HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Sabtu, 28 September 2024

Pantai Barat Sumatera: Pesona Alam, Makanan, Dan Situs Bersejarah

Benteng Malboro
Benteng Malboro

Pantai Barat Sumatera: Pesona Alam, Makanan, dan Situs Bersejarah

Oleh Nofri Duino Zora

Pernahkah Anda membayangkan perjalanan begitu panjang menyusuri bibir pantai Pulau Sumatera? Bayangkan Anda meninggalkan kota, lalu menyaksikan keanggunan ciptaan Tuhan dalam menyusuri jalanan di sisi pantai barat Sumatera nan indah. Pagi itu, Sabtu, 30 Agustus 2024, saya bersama teman-teman dari SURI, UNAND, dan SOAS, memulai perjalanan panjang dari Padang ke Palembang melalui Bengkulu. Kami sebagai tim, berbekalan tekad yang kuat serta doa tulus dari kerabat, lalu meningggalkan hiruk-pikuk kota Padang. Perlahan gedung-gedung tinggi semakin mengecil di pupil mata, maknanya kami telah beranjak dari padatnya kota.

Desiran ombak yang selalu setia mengecup bibir pantai, membuyarkan pandangan kami. Tidak bisa dipungkiri bahwa ciptaan Tuhan tidak bisa ditembus akal, bukan sekedar indah namun ada rasa syukur berkali-kali kami ungkapkan. Biru membias ke cahaya matahari, pantai itu indah orang biasa menyebutnya dengan Mandeh. Perjalanan kami tiba di Pesisir Selatan, seperti kata orang kebanyakan: “sejuta pesona”. Ternyata tidak, justru “milyaran” pesona menghiasai kawasan ini. Di tepi pantai di bawah bukit nan hijau, suara burung bercengkarama seakan memijak pundak kami, setiap langkah terasa seperti melodi alam yang menyatu dengan hembusan angin. Tidak lengkap rasanya apabila momen ini tidak diabadikan. Kami berhenti di salah satu destinasi wisata Puncak Paku. Dua langkah keluar dari mobil, kami pun terdiam. Mata kami langsung dimanjakan oleh pemandangan laut yang begitu menenangkan. Dua pulau menjadi penambah rona laut. Aku mengambil kamera canon DSLR, mulai menjelajah setiap sudut pantai. Alan Darmawan, peneliti dari School of Oriental and African Studies (SOAS), yang bertahun-tahun tinggal di Eropa, berpose ala Eropanya,. Kemudian kami berbincang-bincang dengan pemandu wisata sederhana, tidak mengenakan atribut semestinya. Ia menjelaskan asal usul nama pantai ini, tidak lupa berbagi pengalaman selama menjadi pemandu wisata yang tidak bernomor itu. Sungguh, mulia sekali hati beliau mau dan mampu menjelaskan secara detail hal ihwal surga dunia ini. Sementara itu, Aku dan Hari Sofyan, asyik menekan tombol kamera. Desiran angin laut menjadi pelengkap atmosfer kesempurnaan. Setiap elemen yang kami potret seakan menyatu dengan alam, satu bingkai gambar yang akan selalu mengingatkan pada kedamaian pantai ini.

Perjalanan kami lanjutkan. Di sepanjang perjalanan kami selalu disuguhkan dengan cerita-cerita tentang keindahan negeri Minangkabau dari Bapak Pramono. Dosen Universitas Andalas itu mengungkapkan keindahan negeri ini melalui narasi sejarah dan cerita legenda yang sangat menarik. Pada masa penjajahan, sepanjang bibir pantai ini menjadi tempat persinggahan para penjajah Belanda mencari rempah-rempah. Pada masanya, bibir pantai ini menjadi sentral perdagangan. Bukan main kayanya negeri ini, semoga tangan-tangan dusta tidak menodai. Di sepanjang perjalanan kami ditawarkan oleh beberapa masyarakat untuk mampir, sekedar menjajakan dagangannya, roman yang meneduhkan dan sambutan elok serta sopan. Pemandangan ini seakan menjadi penarik.

Pramono menjelaskan bagaimana sejarah pantai barat Sumatera. Saya merasa seperti berwisata sejarah. Alih-alih, cerita yang disuguhkan mampu menarik perhatian kami, seolah-olah membawa kami ke masa lalu.

“Konon katanya pada masa dahulu kala, pantai ini hitam airnya karena tenggelamnya kapal Rafless yang tengah membawa naskah kuno. Air hitam itu bersumber dari tinta tulisan naskah tersebut” ujar seorang dosen di salah satu kampus terbaik di pulau Sumatera itu.

Sebagai seorang peneliti, justru bagian ini paling penting bagi Alan Darmawan. Ia mencoba menelisik kisah masa silam itu, terkait apa yang didengar barusan. Perjalanan itu penuh makna. Beberapa jam telah kami lalui, selera ini tergiurkan oleh onggokan durian di Tapan, salah satu daerah paling ujung provinsi Sumatera Barat. Tentu, kami tidak akan menyiksa lidah kami. Ia harus dimanjakan dengan durian yang nikmat. Kami menyempatkan untuk berhenti, seperti biasa.

“Kalau yang besar, dapat 50 ribu satu, menengah 35 ribu, untuk yang kecil-kecil dapat harga spesial,” ujar uni-uni penjual durian.

Memang, jika orang Minangkabau berjualan, berbagai ide untuk menarik hati calon pembeli. Ia selalu mengatakan bahwa durian ini tebal dan manis, sayang kalau tidak mencoba. Tanpa ragu, akhirnya kami menenteng beberapa buah durian. Ini bukan karena durian yang super, tetapi negosiasi yang baik dari si penjual “menghipnotis” kami. Ternyata di sepanjang jalan raya itu berjejer onggokan durian, berbagai ukuran, warna, dan rasa.

