HOME LANGKAN TINGKOK

  • Minggu, 27 April 2025

Kerajaan Pagaruyung: Representasi Kearifan Budaya Minangkabau Dan Kejayaannya

Penulis: Muhamad Arif Al Musri,
Penulis: Muhamad Arif Al Musri,

Kerajaan Pagaruyung: Representasi Kearifan Budaya Minangkabau dan Kejayaannya

Oleh : Muhamad Arif Al Musri
Kerajaan Pagaruyung, kerajaan yang menciptakan peradaban Minangkabau, terletak di pusat Sumatera Barat. Kerajaan ini lebih dari sekadar entitas politik, yaitu adalah bentuk tata kelola masyarakat yang harmonis yang memadukan sentralisasi kekuasaan dan otonomi lokal, menggabungkan tradisi Melayu kuno dengan pengaruh India dan Jawa. Untuk benar-benar memahami kompleksitas kerajaan ini, kita perlu mempelajari berbagai aspeknya secara menyeluruh, mulai dari sejarahnya, struktur pemerintahannya, kehidupan sosial-budaya, dan warisan yang masih ada hingga hari ini.

Kerajaan Pagaruyung erat kaitannya dengan Adityawarman, seorang pangeran berdarah Melayu-Jawa yang lahir sekitar abad ke-14. Ia memiliki hubungan darah dengan raja Majapahit dari pihak ayah, dan ibunya, Dara Jingga, adalah putri dari Kerajaan Dharmasraya. Karakter pemimpin Adityawarman dibentuk oleh latar belakang multikultural ini. Ketika ia memilih untuk menempatkan pusat pemerintahannya di Pagaruyung (sekarang bagian dari Kabupaten Tanah Datar), ia membawa ide-ide pemerintahan dari Jawa, tetapi dengan cara yang cerdas mengadaptasinya dengan keadaan lokal Minangkabau.

Kekuasaan Pagaruyung dibagi secara sistematis menjadi dua bagian utama. Pertama, wilayah inti yang disebut Luhak Nan Tigo terdiri dari Luhak Tanah Datar (pusat pemerintahan), Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Koto. Dalam sistem sosial Minang, ketiga luhak ini dianggap sebagai "induk". Kedua, wilayah rantau adalah daerah perluasan, yang mencakup wilayah seperti Siak, Indragiri, dan Batang Hari. Pembagian ini bukan hanya karena tanah, tetapi juga karena filosofi politik yang mendalam: pusat sebagai sumber legitimasi dan rantau sebagai perluasan pengaruh.

Pemerintahan Pagaruyung memiliki struktur yang menarik yang menghasilkan keseimbangan yang unik. Di tingkat pusat, raja (yang bergelar Yang Dipertuan Pagaruyung) berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi dan penghubung. Namun, tidak seperti raja-raja Jawa, masing-masing nagari (kesatuan masyarakat terkecil) memiliki otonomi yang luas di tingkat lokal, dipimpin oleh penghulu-penghulu adat. Salah satu pepatah Minang yang paling terkenal adalah, "Luhak bapanghulu, rantau barajo", yang berarti bahwa penghulu memerintah daerah inti, dan raja memerintah daerah rantau. Raja Pagaruyung tidak memerintah secara langsung, tetapi lebih banyak bertindak sebagai penengah dalam konflik nagari.

Aspek ekonomi kerajaan ini juga harus diperhatikan dengan cermat. (1) pajak perdagangan di pelabuhan strategis, (2) uang sidang untuk perkara adat, (3) hasil pengelolaan sawah kerajaan, dan (4) penghormatan dari daerah-daerah rantau adalah sumber pendapatan utama. Yang menarik adalah bahwa orang biasa tidak dikenakan pajak penghasilan atau kerja paksa, tidak seperti kerajaan feodal pada umumnya. Konsep "patiih", atau kewajiban adat, mendasari sistem pajak yang lebih bebas. Hal ini menunjukkan tingkat kemakmuran yang sangat tinggi sehingga negara tidak perlu memberatkan warganya untuk membayar pemerintahan.

Sebagai tampak dari banyak prasasti yang disimpannya, Buddha aliran Bhairawa mendominasi kehidupan keagamaan di Pagaruyung pada masa Adityawarman. Tetapi ini tidak berarti eksklusif. Kepercayaan lokal dan sistem nilai adat Minangkabau masih ada di masyarakat. Terjadi proses akulturasi yang damai antara nilai-nilai Islam dengan tradisi yang telah mapan, bahkan ketika Islam mulai masuk pada abad-abad berikutnya.

