HOME OPINI OPINI

  • Senin, 24 Juni 2024

Tari Tanduak

Penulis: Viola  Ramadhani
Penulis: Viola Ramadhani

Tari Tanduak

Oleh: Viola  Ramadhani 

Tari Tanduk merupakan salah satu kesenian tradisional anak nagari Lubuk Tarok kecamatan Lubuk Tarok kabupaten Sijunjung, yang tumbuh dan berkembang sejak adanya nagari Lubuk Tarok sekitar 8 abad yang lalu.

Namun, dalam perkembangan zaman Tari Tanduk seringkali kalah bersaing dengan seni budaya lainnya, sehingga, pada akhir-akhir ini Tari Tanduk sudah jarang dimainkan oleh anak-anak nagari Lubuk Tarok.

Apalagi dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini, seni budaya luar lebih digemari oleh anak-anak nagari dibandingkan seni budaya tradisional seperti Tari Tanduk.

Pemain inti adalah dua orang yang masing-masing memainkan sebuah tanduk, dengan saling berhadapan, mempergunakan gerak langkah Pencaksilat, tak obahnya seperti orang sedang berkelahi di suatu medan pertempuran atau seperti dua ekor kerbau yang sedang bertanding.

Di samping pemain inti, ada dua orang pembantu yang berperan mengipas-ngipaskan merawa kiri ke kanan. Keduanya tidak ikut bermain dengan gerak langkah pencaksilat, melainkan hanya cukup berdiri dan berjalan-jalan di seputar permainan Tari Tanduk.

Peran seorang bundo kanduang atau seorang hakim dengan mempergunakan sebuah payung, sebagai lambang untuk  melindungi kedua pemain yang sudah letih, dengan gerak langkah pencaksilat juga menjadi pelengkap dari permainan.

Tarian Tanduk dimainkan di medan nan bapaneh atau di tempat yang memungkinkan dengan diiringi bunyi gendang atau talempong pacik yang seru, sehingga gerak langkah pemain Tari Tanduk selalu mengikuti bunyi gendang tersebut.

Tarian Tanduk berdasarkan sejarah nagari Lubuk Tarok, diciptakan oleh para ahli seni budaya nagari Lubuk Tarok sekitar 8 abad yang lalu, untuk mengenang sejarah berdirinya nagari Lubuk Tarok. Karena, berdirinya nagari Lubuk Tarok tempo dulu merupakan perpaduan dua kerajaan, yaitu kerajaan yang berpusat di Koto Tuo dan kerajaan di Jambulipo.

Dari Koto Tuo ada empat orang datuk sebagai pendamping raja, dan di Jambulipo juga ada empat orang Datuk sebagai pendamping Raja Tigo Selo. Pada mulanya kerajaan itu bermaksud hendak berperang, karena suatu masalah yang belum jelas. Namun akhirnya mengadakan perundingan dan membuat permufakatan, sehingga dibangunlah nagari Lubuk Tarok.

Untuk meringkaskan sebutan asal usil nagari Lubuk Tarok, dilahirkan istilah yang berbunyi “Halaban Muaro Sibaku basentak hilie, Koto Tuo Muaro Karimo basentak mudiek”. Artinya kedua kerajaan itu disatukan, dengan pusako sebagai berikut “Datuk selapan, rajo tigo selo, Sembilan jo urang tuo, cukup dengan kopak rambainyo”.

Datuk yang delapan orang itu berasal dari hilir (Koto Tuo Muaro Karimo), empat orang berasal dari mudiek (Halaban Muaro Sibaku), sementar kopak rambainya disusun berdasarkan hasil permufakatan bersama.

Tanduk runcing terdiri dari empat buah, dua di bawah dan dua di atas, melambangkan empat orang datuk sebagai pembesar kerajaan. Sementara pakaian dasar dari tanduk adalah warna hitam, melambangkan pakaian datuk/penghulu , kuning pakaian Manti, merah pakaian Dubalang dan putih pakaian Pandito/Malain. Warna itu mempunyai arti dan arti makna sebenarnya untuk mengingat sejarah lahirnya nagari Lubuk Tarok.

Tanduk runcing seperti tanduk kerbau juga mengingatkan kembali tentang sejarah lahirnya nama Kerajaan Minangkabau. Artinya kesenian Tari Tanduk yang diciptakan oleh anak nagari Lubuk Tarok, mempunyai arti dan hikmah yang cukup kompleks, karena antara nagari Lubuk Tarok dengan kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung tidak dapat dipisahkan.

