HOME LANGKAN TINGKOK

  • Jumat, 4 April 2025

Konflik Peternakan Babi Dan Seni Mediasi Adat Di Tanjung Basung

Konflik Peternakan Babi dan Seni Mediasi Adat di Tanjung Basung

Oleh: Andika Putra Wardana

Bau menyengat dan limbah darah yang mengalir ke irigasi menjadi awal konflik tahun 2015 di Tanjung Basung. Aktivitas peternakan babi yang menjadi mata pencaharian warga Nias-Kristen berbenturan dengan sensitivitas warga Minangkabau-Muslim yang menganggap babi sebagai najis. "Kami tidak bisa menerima limbah pemotongan babi mencemari sumber air," protes Datuak Parpatiah, tokoh adat setempat.

Data Dinas Peternakan Padang Pariaman mencatat, saat itu ada 23 peternak babi di Tanjung Basung II dengan total populasi mencapai 500 ekor. "Ini sudah jadi usaha turun-temurun sejak zaman Belanda," pembela Herman Zebua, ketua kelompok peternak.

Konflik memuncak ketika warga Tanjung Basung I mengancam akan menutup paksa peternakan. Rajo Sampono turun tangan dengan menggelar musyawarah adat. "Solusinya adalah relokasi dan kompensasi," jelas Bahrun Hikmah. Pemerintah kabupaten melalui Dinas Pertanian akhirnya menggelontorkan dana Rp 350 juta untuk penggantian ternak dan pelatihan usaha alternatif.

Proses mediasi ini patut dicatat sebagai contoh penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal. "Kami sepakat membentuk zona khusus peternakan yang jauh dari pemukiman," kata Fadli Amir. Kini, hanya tersisa 7 peternak babi yang diwajibkan menerapkan sistem kandang tertutup dan pengolahan limbah modern.

Pelajaran berharga dari konflik ini adalah pentingnya komunikasi lintas budaya. "Kami sekarang lebih memahami sensitivitas masing-masing," aku Herman Zebua. Bagi Datuak Parpatiah, ini membuktikan bahwa adat Minangkabau cukup lentur untuk menampung perbedaan selama ada itikad baik dari semua pihak.


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :#Sejarah #Tanjung Basung

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com