HOME RANCAK PROVINSI SUMATERA BARAT

  • Jumat, 30 Desember 2022

Di Penghujung Tahun 2022, 10 Penulis Puisi Esai Sumbar Mendapat Penghargaan

Ketua Satupena Sumbar, Sastri Bakry.
Ketua Satupena Sumbar, Sastri Bakry.

Padang (Minangsatu) - 10 Penulis Puisi Esai dari kalangan Satupena Sumbar mendapat penghargaan atas karya mereka, dalam rangka bulan puisi esai. Mereka adalah Armaidi, Afriyendra, Hasanuddin, Khalid Efendi, Nenri Gusni, Yulia Fitrina, Yurnaldi, Ramli Jafar, Ranti Arastri dan Zaitun Ul Husna.

"Saya berbahagia ketika menerima pesan whatsapp dari Denny JA bahwa dalam rangka Bulan Puisi Esai, Satupena Pusat akan memberikan penghargaan masing-masing satu juta rupiah untuk penulis puisi esai Sumbar terbaik," ungkap Sastri Bakry, Jumat (30/12/2022) kepada minangsatu.com.

Sastri merasa penghargaan ini luar biasa. "Sebab tanpa sengaja yang 10 orang terpilih ini ternyata ada dari kalangan wartawan, dosen, guru, sastrawan, PNS, agamawan dan aktivis. Ada yang senior dan ada yang yunior," jelasnya, "dan mereka memang orang-orang berprestasi selama ini."

Ditambahkan, sejak organisasi Satupena Sumbar didirikan, obsesinya fokus pada empat program salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan penulis. "Artinya, Satupena Sumbar telah memberikan satu lagi bukti manfaat organisasi bahwa menulis itu bisa menghasilkan uang," sebut Sastri Bakry, ketua Satu Pena Sumbar yang sekarang lagi sibuk mempersiapkan iven besar Bertaraf internasional (IMLF).

Menilik karya 10 penulis tersebut, kita menjadi lebih banyak tahu betapa ketidakadilan itu muncul tidak hanya dalam relasi kuasa seperti puisi ”Mempertanyakan Keadilan”, ”Ironi Simponi Negeri”, ”Rasa Dirasa Keadilan dan Kebenaran” dan ”Surat Terbuka Paduka Raja untuk Tuan Presiden”. Atau dalam komunitas adat, seperti puisi "Negeri Beradat di Simpang Jalan", dan puisi ”Nagari Bundo Kanduang” atau ketidakpahaman sejarah yang menimbulkan ketidakadilan seperti pada puisi "Marah". Bahkan ternyata, dalam keluarga, tempat sumber kasih sayang juga tak jarang terjadi ketidakadilan dan ketakberdayaan seperti dalam puisi "Harga Dirimu Bukanlah Nol Rupiah", ”Surat Cinta Amelia”.

Tapi yang menarik sesuai perkembangan zaman ternyata ibu dan anak tidak lagi sesuai dengan anak zaman dulu seperti terungkap dalam puisi ”Aku, Mamak, dan Anakku”.

Sepuluh orang penulis puisi esai dalam kumpulan puisi ini telah mencoba menyoroti berbagai bentuk realitas faktual kemanusiaan berupa ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekerasan dan pelecehan bahkan ketidakberdayaan yang menyentuh nurani kita secara simbolis, kritis dan tajam. Semua puisi esai tersebut membuat kita merenung bahkan menangis tanpa bisa lagi mengeluarkan airmata. "Silahkan membaca karya mereka," ajak Sastri.


Wartawan : Sastri
Editor : ranof

Tag :#Puisi esai #Satupena sumbar #Satupena pusat

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com