Pakaian tanduk juga dilengkapi dengan selendang itu melambangkan bahwa ninik mamak dan bundo kanduang tidak dapat dipisahkan. Artinya peran dan fungsi bundo kanduang dalam segala hal selalu diikuti sertakan, sekalipun dalam menghadapi pertemuan di medan perang.

Di samping itu juga ada cermin yang menghiasi tanduk, yang jumlahnya sebanyak Jinih ninik mamak di nagari Lubuk Tarok. Melambangkan perlunya bercermin diri dalam kehidupan. Bahkan cermin juga dipergunakan untuk kata-kara kiasan, sepert “Kilek beliung lah kakaki, kilek camin lah kamuko. Begitu juga adanya kepala dan rambut, melambangkan bahwa di atas datuk yang berempat sebagai pembesar kerajaan, ada lagi raja lain yang berperan menentukannya.

Sementara merawa yang dikipas-kipaskan kiri kanan, melambangkan kebesaran acara yang diadakan oleh ninik mamak secara tradisional. Artinya bukan untuk menghasut terjadinya pertempuran satu sama lain, bahkan merawa juga di pergunakan sebagai tanda-tanda kepala masyarakat bahwa di sekitar itu ada acara secara tradisional.

Payung yang dimainkan oleh bundo kanduang atau seorang yang memasuki arena permainan, mengisyaratkan kepada pemain agar berhenti dan kembali ke rumah untuk istirahat dan berunding mencari permufakatan. Sebab, dengan telah masuknya seorang penari dengan mempergunakan payung, maka permainan tari tanduk selesai.

Tarian Tanduak diciptakan karena tujuannya untuk melestarikan tari Tanduak atau mempertahankan eksistensi tari Tanduak. Hal ini dilakukan karena saat ini tari tradisional Tanduak sudah tidak dipertunjukkan lagi di muka umum, baik pada saat penyambutan maupun acara-acara lainnya, karena Tari Tanduak sudah sangat tua bahkan orang yang pernah memainkan tari tanduk sudah ada yang meninggal dunia.

Dengan terciptanya tari Tanduak kreatif yang dipentaskan di sanggar sekapur sirih diharapkan tari Tanduak dapat dikenal oleh masyarakat Nagari Lubuk tarok, dan juga tari Tanduak semakin banyak diminati masyarakat saat sekarang ini. dan dapat digunakan, serta ditampilkan dalam berbagai acara yang diadakan di Nagari Lubuk Tarok dan di Nagari Sijunjung, tanpa batasan.

Target audiens dari Sanggar Sekapur sirih adalah kalangan remaja dan anak sekolah di nagari Lubuk Tarok. Dengan diciptakannya tari Tanduak dari berbagai sudut, tidak hanya geraknya saja namun juga penampilan dan pengiring tari Tanduak diharapkan dapat menarik perhatian para remaja, generasi muda dan anak-anak dan sekolah untuk dapat mempelajari Tari Tanduak yang telah diciptakan, dengan cara ini keberadaan tari Tanduak dapat terus dilestarikan.

Tentu saja tidak hanya menarik perhatian remaja perempuan untuk menarikan tari Tanduak, namun juga para remaja atau laki-laki untuk mempelajari dan menyukai serta memainkan alat musik tradisional untuk mengiringi berbagai macam tarian tradisional, salah satunya adalah tari Tanduak.

Terbukti saat ini tari Tanduak sudah sering muncul di berbagai acara yang diadakan di Nagari Lubuk Tarok dan Nagari Lainnya. Baik acara lokal maupun permintaan dari luar kabupaten untuk menampilkan tari Tanduak kreasi ini. Seperti acara HUT Kabupaten Sijunjung, Expo Sumbar, acara Tour De Singkarak, acara Borolek atau pesta pernikahan dan masih banyak lagi acara lainnya yang menginginkan tari Tanduak sebagai pengisi acara yang mereka selenggarakan.

Demikianlah Sinopsis Tari Tanduk ini tercipta sesuai dengan sejarah yang diwariskan secara turun temurun oleh anak nagari Lubuk Tarok. Namun apabila ada yang perlu ditambah atau dikurangi, selama tidak mengurangi makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya tentu boleh dilakukan, karena penulis sebagai salah satu orang yang mewariskannya, pastinya tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan, terima kasih

(Penulis: Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas Padang)

 


Tag :#Tari Tanduak #Artikel

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com