HOME OPINI OPINI

  • Rabu, 27 Maret 2024

Pemajuan Kebudayaan Dalam Konteks Sumatera Barat: Konsep Dan Tantangan Kebijakan (Bagian Kesatu Dari Tiga Tulisan)

Hasanuddin Hasanuddin
Hasanuddin Hasanuddin

Oleh Hasanuddin Hasanuddin

(Dosen Sastra Minangkabau dan Kajian Budaya Universitas Andalas)

 

Pada 2017 Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, waktu itu Taufik Effendi, S.Pd., M.M. meminta saya membuat naskah akademik untuk penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tentang Pemajuan Kebudayaan. Itu artinya sebuah respons dan gerak cepat Kepala OPD terkait terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Permintaan itu juga saya beri respons dan gerak cepat dengan membentuk Tim Penyusun yang terdiri dari ahli sejarah (Dr. Nopriyasman, M.Hum.), ahli budaya, adat, dan agama Islam (Dr. Yulizal Yunus, M.Si.), ahli hukum (Dr. Yuslim, SH, MH), dan ahli Bahasa Minangkabau (Dr. Lindawati, M.Hum.) dan saya sendiri (Dr. Hasanuddin, M.Si.) sebagai ahli Kajian Budaya Minangkabau. Hasil kerja itu telah dipertanggungjawabkan kepad Dinas Kebudayaan Provinvi Sumatera Barat pada Tahun 2017 itu juga. Namun, tidak ada kabar berita tentang tindak lanjutnya.

Tiba-tiba pada 2023 tersiar kabar bahwa Ranperda Pemajuan Kebudayaan Daerah Sumatera Barat telah dalam pembahasan. Alhamdulillah batin saya. Akan tetapi muncul pertanyaan, “Naskah akademik mana yang digunakan”? Tentu pertanyaan itu tidaklah penting untuk dijawab ketimbang substansi Ranperda itu sendiri. Benar juga, setelah berganti tahun muncul gemuruh sebagaimana diberitakan Minangsatu pada Rabu, 27 Maret 2024, dengan judul berita “Ranperda Pemajuan Kebudayaan Daerah Sumatera Barat Diminta Dimatangkan Sebelum Disahkan”. Tulisan kecil ini mencoba menjelaskan tentang konsep kebudayaan dan pemajuan kebudayaan dalam konteks Sumatera Barat.

 

Konsep kebudayaan

Konsep budaya dan kebudayaan mengalami reduksi sehingga dipahami secara terbatas sebagai seni atau kesenian dan hal ihwal tentang masa lalu, kuno, tradisional, dan cenderung bersifat material. Hal itu juga tercermin dalam UU no 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Disitu disebutkan bahwa kebudayaan adalah “segala sesuatu yang berkait dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat” (pasal 1 angka 1). Sejalan dengan itu, hanya ada 10 Objek Pemajuan Kebudayaan yang diakui di dalam UU tersebut, yakni: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, Bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Pengertian konsep dan cakupan Undang-undang tersebut jelas terbatas dan membatasi. Sebab, makna kebudayaan itu hakikatnya bersifat holistic-komprehensif sistem kehidupan manusia. Memang terlalu banyak defenisi kebudayaan karena mengikuti pemahaman orang-orang yang berbeda dan tidak pernah satu pendapat. Untuk ranah keilmuan hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, jika untuk dijadikan rujukan dalam bentuk kebijakan, maka defenisi yang kontekstual mesti disepakati. Lalu apa defenisi yang kontekstual tersebut.

Daoed Joesoef (1986) merumuskan sangat simple tapi bermakna. Menurutnya, budaya adalah sistem nilai yang dihayati. Nilai adalah segala sesuatu yang diyakini baik dan menjadi standar perilaku. Segala sesuatu yang mencerminkan budaya adalah kebudayaan (Joesoef, 1996). Hal itu didetilkan oleh Koentjaraningrat (yang memperbaharui pengategorian unsur-unsur universal kebudayaan Kluckhon) bahwa kebudayaan memiliki empat wujud dan tujuh unsur. Keempat wujud kebudayaan dimaksud adalah system nilai budaya, system ide atau gagasan, sistem perilaku, dan sistem karyacipta. Keempat wujud tersebut terefleksi di dalam tujuh unsur kebudayaan yang sistematis, yakni religi, bahasa, kesenian, pengetahuan, social, mata pencaharian hidup, dan teknologi (Koentjaraningrat, 1998).

