HOME LANGKAN TINGKOK

  • Jumat, 18 April 2025

Perempuan Minangkabau Dan Transformasi Seni Bagurau Saluang: Dari Larangan Adat Ke Panggung Utama

Perempuan Minangkabau dan Transformasi Seni Bagurau Saluang: Dari Larangan Adat ke Panggung Utama

Oleh: Andika Putra Wardana


Dalam budaya Minangkabau yang matrilineal, perempuan sering dianggap sebagai "pusat moral" masyarakat. Namun, tradisi seni pertunjukan seperti "bagurau saluang dan dendang" sebuah bentuk musik tradisional dengan seruling bambu (saluang) dan pantun bersyair (dendang) dulu justru menjadi wilayah eksklusif laki-laki. Artikel ini mengulas bagaimana perempuan Minangkabau melampaui batasan adat dan agama untuk menjadi pelaku utama seni ini, mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas dalam masyarakat.

Bagurau Saluang dan Dendang: Seni yang Hidup dari Interaksi

Bagurau saluang dan dendang adalah pertunjukan musikal yang mengandalkan keakraban antara penonton dan pemain. "Pertunjukan ini seperti percakapan, penonton bisa memesan lagu, bahkan ikut menyumbang pantun," jelas Noni Sukmawati, peneliti dari Universitas Andalas. Lagu-lagu seperti Singgalang (pembuka) dan Jalu-jalu (penutup) menjadi penghubung emosional, sementara isi pantun bisa berisi nasihat, kisah sedih (ratok), atau gurauan.

Awalnya, seni ini dimainkan oleh pemuda di surau (rumah ibadah) atau pondok sawah. Perempuan dilarang terlibat karena dua alasan:

1. Adat: Perempuan dianggap sebagai "Bundo Kanduang" (tokoh moral) yang harus menjaga martabat keluarga.

2. Agama: Nyanyian perempuan dianggap tabu jika didengar non-muhrim.

Perubahan Dimulai dari Kaki Lima

Krisis ekonomi pasca-Pemberontakan PRRI (1958–1961) memaksa seniman saluang mencari nafkah di pasar-pasar. Di sinilah perempuan mulai muncul sebagai pendendang. "Mereka belajar dari laki-laki, lalu membawakan dendang dengan gaya lebih emosional," kata Hajizar, pengamat seni Minangkabau. Nama seperti Mis Ramolai dan Upiak Malai menjadi pionir yang melawan stigma.

Namun, tidak semua setuju. Ajis Sutan Sati, pendendang senior, menolak pertunjukan di kaki lima. "Itu seperti mengemis!" Baginya, media rekaman dan radio lebih terhormat.

Perempuan Mengubah Aturan Main

Sejak 1970-an, pendendang perempuan mendominasi "bagurau". Mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi narator perubahan sosial melalui pantun. "Dulu, mamak (paman) melarang kami tampil. Sekarang, ayah justru mendukung," kisah Ani Ramadani, salah satu pendendang.

Pergeseran ini mencerminkan melemahnya sistem matrilineal tradisional. Menurut Kamardi Rais dari Lembaga Kerapatan Alam Minangkabau, "Jika tidak dalam konteks adat, perempuan bebas berkreasi."

Keberhasilan perempuan Minangkabau dalam bagurau saluang menunjukkan bagaimana seni bisa menjadi alat transformasi budaya. "Ini bukti bahwa adat dan agama bisa beradaptasi dengan zaman," tegas Noni Sukmawati. Dari larangan adat hingga panggung utama, perjalanan mereka adalah cerita tentang keberanian dan inovasi.


Wartawan : Andika Putra Wardana
Editor : melatisan

Tag :#Bagurau Saluang #Minangkabau

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com