HOME OPINI OPINI

  • Senin, 1 Juli 2019

Estetika Pantun Dalam Lirik Lagu Pop Minang

Eka Meigalia, M Hum. dosen Sastra Minangkabau FIB Unand
Eka Meigalia, M Hum. dosen Sastra Minangkabau FIB Unand

Estetika Pantun Dalam Lirik Lagu Pop Minang
Oleh 
Eka Meigalia

Pantun dikenal sebagai salah satu bentuk puisi lama yang terikat. Terdiri dari empat baris, bersajak a,b,a,b, dua baris awal sampiran dan dua baris akhir adalah isi. Pola pantun dengan ciri seperti itu juga terdapat dalam genre puisi di Minangkabau dan juga disebut pantun.

Akan tetapi, pantun Minang memiliki beberapa keunikan tersendiri. Di antaranya kekayaan makna yang terdapat dalam isi pantun itu sendiri karena penuh dengan ungkapan-ungkapan yang berisi kiasan, sindiran, dan juga perumpamaan.

Musra Dahrizal atau yang dikenal dengan Mak Katik dalam beberapa kali pertemuan di kelas Petatah Petitih bagi mahasiswa Sastra Minangkabau Unand menyebutkan istilah bidarai kato untuk membedakannya dengan pantun Minang, selain beliau sendiri juga membedakannya dengan pantun Melayu.

Bidarai kato menurutnya adalah pantun yang mulai dari baris pertama sudah memiliki makna dan terkait dengan baris-baris selanjutnya. Jadi, jika dalam pantun antara sampiran dan isi bisa saling tidak terkait, berbeda halnya dengan bidarai kato atau yang sesekali disebutnya juga dengan pantun bidarai. Untuk membedakannya, dapat dilihat pada contoh berikut. 

Pantun Minangkabau
Bidarai Kato/Pantun Bidarai

Janiah aianyo Sungai Tanang
Minuman urang Bukiktinggi
Tuan Kanduang tadanga sanang
Baoklah tompang badan kami
Ampun baribu kali ampun 
Rila jo maaf dikandai 
Jari nan sapuluah kami susun 
Kaba dimulai hanyo lai 


Lebih lanjut, bidarai kato atau pantun bidarai ini menurutnya tidak terikat harus empat baris. Bisa saja lebih dari empat baris. Dalam konteks kajian puisi secara umum, puisi dengan bentuk seperti bidarai kato di atas dapat dikategorikan pada syair. Syair adalah bentuk puisi lama yang setiap barisnya adalah isi, berima a,a,a,a. Namun syair biasanya hanya terdiri dari empat baris dalam setiap baitnya. Bait dari sebuah syair lah yang bisa lebih dari satu. 

Selain permasalahan baris, rima, dan sampiran, pantun juga terikat dengan jumlah suku kata perbaris. Idealnya terdiri dari sembilan hingga sepuluh suku kata. Hal itu juga dibenarkan oleh Mak Katik yang menyatakan bahwa pantun paling sempurna itu terdiri dari sembilan suku kata. Dan jika diperhatikan dan dihitung jumlah suku kata pada pantun-pantun yang biasa kita kenal, maka ukuran jumlah suku kata ini pun akan dapat ditemukan.

Berkaitan dengan lirik lagu pop Minang, Agusli Taher dalam bukunya Perjalanan Panjang Musik Modern menyebutkan bahwa mulai periode 1990an, lirik lagu Minang mulai meninggalkan pola pantun. Artinya, sebelum tahun 90-an, lirik lagu Minang didominasi oleh pola pantun. Namun seperti apakah penggunaan pola pantun itu dalam lagu-lagu Minang Modern? Berikut salah satu kutipan lirik lagu Oi Kampuang ciptaan Asbon Madjid yang ada pada album Kampuang Nan Jauah di Mato Orkes Gumarang tahun 1950-an.

Oi kampuang, kampuang nan jauah, jauah lah dari mato
Oi kampuang, kampuang nan jauah, jauah lah dari mato
Ba bukik ba Gunuang Marapi Singgalang jo Kurinci
Ba aia mancua ba Danau Singkarak jo Maninjau 
Oi kampuang nan jauah di mato
Si upiak takana lah juo 

Bait pertama pada lirik lagu di atas tidak dapat dikategorikan kepada pantun. Selain tidak ada sampiran, rima dari bait itu juga bukan a,b,a,b. Namun pada bait kedua rimanya sama dan merupakan isi, bukan sampiran. Artinya, pada lagu ini pola pantun sudah ditinggalkan.
Bandingkan dengan kutipan lirik lagu Nan Tido Manahan Hati ciptaan Agus Taher yang muncul pada tahun 1990-an berikut:

