub bahwa setiap rakyat Indonesia berhak memilih dan dipilih. 

Maka calon perorangan muncul sebagai perwujudan demokrasi yang dilaksanakan didalam Pemilu itu sendiri, tidak hanya untuk tingkat pusat namun juga untuk tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

Maka akan dapat kita bayangkan, tidak hanya sangat demokratisnya pada masa itu, namun juga betapa banyaknya gambar dan slogan kampanye menghiasi persada Indonesia.

Pada sisi lain, kita juga dapat menilai dengan gamblang betapa cerdasnya orang Indonesia pada masa itu dalam berpolitik, karena pengetahuan politik mereka dapatkan dimana saja, kapan saja dan dari siapa saja. Padahal pada masa itu media cetak masih sangat sedikit jumlahnya dan belum ada media elekteonik seperti sekarang.

Hal tersebut tentu berbanding terbalik dengan posisi politik ketika Zaman Orde Baru, dimana tentara dan feodisme membatasi ruang gerak politisi. Padahal, pada masa itu masih memakai sistem yang sama dengan Orde Baru, hanya saja partai yang disahkan menurut penguasa hanya ada 3 partai, yakni Golkar, PDI dan PPP. Selebihnya partai partai yang ada pada tahun 1955 berfungsi atau menggabungkan diri dengan salah satu dari 3 partai yang dibolehkan.

Pada masa Orde Baru, juga melarang partai, politisi partai maupun politisi perorangan berkoar-koar soal demokrasi dalam politik, hak hak dalam politik, baik perorangan maupun kelompok. Bahkan semua manusia Indonesia harus patuh pada satu azas atau azas tunggal yakni Pancasila.

Pada fase tersebut, apakah tidak ada orang yang melek akan politik, orang yang cerdas dalam berpolitik ? tentu saja banyak. Namun, Tentara dalam politik lebih cerdas dan perkasa dari masyarakat, tentunya penguasa Orde Baru lebih berkuasa dari kecerdasan masyarakat sipil maupun militernya.

Masuk kepada Era Reformasi atau Orde Reformasi, dimana fase ini adalah fase kemunduran yang terjadi dalam kancah politik nasional dan regional Indonesia. Karena Reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 tidak memiliki konsep untuk membangun Bangsa dan Negara Indonesia.

Targetnya hanya satu, yakni melengserkan Orde Baru dan membuka kembali kran-kran politik yang lama tersumbat. Maka pantaslah jika politik dan demokrasi yang terjadi di Indonesia, kembali kepada Pemilihan Umum 1955, serta penguatan politik sebagai panglima.

Begitulah upaya dari kecerdasan politik baik kaum elit maupun rakyat sulit. Setiap orang berhak untuk memilih dan dipilih, walau harus dibatasi dalam beberapa kategori pembatasan hak hak politik.

Begitu amat menginginkannya kehidupan masyarakat sipil dalam politik, maka kampanye pemilih cerdas, masyarakat cerdas politik terus dikampanyekan dibalik kampanye para kandidat legislator dan eksekutor.

Begitulah sekilas tentang sejarah dari pesta demokrasi dan mencerdaskan masyarakat pemilih. Lantas, apalagi yang dapat kita lakukan setelah setiap individu Indonesia cerdas politik ? Apakah mereka akan saling mengadu kecerdasan politik untuk kepentingan pribadi dan keluarganya serta kelompok maupun partai ?. Politik dan demokrasi dalam upaya rebutan kue demokrasi yang dijajakan kaum imperium dengan benteng kolonial dan bersenjata kapital, telah begitu banyak melahirkan istilah baru dalam ilmu politik. Padahal hanya memiliki satu tujuan, yakni kekuasaan dalam arti menjadi penguasa dengan memiliki atas segenap bangsa dan tanah air. 

Maka politisi sebagai pemegang saham industri politik akan menghitung rugi laba dalam industri dan buruh politik yang mereka namakan dengan bahasa baru yakni petugas partai dan pengurus partai. Sementara segenap rakyat Indonesia terlena dengan iklan slogan serta santunan baik pembangunan fisik, non fisik maupun keuangan bagi rakyat yang dianggap sebagai konstituen politisi.

