HOME OPINI OPINI

  • Selasa, 11 Juni 2019

Tradisi Unik Itu Bernama Halal Bihalal

Foto bersama keluarga besar Disbud Sumbar usai halal bi halal
Foto bersama keluarga besar Disbud Sumbar usai halal bi halal

Tradisi Unik Itu Bernama "Halal Bihalal"

Oleh: Masrizal Rajo Basa

Sebagai anak bangsa dan warga negara kita patut berbangga. Ada-ada saja jargon, slogan, atau semboyan yang telah dibuat oleh genius-genius bangsa ini. 

Para "Arif Bangsa" (meniru istilah kaum sufi Arif Billah) seakan sudah mempersiapkannya sejak dulu kala agar bangsa yang memiliki multi diversitas ini dapat berdiri kokoh dengan kakinya sendiri yang begitu unik dan berbeda.

Salah satu keunikan itu adalah tradisi halal bihalal. 
Tradisi ini seolah-olah tidak pernah matinya, sama halnya seperti ziarah kubur, mudik, takbiran, makan ketupat, beli baju baru dan sebagainya. Semua aktivitas ini hampir dilakukan oleh penganut agama Islam se-nusantara dalam selebrasi Idul Fitri dengan praktek yang beragam pula.

Jika merujuk kepada asal kata halal bihalal, dapat dipastikan ini bukanlah bahasa Indonesia. Kata halal bihalal kedengarannya adalah bahasa Arab, walaupun orang Arab sendiri tidak paham dengan artinya karena tidak ada penggabungan kata seperti itu dalam gramatikal bahasa mereka.

Halal bihalal berarti maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan atau Idul Fitri yang biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang  yang merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia sebagai ajang silaturrahim (lihat KBBI).

Tidak ada dokumen sahih yang melegalisasi kapan awal mulanya halal bihalal ini dilakukan, baik secara istilah maupun substansi. 

Akan tetapi dapat dipastikan ritual ini secara esensial bertujuan untuk saling memberikan maaf atas kesalahan orang lain pada masa-masa yang telah berlalu. 
Pasca Halal Bihalal semua kesalahan terasa habis dimaafkan di hari-hari lebaran. Api dendam dan permusuhan diharapkan sirna beriringan dengan habisnya THR dari kantong dan dompet kita, habisnya kue-kue lebaran di kotak-kotak yang tersedia, serta habisnya masa cuti lebaran bagi para pekerja dan abdi negara.

Jika direnungi,  kata halal bihalal hanya dimengerti di Indonesia karena sudah di "naturaliasi" kedalam bahasa Indonesia sama halnya dengan   menaturalisasi pemain asing menjadi pemain sepak bola di timnas Indonesia.
Secara substansi, ternyata paraktek naturalisasi telah di inisiasi oleh sesepuh kita jauh sebelum bangsa ini bernama Indonesia.

Apabila kata halal bihalal itu bermakna silaturrahim, maka praktik ini sudah dilakukan pada masa keraton kesunanan di Surakarta dimana pangeran Sumbernyawa atau Mangkunegara I sudah melakukannya pada abad ke 17. Pada saat itu istilah populernya disebut "sungkeman". Pangeran memerintahkan punggawa istana untuk berkumpul dan saling memaafkan setelah hari raya tiba. 
Aktivitas ini juga sebagai sarana mengatur strategi dalam melawan agresi kolonial sehingga wajar belanda mencurigai dan berusaha melarangnya (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger, dalam NU Online 13 agustus 2013).
Kata Halal Bihalal  juga pernah dirumuskan oleh KH Wahab Qasbullah pada era awal kepemimpian presiden Soekarno pada tahun 1948 (Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi dalam dalam m.liputan6.com).

Selaku Presiden, bung Karno meminta KH Wahid Qasbullah untuk mencari solusi atas banyaknya tokoh nasional yang bersiteru ditengah ancaman desintegrasi bangsa karena adanya berbagai pemberontakan di pelososok Nusantara terutama DI/TII di Aceh dan PKI di Madiun. 

Ide cemerlangnya untuk mengumpulkan tokoh bangsa setelah hari raya Idul Fitri tiba diamini oleh presiden Soekarno kala itu. 

Pertemuan ini dilakukan di istana negara dengan tujuan untuk menguatkan kembali ikatan primordial kebangsaan dengan menghalalkan kesalahan antar sesama anak bangsa dan saling memaafkan yang diberi nama Halal Bihalal.

Sebagai sebuah tradisi, Halal Bihalal secara natural telah mendapatkan tempatnya di Indonesia. Walaupun tidak ada perintah agama secara tegas mengaturnya, even tahunan ini seolah-olah menjadi "wajib" adanya terutama pada setiap kantor dan tempat bekerja.  Lebaran terasa kurang afdhol rasanya jika tidak melakukan tradisi ini.

Pada akhirnya halal bihalal sampai saat ini masih tetap menjadi ciri khas budaya Indonesia yang patut dilestarikan eksistensinya. Ia tidak saja menjadi alat politik penguasa untuk mencegah desintegrasi bangsa, melainkan juga merupakan sarana sosial untuk menyusun strategi dalam mencapai tujuan bersama. 

Akulturasi antara Islam dan budaya Indonesia telah menghasilkan sesuatu tradisi yang berbeda (unik) sebagai kearifan lokal  nusantara.


Tag :Disbud Sumbar #halal bi halal

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com