HOME OPINI OPINI

  • Rabu, 14 Desember 2022

KEBUDAYAAN SEBAGAI GAGASAN

Lindawati
Lindawati

KEBUDAYAAN SEBAGAI GAGASAN

Oleh: Lindawati*

Ada banyak arti kebudayaan. Krober dan Kluckhohn menemukan 160 macam pengertian kebudayaan. Muji Sutrisno (2004:4) mencermati berbagai pengertian yang dikemukakan berdasarkan berbagai pendekatan menyatakan bahwa masing-masingnya memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu. Sosiologi memberi penekanan pada  aspek totalitas komprehensif. Sejarah pada aspek perkembangan tradisi. Antropologi pada aspek tingkah laku. Psikologi pada aspek adaptasi. Manusia melalui kegiatan kebudayaan mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam fikiran menjadi terwujud dalam kenyataan.

Kebudayaan bagi suatu kelompok telah menjadi standar dan ukuran dalam menilai dan mewujudkan tingkah laku. Nilai baik dan buruk kemudian diukur berdasarkan ukuran yang berlaku karena disepakati dan dijaga. Proses semacam ini telah menjadi ekslusi sosial dimana suatu kelompok cendrung membangun wilayah simboliknya sendiri yang membedakannya dengan orang lain. (Abdullah 2006: 52).

Manusia adalah pelaku kebudayaan. Manusia menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga bagi dirinya dan demikian kemanusiaannya menjadi nyata. (Bakker, 1984: 4). Manusia dalam usaha kebudayaan menemukan alam kodrat sebagai rangka kemungkinan-kemungkinan untuk ekspresi penyempurnaan diri.

Setiap bangsa yang berkebudayaan menunjukkan pandangan hidupnya sendiri-sendiri. Ada pendapat  yang menyatakan bahwa cara hidup menentukan  pandangan hidup seseorang. Begitu pandangan hidup tercipta, maka cara hidup manusiapun ditentukan oleh pandangan hidup yang diciptakannya (Poespowardojo, 1993: 111). Dalam perjalanan sejarah manusia terjadi  interaksi dan saling pengaruh antara cara hidup dan pandangan hidup secara terus menerus.

Sutan Takdir Alisyahbana (1989: 54-55) mendefinisikan kebudayaan sebagai realisasi dari sistem nilai-nilai dalam subjek budaya dan objek budaya. Kebudayaan itu diintegrasikan dan diorganisasikan oleh tujuan, logika, dan realitas nilai yang dominan atau nilai-nilai dan norma2  yang dimiliki berupa nilai moral dari kebudayaan itu. Perilaku manusia dalam kebudayaan tertentu diarahkan dan diorganisasikan  oleh nilai moral yang ada dalam masyarakat itu.

Kebudayaan sebagai kultur normatif suatu masyarakat atau bangsa tersusun sebagai  pola atau gaya hidup berdasarkan kaidah-kaidah atau nilai-nilai yang berfungsi sebagai titik orientasi  para anggota masyarakat dalam menghayati  kehidupan sehari-hari serta melaksanakan hubungan antar sesamanya. Perbendaharaan nilai yang tertumpuk itu diteruskan secara turun-menurun menjadi tradisi atau adat istiadat. (Kartodirdjo, 1990: 18). Menghayati tradisi merupakan kewajiban utama dalam masyarakat tradisional dan dengan demikian melestarikan eksistensi kelompok. Kebudayaan itu dalam kenyataan dapat kita pahami sebagai gagasan, perilaku, artefak, dan proses.

Kebudayaan Sebagai Gagasan

Pemikiran yang menyatakan bahwa bahasa sebagai penunjuk kebudayaan adalah satu hal yang dapat diterima. Ini bermakna bahwa bahasa mencerminkan budaya penuturnya yaitu, berkaitan dengan cara berlaku dan berinteraksi dengan alam. Dari bahasa suatu kelompok budaya dapat ditelusuri bagaimana kelompok pendukung suatu bahasa itu mempersepsi, mengklasifikasikan, dan mengapresiasi dunia sekelilingnya. Anggapan ini bersumber dari pemahaman bahwa bahasa lahir dari proses persepsi yang kemudian melahirkan konsep. Dengan koseptualisasi, manusia menggunakan lambang-lambang bahasa untuk menyimpan atau merekam konsep yang berisi pengalaman dan pemahaman manusia terhadap alam itu. Jadi, proses persepsi dan konseptual merupakan dua hal yang penting dalam pembentukan bahasa. Peribahasa merupakan kristalisasi pemikiran masyarakat terdahulu (para cendikiawan) tentang alam sekitarnya yang kemudian dijadiakn pedoman bagi generasi berikutnya.

Kebudayaan Minangkabau sering disepadankan dengan adat Minangkabau. Adat Minangkabau disusun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam alam nyata. Ketentuan itu dinyatakan dalam berbagai bentuk dan corak, yaitu  ada yang berupa pernyataan langsung tentang ketentuan-ketentuan itu. Ada pula yang dalam bentuk, pepatah, petitih, mamang, pantun, dan sebagainya (Nasroen: 1071: 37). Kebudayaan Minangkabau menampakkan manifestasinya yang paling nyata dalam  adat. Sehingga orang Minang terkenal dengan adatnya. Adat sangat penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu dalam pepatah Minangkabau dinukilkan dalam pepatahnya yang berbunyi  iduik dikanduang adat. Adat dalam masyarakat Minangkabau merupakan nilai yang menjadi pedoman hidup.

