- Jumat, 29 Maret 2024
Strategi Pengaturan Pemajuan Kebudayaan Sumatera Barat (Bagian Terakhir Dari Tiga Tulisan)

Oleh Hasanuddin Hasanuddin
(Dosen Sastra Minangkabau dan Kajian Budaya Universitas Andalas)
Kebudayaan bukan benda mati tapi hidup karena melekat pada makhluk hidup yang bernama manusia. Kebudayaan itu akan terus hidup manakala dihidupi dengan memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi akan mati manakala ditelantarkan tanpa peduli. Ruhnya adalah sistem nilai dan batang tubuhnya adalah sistem ide atau gagasan, sistem perilaku, dan budaya fisik sebagai hasil karyacipta. Saya cenderung menganalogikannya sebagai sebuah tumbuhan yang tumbuh di tanah dalam ekosistem tertentu, tumbuh dari sebuah limbago, yang membentuk pokok, mengakar ke bawah atau bumi, dan ke atas membentuk batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah. Pemajuan kebudayaan ibarat merawat tumbuhan itu agar tumbuh subur, kokoh, kuat, tahan, bertuah, berbuah dan dinikmati oleh anak cucu sebagai sadoqah jariyah bagi para pendahulunya.
Analogi di atas diharapkan memudahkan Tim Penyusun Ranperda terkait untuk memahami tentang apa, siapa, dan bagaimana kita merencanakan, menyelenggarakan, dan mengawasi pemajuan kebudayaan. Pertanyaan “apa” menuntun kepada ranah dan objek pemajuan; pertanyaan “siapa” mengarahkan kepada subjek pelaku pemajuan; dan pertanyaan “bagaimana” membimbing kepada strategi, taktik, dan teknik pemajuan.
Mari kita identifikasi apa saja ranah dan objek pemajuan kebudayaan untuk direpresentasikan di dalam Ranperda Pemajuan Kebudayaan Sumatera Barat. Ranah (dan objek) pemajuan kebudayaan yang relevan untuk Sumatera Barat (mungkin juga berlaku untuk provinsi lain) adalah (a) ruh sekaligus limbago dan akar kebudayaan (sistem nilai), (b) batang (identitas yang menjadi jati diri), (c) cabang (tujuh unsur kebudayaan daerah), (d) daun (cipta rasa karsa dan karya budaya), (e) bunga (apresiasi dan sejenisnya), dan (f) buah (sosio kultural capital yang dihasilkannya).
Untuk kebudayaan Minangkabau misalnya, ranah dan objek pemajuan kebudayaannya seyogiyanya adalah (1) sistem nilai yang berlandaskan pada filosofi alam takambang jadi guru dan konsensus/ pasumpahan dalam rumusan kultural adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah, (2) identitas yang dicirikan oleh konsep basuku ka mande banasab ka bapak (kombinasi matrilineal dan patrilineal), (3) unsur kebudayaan (Bahasa, pengetahuan dan pendidikan, religi, kesenian, sosial, ekonomi, teknologi), (4) karyacipta budaya (karya seni, permainan rakyat, olahraga tradisional, benda cagar budaya, dan lainnya), (5) apresiasi untuk motivasi kreatifitas, dan (6) potensi pemajuan kebudayaan berorientasi capital atau komersial.
Lalu, siapakah yang bertanggung jawab melakukan pemajuan? Dalam hal ini adalah (1) pemerintah daerah dari gubernur sampai wali nagari/ lurah (pemegang otoritas kebijakan dan pendanaan), (2) lembaga ninik mamak tingkat provinsi sampai limbago di nagari/ suku, (3) majelis ulama dari tingkat provinsi sampai urang jinih nan ampek di nagari, (4) cadiak pandai (akademisi, ahli, pendidik, fungsional, dll) pada semua level dan tingkatan, (5) lembaga bundo kanduang sampai limbago mande soko di tingkat kaum/ suku, (6) parik paga (pemuda, mahasiswa, pelajar, karang taruna, dll), (7) para budayawan/ seniman/ praktisi budaya/ pekerja budaya, dan (8) ormas kebudayaan, sanggar, lembaga swasta, dan lainnya.