Bukankah rakyat Indonesia adalah bangsa yang cerdas dalam berpolitik ? Namun kenapa masih suka masuk dalam perangkap politik instan ? Padahal mereka cerdas dan paham, bahwa uang-uang yang mengalir kesaku rakyat dan pembangunan infrastruktur adalah juga uang yang mereka dapatkan dalam upaya mencari nafkah penunjang kehidupan yang mereka belanjakan, maupun yang mereka bayarkan dalam bentuk pajak langsung dan tak langsung.

Jika rakyat Indonesia sekarang kita teriakkan bahwa mereka masih bodoh dalam berpolitik, tentu mereka akan mengamuk dan mengeluarkan sumpah serapah sebagai mantra paling jitu untuk bersembunyi didalam tempurung kebodohannya yang kian menebal.

Saya yakin, rakyat kita tidak bodoh. Rakyat kita cerdas dalam berpolitik. Hanya satu hal saja yang belum terbangun dari bangsa Indonesia, baik para politisinya, militernya, aparat sipil negaranya, penegak hukumnya, ilmuwannya, agamawannya, olahragawannya, ekonomnya, juga budayawannya, yaitu bangunan kesadaran sebagai manusia Indonesia yang berbahasa yang satu, bertumpah darah tanah air yang satu, berbangsa yang satu, yakni Indonesia.

Membangun kesadaran sebagai bangsa yang satu dalam kebhinekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah upaya terberat. Karena jika kita lontarkan saja satu pertanyaan kepada seluruh manusia Indonesia, apakah membangun kesadaran perlu uang atau kesanggupan finansial ? Tentu kita akan mendapat jawaban dua, jawaban ambigu, iya tidak perlu, namun uang juga diperlukan.

Jadi, persoalan politik bangsa Indonesia, bukan persoalan kecerdasan. Karena soal politik manusia Indonesia umumnya sudah sangat cerdas. Bahkan mereka berani menyatakan dengan tegas, bahwa tidak memilih dalam Pemilu juga merupakan pilihan.

Nah, jadi inti persoalan dari bangsa Indonesia adalah kesadaran. Maka jika kesadaran yang dibangun, otomatis bangsa Indonesia akan menyadari, betapa mereka selama ini dalan keadaan mabuk, menceracau atau bahkan dibuat mabuk dengan situasi politik yang diciptakan. Sehingga kita tidak sadar diri, tidak lagi tahu jati diri dan tujuan berbangsa dan bernegara. 

Akibatnya, kita tidak tahu lagi, jika penyamun sudah menguasai rumah dan mengangkut harta benda milik kita. Para antek-antek imperium dengan bebas menjarag persada kita. Bahkan, dengan ikhlas melegalkan perampokan besar-besaran secara tersistematis dan masif.

Begitulah situasi kita pada saat ini, yakni situasi orang  cerdas dalam keadaan mabuk disemua lini kehidupan. 
Sebagai orang Minangkabau, kita lupa dengan petuah para leluhur, yakni, jago/paga kampuang tagak kampuang, jago/paga nagari tagak nagari, jago/paga negara tagak negara.

Maka perlu kita susun kembali kekuatan yang memadukan unsur kecerdasan dengan kesadaran. Kesadaran berpolitik untuk kampung, nagari dan negara. Partai boleh banyak dan berbeda namun kesadaran untuk mengambil tanggungjawab moral menyelamatkan bangsa dalam politik lokal dan nasional, adalah bagaimana kita melakukan aksi membangun dan melaksanakan dengan cerdas kesadaran berpolitik.

Hal tersebut tentulah bisa kita bincangkan untuk selanjutnya melakukan Aksi Memilih Anak Nagari Terbaik sebagai wakil kita di legislatif dan eksekutif dalam Pemilu 2024.

Mari kita bincangkan bersama dan mari kita galang 'Aksi Membumikan Anak Nagari (AMAN) untuk DPD dan DPR-RI. 


Luak 50, 8 Mei 2023


Tag :#limapuluh kota

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com