Adat Minangkabau merupakan aturan yang mengatur kehidupan orang Minang. Aturan  tersebuit bersifat mengikatbagi masyarakat Minang. Keterikatan tersebut dapat dipahami bahwa ketika orsng Minang tidak melaksanakan adat Minangkabau, tidak beradat dengan adat Minangkabau, maka orang tersebut dianggap telah melanggar adat Minangkabu. Dari situ tampaklah bahwa adat Minangkabau bersifat mengikat. Dia harus dipatuhi. Aturan adat menjadi acuan dalam kehidupan bersuku bernagari, dan bermasyarakat.  Adat Minangkabau tidak terpisah dari kehidupan masyarakat Minang itu sendiri.   

            Berkaitan dengan ide pentingnya kebersamaan misalnya, berangkat dari keyakinan bahwa tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri-sendiri. Manusia selalu hidup dalam kelompok, mulai dari kelompok kecil sampai kelompok besar. Seorang individu adalah anggota dari sebuah keluarga, suku, sampai bangsa. Manusia harus bekerjasama untuk menjalankan kehidupannya. Masing-masing individu harus berpatisipasi sesuai dengan kemampuannya. Yang lemah seperti  anak-anak dan orang yang sudah tua yang tidak sanggup bekerja keras harus ditopang oleh orang yang dewasa yang masih produktif. Dengan adanya kerjasama, tenaga dapat disatukan dan pekerjaan dapat dibagi sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih besar dan pekerjaan lebih enteng. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan Minangkabau yang berbunyi duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang ‘duduk sendiri bersempi-sempit, duduk bersama berlapang-lapang’ dan Asa kito samo saiyo, nan barek jadi ringan, nan jauah jadi ampia ‘Asal kita seia-sekata, yang berat jadi ringan, yang jauh jadi dekat’ 

Berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai, menurut adat Minangkabau kepentingan masyarakatlah yang harus dicapai dalam kerjasama. Kebersamaan dalam masyarakat dalam berbagai tahap proses dinukilkan dalam peribahasa seperti berikut ini:

  1. Kok mandapek samo balabo.

             ‘Kalau mendapat sama-sama beruntung.

  1. Kailangan samo barugi.

             ‘Kehilangan sama-sama merugi.

  1. Nan ado samo dimakan.

              ‘Yang ada sama-sama dimakan.

  1. Nan indak samo dicari.

              ‘Yang tidak ada sama-sama dicari.

  1. Ati gajah samo dilapah.

              ‘Hati gajah sama-sama dilahap.

  1. Ati tungau samo dicacah.

             ‘Hati tungau sama-sama dicicip’

  1. Gadang agiah baumpuak.

              ‘Banyak pemberian ditumpuk.

  1. Saketek agiah bacacah.

             ‘Sedikit pemberian dicercah.

  1. Gadang kayu, gadang bahannyo  ketek kayu ketek bahannyo.

              ‘Besar benda besar bahannya, kecil kayu kecil bahannya.

Isi dari peribahasa itu menyatakan berbagai hal. Salah satunya menyatakan adanya kemungkinan berhasil  atau gagal saat seseorang atau sekelompok orang melakukan berbagai upaya dalam kehidupan individu atau kelompok. Keberhasilan yang dicapai bisa besar dan bisa kecil. Peribahasa yang lain menyatakan bahwa setiap individu punya tanggung jawab dalam malaksanakan upaya mencapai tujuan dan dalam menghadapi resiko kegagalan. Kalau upaya bersama itu berhasil, setiap individu berhak menikmati keberhasilan. Pembagian hasil dilakukan secara adil dan proporsional. Orang yang besar andilnya dalam mencapai keuntungan, dapat bagian banyak dan yang kecil andilnya mendapat bagian sedikit. Begitulah ide bersama dan kebersamaan dinyatakan dalam peribahasa Minangkabau.

Untuk mewujudkan impian yang besar, individu perlu membentuk kelompok atau organisasi. Organisasi itu dapat berupa keluarga, suku, nagari, dan bangsa. Dalam organisasi itulah seorang individu bekerja sama untuk mewujudkan cita-cita bersama yang sekaligus tentu merupakan cita-cita atau keinginan pribadi. Seseorang bertindak sosial itu yaitu mementingkan orang lain adalah karena yang demikian itu menurut pikiran, perasaan dan keyakinannya adalah disukainya dan memberi kepuasan kepadanya (Nasroen, 1971: 81). Itu berarti tindakan sosial seseorang juga merupakan tindakan mencapai kepentianga pribadi (egois).

Seseorang dalam bertindak untuk mencapai tujuan pribadinya tidak boleh merugikan kelompok (nan kalamak dek awak sorang ‘Yang menguntungkan diri sendiri’). Sebaliknya, tindakan atas nama kelompok tidak boleh merugikan individu-individu yang ada dalam kelompok itu. Yang diharapkan adalah tindakan seseorang sebagai pribadi itu mendatangkan kebaikan bagi organisasi dan sebaliknya tindakan organisasi mendatangkan kebaikan pula bagi individu yang ada dalam oraganisasi itu. Untuk itu, orang dalam masyarakat dianjurkan untuk melakukan sesuatu yang: lamak dek awak katuju dek urang  ‘disukai individu disenangi orang banyak’.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 


Tag :#Opini #Lindawati #Kebudayaan

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com