HOME SOSIAL BUDAYA KABUPATEN SIJUNJUNG

  • Minggu, 30 Oktober 2022

Alek Mandeh Sijunjung: Adat Matrilineal Tidak Akan Mati Hingga Kiamat

Musyawarah Bilik Ninik Mamak dalam Alek Mandeh, Sijunjung (30/10/2022)
Musyawarah Bilik Ninik Mamak dalam Alek Mandeh, Sijunjung (30/10/2022)

Sijunjung (Minangsatu) - Adat matrilineal diyakini tidak akan mati sampai kiamat. Demikian rumusan hasil musyawarah dalam bilik ninik mamak pada sesi Musyawarah Budaya Matrilineal dalam rangkaian acara Alek Mandeh: Festival Budaya Matrilineal 2022, dengan tema “Dialektika Perempuan Minangkabau Dalam Khasanah Budaya Matrilineal Masa Kini”. 

Kegiatan yang merupakan program Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Sumatera Barat Wilayah kerja Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan Tahun 2022 itu diselenggarakan pada 29 sd 30 Oktober 2022 bertempat di Perkampungan Adat Sijunjung, Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat.

Rumusan itu disampaikan oleh Dr. Hasanuddin, M. Si. Akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas yang ditugasi panitia pelaksana sebagai Fasilitator dalam musyawarah bilik ninik mamak dimaksud. 

“Adapun alasan rasional yang mendasari keyakinan dari ninik mamak peserta (yang berasal dari Lingkuang Aua Pasaman Barat, Kerajaan Parik Batu, Ulakan Pariaman, Sijunjuang, Pariangan Tanah Datar, dan Indropuro Pesisir Selatan) adalah masih dipertahankannya suku menurut garis ibu, masih diwariskan sako melalui pengangkatan pangulu dan perangkatnya, masih diwariskannya pusako menurut garis mandeh, serta masih berfungsinya masjid dan perangkat labay/ malin/ bila/ imam/ khatib sebagai alim ulama dalam perangkat adat matrilineal (tali tigo sapilin). Dengan kata lain, selagi orang Minangkabau masih menjalankan Islam secara kaaffah maka adat Minangkabau yang memuliakan perempuan (matrilineal) akan tetap bertahan sampai kiamat,” katanya selesai musyawarah.

Dalam musyawarah berkembang pembicaraan berkaitan dengan pemahaman tentang matrilineal, kondisi masa lalu dan kekinian, perubahan dan hambatan-hambatan pemeliharaan, serta solusi dan aksi yang diperlukan ke masa datang.

“Berkaitan dengan konsep budaya matrilineal, peserta memahaminya sebagai sistem kekerabatan berdasarkan garis ibu, yang menetapkan setiap anak mengikuti suku atau clan ibunya, sehingga membentuk kesatuan keluarga bertingkat dari samande, sajurai, saparuik, sakaum, dan sasuku (matrilineal adalah sistem basuku ka mandeh). Kerabat laki-laki berperan sebagai Kepala Keluarga dalam semua tingkatan itu, yakni sebagai mamak, tungganai, mamak kaum, dan pangulu,” jelasnya. 

Ketentuan tentang garis keturunan, menurutnya berimplikasi kapada sako (warisan gelar adat kepada kemenakan laki-laki yang tepat), pusako (warisan harta kepada kemenakan turun menurun menurut garis mandeh), dan kepemimpinan nagari (sistem permusyawaratan perwakilan di dalam tatanan social politik banagari). 

“Akan tetapi, tidak boleh dilupakan adalah bahwa Orang Minangkabau juga bernasab ke Bapak, yakni garis keturunan sedarah berdasarkan garis ayah, sesuai dengan ketentuan syarak atau agama Islam. Ketentuan itu berimplikasi pada terbentuknya kesatuan keluarga batih (nucleous family), ketentuan ayah/ saudara ayah/ saudara laki-laki kandung atau sedarah/ senasab sebagai wali nikah anak perempuan, dan munculnya harta suarang dan pancarian yang pembagiannya mengikuti ketentuan faraidh dalam syarak (Agama Islam),” ingatnya.

Lebih lanjut Hasanuddin, yang juga pemangku adat sebagai Pangulu di Suku Pinyalai Nagari Kapalo Hilalang Padang Pariaman dengan Sako Datuk Tan Patih itu menjelaskan bahwa dulu, sesuai dengan ketentuan matrilineal, seluruh pusako atau harta (yang bergerak atau tidak bergerak), dimiliki bersama secara kolektif oleh anggota kerabat perempuan dan laki-laki namun hanya diwariskan menurut garis  perempuan. 