Lebih lanjut, bagaimana strategi, taktik, dan teknik pemajuan kebudayaan itu dilakukan? Strategi, taktik, dan teknik itulah yang dirumuskan sebagai pengaturan dalam sebuah peraturan daerah atau bentuk peraturan lainnya. Pengaturan dimaksud berisi landasan, tujuan, objek dan subjek pelaku, relasi antara objek dengan subjek pelaku, hubungan antar dan pembagian peran di antara sesama subjek pelaku, output yang dikehendaki, dan outcomes yang diharapkan. Sederhananya, secara sistematis, pengaturan dapat disusun dengan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: apa asas (landasan esensial) dan tujuan pengaturan dibuat, apa tugas dan kewenangan pemerintah (sebagai pemegang otoritas dan kebijakan termasuk pendanaan), apa cakupan objek yang diatur pemajuannya, bagaimana kondisi objek sebagai dasar pemajuan (pokok pikiran), apa lingkup pekerjaan pemajuan, siapa subjek pelaku dan memerankan apa dalam pemajuan, apa hak dan kewajiban para subjek pelaku, dan apa aspek lainnya yang dipandang perlu dalam pengaturan.
Dalam konteks Sumatera Barat saat ini, hemat saya, ranah dan objek pemajuan kebudayaan yang strategis dan patut dijadikan tumpuan utama adalah (1) penguatan sistem nilai dan (2) peneguhan identitas. Dijadikan tumpuan utama selain karena unsur itu memang fundamental ia juga telah mengalami kemunduran yang signifikan akibat kurang mendapatkan perhatian. Bahkan, kondisi demikian tidak signifikan muncul dalam rumusan pokok pikiran pemajuan kebudayaan daerah yang dirumuskan dari inventarisasi objek pemajuan kebudayaan yang dilakukan terakhir ini.
Bentuk konkrit program penguatan sistem nilai dan peneguhan identitas yang saya rekomendasikan untuk jadi tumpuan utama adalah pendidikan kebudayaan dan pemberdayaan pelaku pemajuan kebudayaan di level terendah. Pertama, pendidikan kebudayaan merupakan program strategis pemajuan kebudayaan karena berorientasi penguatan ruh, limbago, atau akar kebudayaan kepada generasi penerusnya. Pendidikan kebudayaan atau lazim disebut pendidikan muatan lokal diorientasikan kepada pendidikan karakter berbasis budaya local pada sistem pendidikan formal, informal, dan non formal. Pendidikan karakter ini menjadi basis kekuatan pemajuan kebudayaan karena sasarannya berkorelasi kuat dengan ketahanan budaya. Di samping itu, karakter yang terbentuk dari pendidikan itu akan memberi kontribusi budaya daerah itu terhadap kebudayaan nasional, khususnya kontribusi karakter yang mendukung bagi Penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Kedua, penguatan dan pemberdayaan pelaku pemajuan di level terendah yakni kaum/ suku/ nigari/ uma atau sejenisnya juga tidak kalah krusialnya. Penguatan dan pemberdayaan pada level terendah itu strategis karena Kaum/ suku/ nagari adalah basis kehidupan kebudayaan Minangkabau sesungguhnya dan dapat dikatakan sebagai benteng terakhir ketahanan budaya induknya. Pelaku pemajuan di level terendah itu dalam budaya Minangkabau adalah unsur tungku tigo sajarangan, urang nan ampek jinih dan urang jinih nan ampek serta mande soko.