Bialah diak hujan tangah hari
Nak nyo tumbuah si rumpuik banto
Bialah diak denai surang diri
Kok jo ambo mungkin sansaro

Baris pertama dan kedua pada kutipan di atas dapat dikategorikan sebagai sampiran. Sedangkan baris kedua dan ketiga adalah isi. Bait lagu ini juga memiliki rima a,b,a,b. Artinya lagu ini pun masih menggunakan pola pantun meskipun adalah lagu yang lahir tahun 1990an. 
Berikutnya, pola pantun Minangkabau yang dikatakan kental dengan ungkapan dan perumpamaan salah satunya terdapat dalam lirik lagu Usah Diratokiciptaan Yusaf Rahman berikut yang kira-kira muncul pada tahun 1970-an.
Anak urang si Kubang Putiah:

Pai ka balai hari sanjo
Mamakai baju guntiang cino, guntiang cino
Ulah rayo si daun siriah 
Bacarai pinang jo tampuaknyo
Apo katenggang si carano, si carano

Lirik lagu di atas terdiri dari enam baris untuk satu bait. Baris pertama sampai ketiga adalah sampiran, dan keempat hingga keenam adalah isi. Menariknya, isi pada lirik lagu di atas pun bukanlah makna yang sebenarnya. Masih perlu dimaknai lagi apa dan siapa yang dimaksud dengan daun siriah yang merayu sehingga bercerai pinang dengan tampuknya. Gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi, yaitu gaya bahasa yang membuat seolah benda hidup memiliki nyawa dan berlaku seolah benda hidup. 

Kaya dengan ungkapan dan perumpamaan seperti lirik lagu di atas lah yang menjadi ciri puisi Minangkabau, khususnya yang disebut dengan pantun Minang. Akan tetapi, untuk menyebut lirik di atas sebagai pantun, tentu tidak pula sesuai karena satu bait terdiri dari enam baris. Sedangkan pantun terikat jumlahnya dengan empat baris untuk satu bait. Barangkali bentuk ini bisa dikategorikan pada bidarai kato atau pantun bidarai seperti yang disebutkan oleh Mak Katik.

Namun pada lirik lagu di atas, tiga baris pertama bukanlah isi, namun tetap sampiran. Maka jika dipadankan dengan kesusastraan Melayu klasik, kita mengenal adanya istilah talibun. Talibun adalah bentuk puisi terikat yang terdiri dari lebih empat baris. Memiliki sampiran dan isi, juga memiliki rima layaknya pantun. Dan sesuailah lirik lagu di atas ke dalam kategori talibun.

Berkaitan dengan jumlah suku kata perbaris dalam sebuah pantun, berikut kutipan dari lirik lagu Kureta Solok ciptaan Nuskan Sjarif berikut:

Babunyi kureta Solok
Manyauik kureta Padang
Nan pai hati tak elok
Urang nan tingga darah tak sanang

Pada dasarnya lirik lagu di atas berpola pantun. Dua baris pertama adalah sampiran dan dua terakhir isi. Rima yang digunakan pun berpola a,b,a,b. Akan tetapi jika dihitung jumlah suku kata, baris pertama hingga ketiga terdiri dari delapan suku kata. Pada baris keempat justru sepuluh suku kata. Di sini terlihat ketidakseimbangan jumlah suku kata antar baris. Namun hal ini akan banyak ditemui dalam lirik lagu-lagu pop Minang. Tentunya penyusunan suku kata ini telah disesuaikan oleh pencipta dengan irama yang digunakan. Jika iramanya tidak sesuai, jumlah suku kata bisa kurang atau pun lebih dari sembilan suku kata. 

Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa hal yang dapat digarisbawahi. Pertama, pola pantun tidak terbatas dipakai pada lirik lagu sebelum 1990-an saja, namun masih terpakai pada lirik lagu-lagu di atas tahun 1990-an. Sebaliknya, lagu-lagu sebelum tahun 1990-an juga sudah ada yang tidak lagi menggunakan pola pantun. Kedua, pantun bukanlah satu-satunya pola puisi lama yang dipakai dalam lirik lagu pop Minang. Masih banyak bentuk pola puisi terikat lainnya yang digunakan. Namun, pola rima masih menjadi favorit untuk digunakan meskipun bentuk liriknya bukan lagi dikategorikan sebagai pantun. Terakhir, pola pantun Minangkabau yang idealnya terdiri dari sembilan suku kata dalam satu baris tidak selalu dapat digunakan dalam lirik lagu. Hal itu tentunya disesuaikan dengan musik.


Tag :Opini Eka Meigalia

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com