Dengan demikian, esensi “kebudayaan” adalah budaya atau system nilai yang dihayati oleh sekelompok masyarakat, berupa sesuatu yang diyakini “baik” dan dijadikan standar bagi wujud kebudayaan lainnya, yakni: ide atau gagasan, perilaku, dan karyacipta. Implikasinya, ide-ide, perilaku-perilaku, dan karya-karya cipta yang tidak didasari oleh system nilai yang dihayati oleh suatu masyarakat maka semua itu bukanlah kebudayaan mereka. Ini landasan berpikir mengapa defenisi kebudayaan mesti bersifat kontekstual.

Defenisi kebudayaan kontekstual ini menolak pengertian bahwa kebudayaan adalah “kebiasaan turun temurun” karena bisa menyesatkan. Sebab, apabila perjudian, kekerasan, nyontek, kolusi, korupsi, nepotisme, lukisan telanjang, tarian bugil, LGBT, dan perilaku menyimpang lainnya telah menjadi kebiasaan, ia akan dinyatakan sebagai budaya. Muncullah kata-kata budaya perjudian, budaya kekerasan, budaya nyontek, budaya kolusi, budaya korupsi, budaya nepotisme, budaya lukisan telanjang, budaya tarian bugil, budaya LGBT, dan lainnya. Kebudayaan dijadikan label untuk menjustifikasi sebuah kebiasaan, yang mungkin berisi kebuasan atau kebiadaban. Apalagi dengan dasar itu dibuat pula undang-undang yang melindungi kebebasan berekspresi. Jelas hal itu sangat menyesatkan dan berbahaya bagi peradaban manusia yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa taala sebagai makhluk mulia.

Oleh sebab itu, konsep kebudayaan mesti dikembalikan ke esensinya sebagai sistem nilai yang dihayati dan menjadi standar ide, perilaku dan karyacipta. Kata “mesti” berlandaskan kepada pemahaman terhadap esensi kritis pemikiran dan keilmuan, yang tidak semata-mata berlandaskan pada deskripsi atau des sein (sebagaimana apa adanya), tetapi mesti sampai kepada preskripsi atau des solen (bagaimana seharusnya ada).

Dalam konteks Minangkabau di Sumatera Barat, system nilai itu adalah syarak dan representasinya (ide atau gagasan, sistem perilaku, dan karyacipta) adalah adat. Rumusan filosofisnya adalah adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah, yang dipertegas lebih lanjut dengan syarak mangato-adat mamakai. Syekh Sulaiman ar-Rasuli atau Inyiak Canduang menganalogikan syarak ibarat nyawo adat ibarat tubuah, tubuah nan bapaneh syarak nan balinduang. Dengan begitu, Buya Dr. Gusrizal Gazahar, Lc., M.Ag. menyimpulkan bahwa di Minangkabau adat atau  kebudayaan dibentuk oleh agama, bukan sebaliknya agama dibentuk oleh olah piker manusia sehingga menjadi bagian dari adat atau kebudayaan.

Pertanyaannya, beranikah pemerintah Sumatera Barat mengembalikan konsep kebudayaan itu ke makna yang esensial dalam dokumen-dokumen regulasi dan kebijakan daerah di Sumatera Barat? Sebab, reduksi konsep dan pembatasan objek pemajuan kebudayaan menjadi hambatan dan tantangan dalam penataan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan daerah karena dapat menimbulkan polarisasi pada ranah substansi dan implementasi pembangunan. Hal itu makin krusial ketika mencita-citakan pembangunan manusia Sumatera Barat yang diorientasikan untuk menyumbang bagi Indonsia Emas 2045 (Seratus Tahun Indonesia Merdeka) yang setara dengan sumbangan Sumatera Barat/ Minangkabau dalam mewujudkan Republik Indonesia Merdeka pada 1945.

Pertanyaan berikutnya, beranikah pemerintah Sumatera Barat menjadikan “Kebudayaan” sebagai core values kebijakan holistic-komprehensif bagi seluruh OPD yang ada? Hemat saya, kebudayaan mesti dijadikan core values (nilai inti) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sumatera Barat Tahun 2025-2045. Sebab, kebudayaan adalah konsep holistic-komptehensif yang mengcakupi seluruh aspek kehidupan masyarakat Sumatera Barat. Kebudayaan memayungi seluruh aspek kehidupan, yang dalam sistem pemerintahan memayungi semua unit institusi atau OPD yang ada.

Bersambung ….


Tag :#UNAND#KajianBudaya#PemajuanKebudayaan#Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com