HOME OPINI OPINI

  • Jumat, 14 Desember 2018

Ketika Putus Hubungan Dengan Padang

Taufik Effendi
Taufik Effendi

Padang memiliki tiga pintu jalan darat. Yakni, pintu Tabing dari arah Lubuk Buaya, kemudian pintu jalan by pass, dan pintu Indarung dari arah Lubuk Selasih terus ke Sitinjau Lawik.

Tabing dan jalan by pass adalah dua pintu yang kemudian menyatu pada jalan nasional menuju Bukittinggi, dari Lubuk Alung, Kayu Tanam, Lembah Anai dan Padang Panjang. 

Sedangkan satu pintu lainnya adalah Indarung dari Lubuk Selasih menurun ke Sitinjau Lawik, disambut Lubuk Paraku, dan akhirnya Indarung. Menurun terus, tibalah di pusat Kota Padang.

Ketika ketiga pintu jalan darat itu tertutup, seperti putusnya jembatan di Kayutanam dan longsornya tebing di Sitinjau Lawik, praktis Kota Padang terisolasi! Putuslah hubungan dengan Padang.

Inilah yang terjadi beberapa hari terakhir. Jembatan di Kayu Tanam putus diterjang air bah, Sitinjau Lawik pun longsor. Selama belasan jam lalu lintas dari dan ke Padang putus total.

Rupanya saat ini keberadaan Padang kian rentan untuk terisolir. Karena hujan beberapa jam saja, jalan nasional bisa putus oleh jembatan yang ambruk atau longsor di Lembah Anai. 

Begitu pula di pintu lainnya. Terban saja dinding tebing, atau amblas bahu jalan di Sitinjau Lawik, putuslah hubungan darat dari dan ke Padang!

Melihat kerentanan itu, serta jumlah kejadian sejenis yang semakin sering terjadi beberapa tahun terakhir, sudah mendesak bagi Pemerintah Kota (Pemko) Padang, dengan koordinasi intensif oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat (Sumbar) untuk melakukan kajian secara mendalam guna mencari cara bagaimana menghindari keterisolasian Padang lantaran bencana di tiga pintu darat itu. 

Yang jelas, bencana longsor dan terban serta sungai meluap tiba-tiba (air bah) adalah sesuatu yang terjadi karena kerusakan lingkungan. Jika rimba di hulu-hulu sungai sudah gundul, niscaya saat hujan mengguyur, airnya tak lagi ada yang menahan. Sungai-sungai pun seketika penuh. Meluap menjadi air bah! Ini yang ditengarai terjadi di hulu-hulu sungai sepanjang jalan Lubuk Alung-Padang Panjang. 

Begitu pula di Sitinjau Lawik. Longsor dan terban hanya disebabkan oleh tanah yang digerus air lantaran tiada lagi akar pepohonan yang menyangga. Bisa dipastikan, hutan di sekitar Sitinjau Lawik, yang sebenarnya masuk dalam kawasan hutan lindung ini, sudah gundul. 

Kegundulan hutan di Sitinjau Lawik sudah jelas terlihat manakala saban hari kita melihat kawanan beruk terpaksa "turun gunung" untuk mencari makan di sepanjang jalan yang kerap berkabut itu. Hal yang sama juga terjadi di Lembah Anai. Banyak juga kawanan beruk liar di situ. 

Kita berharap, pihak terkait di Pemprov Sumbar dan Pemko Padang, tentu saja juga melibatkan Pemkab Solok, Pemkab Padang Pariaman dan Pemko Padang Panjang, untuk duduk bersama dengan para pakar terkait, mencari solusi. 

Adapun agenda yang perlu dibicarakan, paling kurang adalah bagaimana meminimalkan kemacetan saat terjadi longsor atau terban, atau jembatan runtuh. Misalnya dengan membuat pos tetap untuk antisipasi kejadian. Seperti pos operasi ketupat itu, lengkap personil dan peralatan. Kemudian, bagaimana menghijaukan kembali rimba yang sudah gundul itu! 

Kita sangat yakin, pemerintah dan para pakar tahu persis akar masalahnya. Pertanyaannya mungkin, sejauh mana ancaman putusnya hubungan darat ke Padang ini dianggap serius? Ataukah kita hanya mengangap Sitinjau Lawik longsor ini sebagai "kejadian rutin" belaka?


Tag :teTAJUK

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com