“Dengan duduknya laki-laki sebagai mamak atau kepala keluarga komunal matrilineal, maka mamak berperan sebagai pemimpin dan pengayom anak kamanakan serta pemelihara sako dan pusako untuk kesejahteraan kamanakan. Oleh sebab itu, kamanakan saparentah mamak, sesuai dengan ketentuan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, mupakaik barajo ka nan bana, bana barajo ka alue jo patuik (sacaro adat) dan bana badiri sandirinyo (bana sacaro syarak),” urainya. 

Di samping itu, Ketua Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembagan Yayasan SAKO Minangkabau itu juga menjelaskan bahwa dengan dianutnya Islam sebagai agama satu-satunya, laki-laki memiliki peran ganda, yakni sebagai mamak sekaligus sebagai ayah. Hal itu sesuai dengan ketentaun ‘anak dipangku kamanakan dibimbiang, anak dipangku jo pancaharian kamanakan dibimbiang jo pusako’. 

“Namun, faktanya sekarang, ninik mamak relatif tidak berperan banyak. Sako memang tetap diwariskan dan kelembagaan pangulu masih bertahan tetapi perannya banyak berkurang. Hal itu diakibatkan marginalnya sistem hukum adat dan hukum syarak oleh sistem hukum positif negara,” katanya. 

Dalam penjelasannya Hasanuddin menguraikan bahwa dari sisi hukum administratif (sistem pemerintahan terendah nagari sebagai desa), ninik mamak  tidak diberi porsi kewenangan yang seimbang dengan pemerintah (Wali Nagari dan perangkatnya) dan Badan Musyawarah (BAMUS) Nagari. Ninik mamak dalam lembaga KAN seolah hanya sebagai pelengkap penderita.

Di samping itu, dari sisi hukum pidana, semua kasus pidana diproses institusi penegak hukum negara, termasuk pidana ringan (tipiring) yang semestinya dapat diselesaikan oleh ninik mamak secara arif dan bijaksana. Bahkan, sistem hukum itu membatasi ninik mamak untuk bertindak tegas karena bisa dianggap melanggar HAM atau melakukan kekerasan (verbal atau fisik), dan lainnya.

Lebih lanjut adalah sistem hukum perdata dan hukum agraria atau pertanahan yang membuka peluang sengketa pusaka diselesaikan di pengadilan negara yang memarginalkan hukum adat yang justru mengakibatkan tatanan masyarakat adat menjadi lebih goyah.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, para ninik mamak peserta menawarkan solusi sebagai policy brief bagi pengambil kebijakan, yakni (1) revitalisasi sistem pemerintahan nagari, dengan mengembalikan peran ninik mamak dalam Karapatan Pangulu (lembaga legislative nagari), yang menjunjung tinggi asas ‘permusyawaratan perwakilan’ dalam penetapan pemerintah (Wali Nagari selaku pelaksana eksekutif) dan kebijakan pembangunan nigari, serta berfungsinya lembaga peradilan nagari (lembaga yudikatif nagari). Konkritnya, UU 6 Tahun 2014 tentang Desa yang memberi peluang bagi revitalisasi Nagari sebagai Desa Adat serta Perdaprov Sumatera Barat Nomor 7 tahun 2018 tentang Nagari perlu diturunkan ke level Kabupaten/ Kota untuk diimplementasikan. 

Sejalan dengan itu, Adat Salingka Nagari perlu diberi penguatan. Secara umum nagari-nagari Minangkabau menjunjung tinggi adat nan sabatang panjang atau adat salingka alam (adat yang berlaku umum, seperti sistem basuku ka mande banasab ka bapak, UU Nagari, sumbang salah, dan lainnya). Akan tetapi, pada tataran adat istiadat, terdapat perbedaan yang kadang signifikan antara nagari satu dengan nagari lainnya, seperti prihal nagari bapangulu (demokratis) dengan nagari barajo (aristokratis).

“Selain itu, perlunya (2) Penguatan pendidikan muatan lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau di jenjang pendidikan formal sejak Fase Pondasi (PAUD), Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/ MTs), dan Pendidikan menengah (SMA/ SMK/ MA), sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan muatan lokal itu berorientasi kompetensi lulusan dalam tiga domain, yakni: pengetahuan adat dan budaya Minangkabau (knowledge), keterampilan berbahasa Minangkabau umum dan khusus berkarakter dengan aksara Latin dan Arab Melayu (skill), yang semuanya diarahkan untuk pendidikan karakter (attitude atau sikap) bagi anak kamanakan,” tutupnya.(*)


Wartawan : Hasanuddin Dt Tan Patih
Editor : Benk123

Tag :#sijunjung

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com