HOME LANGKAN TAMBO

  • Rabu, 8 Oktober 2025

Datuak Parpatih Nan Sabatang: Legenda, Makam, Dan Kearifan Dari Selayo

Penulis: Annisa Putri
Penulis: Annisa Putri

Datuak Parpatih Nan Sabatang: Legenda, Makam, dan Kearifan dari Selayo

Oleh: Annisa Putri


Di antara hamparan sawah dan kabut lembut di Nagari Selayo, Kabupaten Solok, berdiri sebuah situs yang senyap tapi berwibawa, makam Datuak Parpatih Nan Sabatang.

Bagi masyarakat Minangkabau, nama ini bukan sekadar tokoh adat, ia adalah simbol akal budi, sumber pepatah, dan fondasi sistem nilai yang masih hidup hingga kini.

Datuak Parpatih Nan Sabatang: Tokoh atau Legenda?

Dalam tambo Minangkabau, Datuak Parpatih Nan Sabatang digambarkan sebagai arsitek sosial yang merancang struktur adat bersama saudaranya, Datuak Katumanggungan. Keduanya disebut sebagai “dua tiang” yang menegakkan rumah besar Minangkabau, yang satu mewakili adat yang bersandar pada kebijaksanaan, yang lain pada aturan dan hukum.

Namun di Selayo, sosok Datuak Parpatih bukan sekadar tokoh abstrak. Ia hadir dalam cerita, pepatah, dan situs nyata.

Makamnya di Munggu Tanah, Jorong Batu Palano, masih dikunjungi hingga hari ini, bukan sebagai tempat pemujaan, melainkan simbol penghormatan terhadap akar kebijaksanaan yang telah membentuk karakter orang Minang.

Tongkat dari Jawa dan Kuburan Samaran

Legenda Selayo menceritakan bahwa Datuak Parpatih membawa sebuah tongkat dari Jawa.
Ketika ia wafat, tongkat itu ditancapkan di tanah dan tumbuh menjadi pohon besar di Bawah Jao, perbatasan Solok–Selayo.

Di sinilah muncul kisah “kuburan samaran.”

Masyarakat Silungkang yang ingin membawa jenazahnya dikelabui dengan kubur palsu berisi batang pisang.
Dari peristiwa ini lahir pepatah Minang yang terkenal:

“Angguak-angguak geleang amuah, tunjuak luruih kaliankiang bakaik.”

(Orang Selayo menunjukkan arah kuburan samaran, tapi membelakangi kuburan sebenarnya.)

Ungkapan ini bukan sekadar kisah jenaka, ia mencerminkan filsafat diplomasi dan kecerdikan.

Bahwa kebenaran tidak selalu perlu dihadapi dengan benturan, kadang cukup dengan kelicinan akal yang halus namun berprinsip.

Makam yang ‘Berbicara’ Sebelum Bencana

Kepercayaan masyarakat Selayo menyebutkan, makam Datuak Parpatih Nan Sabatang mengeluarkan bunyi gelegar sebelum bencana besar datang.

Cerita-cerita lisan menyebut bunyi itu terdengar menjelang:

1. Gempa bumi 1926,

2. Banjir besar 1927,

3. Pendudukan Jepang 1943,

4. dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965.

Apakah itu mitos atau fenomena alam, tak ada yang tahu pasti.
Namun bagi masyarakat adat, bunyi itu dianggap peringatan simbolik, seolah leluhur masih menjaga keseimbangan dunia dari bawah tanah.

Dulu makam ini sering dijadikan tempat berkaul, hingga pada 1990-an, ketika pengaruh gerakan pembaruan Islam seperti Muhammadiyah semakin kuat, praktik itu berangsur ditinggalkan.

Pada tahun 1993, makam ini direhabilitasi dengan atap bagonjong khas Minangkabau, hasil kerja sama pemerintah daerah dan swadaya masyarakat.

Kini, situs tersebut tidak lagi dianggap keramat dalam arti mistis, melainkan keramat dalam makna kultural: tempat menghormati asal-usul dan meneguhkan identitas.

Jejak Akademik dan Pengakuan Ilmiah

Cerita tentang makam di Selayo sempat menimbulkan perdebatan, benarkah inilah makam asli Datuak Parpatih Nan Sabatang, bukan yang di Limo Kaum?

Pertanyaan itu kemudian ditelusuri oleh Prof. Peggy Reeves Sanday, antropolog dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, yang terkenal dengan risetnya tentang sistem matrilineal Minangkabau.

Dalam kunjungannya ke Solok, ia ditemani dua ahli adat dari Batusangkar.
Setelah meneliti struktur makam, tradisi lisan, dan kesaksian masyarakat, Sanday menyimpulkan bahwa makam di Selayo memiliki bukti paling kuat secara historis dan kultural.

Pandangan ini diperkuat oleh tulisan (alm.) Anas Navis dalam Harian Singgalang (1 September 1991), berjudul “Makam Itu Makam Datuak Parpatih Nan Sabatang.”

Penegasan ini tidak sekadar soal lokasi, tetapi pengakuan terhadap Selayo sebagai pusat memori adat Kubuang Tigo Baleh.

Bagi masyarakat Minangkabau, Datuak Parpatih Nan Sabatang adalah lambang akal sehat kolektif.

Ia mewakili gagasan bahwa adat harus selalu bisa menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan jiwa.
Seperti tongkatnya yang tumbuh menjadi pohon, nilai-nilainya pun tumbuh dari masa ke masa, dari sistem nagari hingga filosofi sosial modern.

Pepatah-pepatah yang lahir dari ajarannya masih menjadi pedoman hari ini:

“Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.”

(Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.)

“Nan kato baiyo dipakai, nan salah dibuek palajaran.”

(Yang benar dijadikan pedoman, yang salah dijadikan pelajaran.)

Di tengah perubahan sosial, nilai-nilai ini mengingatkan bahwa kebijaksanaan tidak selalu datang dari lembaga pendidikan tinggi, tapi sering tumbuh dari adat dan pengalaman hidup.


Wartawan : Annisa Putri
Editor : melatisan

Tag :#Datuak Parpatiah nan Sabatang

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com