Jika penguatan terhadap kedua unsur itu berhasil diwujudkan maka unsur kebudayaan lain akan ikut termajukan. Sebab, kebudayaan itu hidup dan ruhnya adalah sistem nilai. Sistem nilai harus diperkuat, cara utamanya adalah melalui pendidikan. Pendidikan akan membuahkan kompetensi berisi pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau karakter, tetapi hal itu akan menjadi barang asing ketika basis sosial konkritnya tidak ada, yakni kaum/ suku/ nigari. Sebaliknya, jika kedua basis sistem nilai itu hidup, maka unsur dan representasi kebudayaan lainnya akan tumbuh dan berkembang selayaknya sebuah pohon dalam ekosistem yang kondusif, ia akan menjadi rindang, berbunga dan berbuah.
Sesungguhnya ada dua hal baru yang patut didukung dalam Ranperda itu yaitu alokasi pendanaan pemajuan kebudayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebesar dua persen (2%) dan pembentukan lembaga kebudayaan. Lembaga kebudayaan tersebut diharapkan menjadi wadah koordinasi peran partisipatif berbagai unsur dan lembaga kebudayaan dalam pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat. Kedua hal itu, hemat saya, merupakan terobosan ideasional cerdas penggagas Ranperda yang sedang dibahas ini. Cuma, perlu pengaturan lebih hati-hati agar tidak terjadi overlapping dengan lembaga dan institusi yang sudah ada apalagi berkaitan dengan penggunaan pendanaan.
Catatan berikutnya adalah bahwa Ranperda ini menggabungkan tiga entitas yang berbeda dan tidak setara, yaitu pemajuan kebudayaan, pelestarian cagar budaya, dan pengelolaan museum. Saran saya, pisahkan antara entitas pertama dengan yang kedua dan ketiga. Kalau diibaratkan sebuah pohon, keseluruhan pohon itu adalah “pemajuan kebudayaan” sedangkan buah yang telah terlepas dari pohon itu adalah “cagar budaya” yang perlu disimpan dalam kulkas sebagai “museum”nya. Penggabungan ketiganya membuatnya timpang, kecuali memunculkannya dalam satu atau dua pasal yang bersifat umum lalu pengaturan lebih lanjut pada peraturan gubernur.*
Padang, 29 Maret 2024
Tag :#Sumbar#Ranperda#PemajuanKebudayaan#Minangsatu
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
NGALAU BUNIAN DI LINTAU BUO UTARA: MISTERI GUA YANG MENGUNDANG MITOS,DUNIA GHAIB DAN KEPERCAYAAN TERHADAP MAKHLUK HALUS ATAU ROH
-
BADAI PHK MASSAL DI SRITEX: PENYEBAB, DAMPAK, DAN TANGGAPAN PEMERINTAH
-
SAWAHLUNTO KOTA LAYAK ANAK DAN PENDAPATAN DAERAH
-
MEROSOTNYA KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP POLRI: ANTARA "KEBAPERAN" DAN REFORMASI YANG DIPERLUKAN
-
TRADISI MAANTA PABUKOAN KE RUMAH MINTUO DI PESISIR SELATAN: WARISAN BUDAYA RAMADAN MINANGKABAU
-
NGALAU BUNIAN DI LINTAU BUO UTARA: MISTERI GUA YANG MENGUNDANG MITOS,DUNIA GHAIB DAN KEPERCAYAAN TERHADAP MAKHLUK HALUS ATAU ROH
-
BADAI PHK MASSAL DI SRITEX: PENYEBAB, DAMPAK, DAN TANGGAPAN PEMERINTAH
-
SAWAHLUNTO KOTA LAYAK ANAK DAN PENDAPATAN DAERAH
-
MEROSOTNYA KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP POLRI: ANTARA "KEBAPERAN" DAN REFORMASI YANG DIPERLUKAN
-
TRADISI MAANTA PABUKOAN KE RUMAH MINTUO DI PESISIR SELATAN: WARISAN BUDAYA RAMADAN MINANGKABAU