Berbagai prasasti yang ditemukan memungkinkan kita untuk melihat warisan fisik Kerajaan Pagaruyung. Setidaknya sembilan belas prasasti penting memberikan gambaran tentang kehidupan di masa itu. Misalnya, Prasasti Saruaso I (1375 M) menceritakan tentang Adityawarman mengadakan upacara keagamaan Bhairawa. Prasasti Amoghapasa mencatat hubungan diplomatik dengan Kerajaan Singosari di Jawa, dan Prasasti Kuburajo I menampilkan silsilah keluarga kerajaan. Yang menarik, semua prasasti ini menggunakan aksara Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta, menunjukkan tingkat literasi yang tinggi dan pengaruh besar dari budaya India.

Pagaruyung meninggalkan warisan seni dan arsitektur yang luar biasa. Istana Pagaruyung, juga disebut Istana Basa, menjadi ikon budaya Minangkabau karena arsitektur gonjongnya yang unik. Teknik pembangunan istana ini menunjukkan kemampuan masyarakat saat itu dalam konstruksi kayu. Banyak ragam hias pada bangunan menggunakan motif alam seperti hewan dan tumbuhan, mencerminkan filosofi hidup yang selaras dengan alam.

Kerajaan Pagaruyung mengalami transformasi besar ketika Islam mulai menyebar di Sumatera Barat sekitar abad ke-16. Setelah para raja menganut agama Islam, terjadi integrasi antara prinsip-prinsip Islam dengan sistem tradisional. Hingga saat ini, gagasan "adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan Al-Qur'an" (adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan Al-Qur'an) masih merupakan pilar masyarakat Minangkabau. Identitas kultural yang sudah ada sebelumnya tidak dihilangkan selama proses islamisasi yang damai.

Ada banyak cara yang dapat dilihat bagaimana Kerajaan Pagaruyung memengaruhi masyarakat Minangkabau kontemporer. Sebenarnya, struktur sosial zaman Pagaruyung berasal dari sistem matrilineal, atau garis keturunan ibu, yang menjadi ciri khas masyarakat Minang. Organisasi adat seperti kerapatan adat, penghulu, dan ninik mamak adalah hasil dari sistem pemerintahan nagari yang lebih awal. Bahkan dalam struktur pemukiman Minang tradisional, ada pola yang mirip dengan struktur kota pusat Kerajaan Pagaruyung lama.

Nilai-nilai yang dipegang oleh Kerajaan Pagaruyung masih relevan dengan dunia saat ini. Konsep musyawarah untuk mufakat, yang merupakan dasar demokrasi Indonesia, sebenarnya berasal dari tradisi kerapatan Pagaruyung. Selain itu, struktur pemerintahan kontemporer di Indonesia menunjukkan prinsip keseimbangan antara otoritas pusat dan otonomi daerah. Semangat merantau orang Minang yang terkenal itu bahkan dapat ditemukan dalam kebijakan yang diambil Kerajaan Pagaruyung untuk memperluas wilayah di sekitarnya.

Bangunan aslinya telah beberapa kali terbakar, dan Istana Pagaruyung yang sekarang berdiri megah di Batusangkar sebenarnya adalah replika. Namun, kehadirannya masih penting sebagai simbol kebanggaan dan identitas orang Minang. Istana ini menarik ribuan pengunjung setiap tahun untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan Minangkabau. Di dalam kompleks istana, berbagai festival dan acara adat biasa diadakan, menunjukkan bahwa warisan Pagaruyung masih hidup dalam kehidupan masyarakat.

Dengan mempelajari Kerajaan Pagaruyung, Anda tidak hanya dapat mengingat masa lalunya yang luar biasa, tetapi Anda juga dapat mengambil pelajaran penting untuk menghadapi tantangan saat ini. Warisan terbesar yang ditinggalkan kerajaan ini adalah sistem pemerintahan yang menghargai kearifan lokal, ekonomi yang berkeadilan, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya. Nilai-nilai inklusivitas dan toleransi Pagaruyung patut menjadi inspirasi dalam konteks Indonesia modern yang penuh dengan keragaman.

Kerajaan Pagaruyung menunjukkan bahwa sebuah peradaban dapat berkembang menjadi kuat tanpa mengorbankan perbedaan. Kerajaan ini menciptakan model tata kelola masyarakat yang bertahan selama berabad-abad dengan menggabungkan kecerdasan politik, keluhuran budaya, dan kearifan lokal. Warisan yang paling berharga dari Minangkabau mungkin bukan istana atau prasasti, tetapi sistem nilai yang masih ada dalam darah orang Minangkabau.

(Penulis Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)


Wartawan : Muhamad Arif Al Musri
Editor : melatisan

Tag :#Kerajaan Pagaruyung #Budaya Minangkabau

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com