Sore pun datang, kami dengan tim melanjutkan perjalanan setelah bercengkrama dengan sang pencipta. Setiap perjalanan, kami taruhkan secercah harapan. Semoga yang maha kuasa tetap memberikan keselamatan dan kedamaian. Susur pantai Sumatera kembali kami lanjutkan, dan seketika kami terkejut dengan tulisan “selamat datang di bumi Raflesia”. Alan cukup geram dengan penamaan itu, sambil mempertanyakan: mengapa begitu bangga menamai bunga bangkai itu dengan mengabadikan nama penjajah? Apakah orang-orang setempat tidak punya nama lokal bunga itu? Apakah ia harus “ditemukan” oleh Raffles untuk menjadi ada? Pertanyaan itu membekas di benakku. Sebagai seorang mahasiswa magister di Universitas Andalas, pertanyaan-pertanyaan yang menggugat seperti itu sangat menarik. Meski demikian, kami sempatkan berfoto di perbatasan Sumatera Barat-Bengkulu. Perjalanan di “bumi Raflesia” (katanya) diawali dengan hamparan kebun sawit nan hijau, tidak beberapa kilometer, kami kembali menyusuri bibir pantai. Kelap-kelip lampu jalanan menghiasi perjalanan kami, tandanya hari sudah gelap. Matahari mulai bersembunyi dibalik awan, memerah di ujung laut, seakan kami hendak menghampiri.

Akhirnya, kami pun sampai di kota Bengkulu tengah malam. Kota penuh sejarah, Bengkulu menjadi tempat pengasingan Ir. Soekarno, Presiden RI pertama, pada tahun 1939-1942. Gemerlap cahaya kota bersejarah itu membawa ke langit malam.

Satu hari di Kota Bumi Rafflesia kami habiskan untuk menyusuri sudut kota ini. Pantai Panjang menjadi tujuan utama. Pohon pinus bertebaran dengan indah, namun sampah berserakan tanpa kendali. Sayang, pantai seindah ini tercemar oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Tetapi, kami bersyukur bertemu dengan manusia-manusia ramah di pantai ini. Kami sempatkan mengabadikan momen indah selaras dengan ombak Samudera Hindia. Setelah menyusuri pantai, kami mengunjungi salah satu museum yang menjadi ikon bersejarah kota Bengkulu. Terletak di tepian Samudra Hindia, “Benteng Marlborough” berdiri kokoh sebagai saksi bisu sejarah kolonialisme Inggris di Bengkulu. Dibangun pada awal abad ke-18 oleh East India Company, benteng ini memiliki arsitektur khas berbentuk kura-kura. Kami terpana melihat bangunan megah ini, dengan dinding tebal yang dirancang untuk menghadapi serangan dari laut dan darat. Dibalut dalam cerita panjang penjajahan, benteng ini tak hanya digunakan oleh Inggris, tetapi juga oleh Belanda dan Jepang setelahnya.

Saat menapaki gerbang utamanya, seakan disambut oleh aura masa lampau yang masih terasa. Lorong-lorong gelap dan sudut-sudut benteng menceritakan kisah pertahanan dan perlawanan di tengah pergulatan penjajahan. Dari atas benteng, mata memandang luas ke samudra, mengingatkan akan strategi militer yang dulu menjadi pusat kekuasaan di Sumatra bagian barat ini. Kini, Benteng Marlborough menjadi destinasi wisata sejarah, membawa pengunjung kembali ke masa di mana Bengkulu menjadi bagian dari peta kolonial yang diperebutkan.

Peninggalan-peninggalan bersejarah ini, selayaknya dirawat dengan baik sehingga menambah kekayaan intelektual bagi masyarakat, baik berupa artefak maupun benda tertulis. Beranjak kepada benda tertulis, bahwa peradaban Bengkulu telah maju pada masanya, hal itu ditandai dengan beberapa naskah kuno beraksara Ka-ga-nga. Kami berselancar meneroka persebaran naskah kuno di Bengkulu bersama Bapak Sarwit Sarwono, seorang ahli Naskah Ulu dari Universitas Bengkulu. Ia memaparkan bagaimana dinamika dan romantika naskah-naskah Bengkulu dengan detail. Memang pantas disebut syekhnya Ka-ga-nga. Diskusi itu sangat menarik minat Pramono dan Alan, terkait perkembangan pengkajian naskah di Bumi Raflesia. Hingga pada akhirnya terbitlah sejumlah gagasan besar menulis bersama. Bukan hanya itu, ide itu muncul ketika banyaknya tema kajian naskah kuno yang menarik untuk ditulis.

Di penghujung perjalanan ini, kami tersadar bahwa setiap jejak yang kami tinggalkan di tepi pantai barat Sumatra tidak sekadar langkah fisik, melainkan potret kekayaan budaya dan sejarah yang melekat di setiap sudutnya. Benteng Marlborough yang megah, naskah kuno Bengkulu, hingga hangatnya keramahan warga setempat, semua menyatu dalam harmoni ruang dan waktu. Perjalanan ini tidak hanya membuka mata kami pada keindahan alam, tetapi juga mengajarkan bahwa sejarah dan masa depan suatu bangsa ada dalam tangan mereka yang menghargai dan merawatnya. Dengan semangat itu, kami pun melangkah pulang, membawa serta kenangan dan pelajaran yang tak lekang oleh waktu.

 

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com