HOME OPINI OPINI

  • Sabtu, 6 Juli 2019

Sumbang Duo Baleh, Antara Realitas Dan Romantisme Masa Lalu

Masrizal Rajo Basa (Pamong Budaya Sumatera Barat)
Masrizal Rajo Basa (Pamong Budaya Sumatera Barat)

Sumbang Duo Baleh, Antara Realitas dan Romantisme Masa Lalu

Oleh Masrizal,S.Sos

Minangkabau adalah salah suku bangsa yang secara geneologis  memakai sistem kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal termasuk unik di dunia. Hanya ada lima suku bangsa yang memakai sistem penarikan garis keturunan melalui ibu ini. Adalah suku bangsa Indian di Apache barat, suku Khasi di India timur laut, suku Nakhi di Tiongkok, suku Trobrian di Papua Nugini dan suku Minangkabau di Sumatera Barat.

Matrilineal berasal dari bahasa latin, yaitu mater yang berarti ibu, dan linea yang berarti garis. Jadi, matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu.
Secara umum, sistem matrilineal juga memberikan legalitas kepada perempuan untuk berkuasa (matriakat). Oleh sebab itu sistem adat matrilineal tidak hanya pada penarikan garis keturunan berdasarkan garis ibu, akan tetapi kekuasaan juga berada di tangan perempuan.

Di Minangkabau, sistem matrilneal diinternalisasikan kedalam sebuah pola yang unik. Praktik matrilineal tidak terlepas dari adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Islam sebagai sebuah agama dan adat sebagai sebuah tradisi, telah mengakulturasi menjadi sebuah pranata sosial yang mapan. Diksi agama dan diksi adat saling berkolaborasi membentuk suatu norma yang berlaku sejak dulu hingga kini.
Dalam pepatah adat berbunyi:
Si Muncak kaparak mambaok ladiang
jatuh tarambau kadalam samak
pasuklah pao kaduonyo
Adat jo syarak, bak aua jo tabiang
sanda basanda kaduonyo
Artinya:
Si Muncak pergi ke kebun membawa parang
jatuh terjerembab ke dalam semak
luka lah paha keduanya
Adat dengan syarak ibarat aur dengan tebing
sandar bersandar keduanya

Praktek matrilineal tergambarkan melalui penarikan garis keturunan dan pengelolaan harta pusaka. Pola hidup matrilokal juga masih umum dilakukan. Sepasang suami istri yang baru menikah akan tinggal di rumah keluarga perempuan. Dengan ini, wanita di Minangkabau mendapatkan tempat dan diperlakukan secara terhormat. 

Berdasarkan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” (ABS SBK), maka bagi orang  Minangkabau, menghormati perempuan sama halnya dengan menjalankan perintah agama Islam. Dalam Islam, perempuan sangat dihormati, perempuan adalah ibu yang melahirkan kita, ganerasi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. 

Jika dikaitkan dengan ajaran Islam, penghormatan terhadap wanita di Minangkabau sejalan dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).

Pada masyarakat Minangkabau, wanita dikelompokkan kedalam empat tingkatan berdasarkan ciri fisik, kematangan emosional, dan  perannya di dalam masyarakat. Yang pertama adalah batino, seorang wanita yang baru lahir sampai dia menempuh masa kanak-kanak sampai sebelum akil balig. Urutan yang kedua adalah gadih, yaitu wanita dari masa akil balig sampai masa sebelum menikah. Wanita pada urutan ketiga adalah padusi, yaitu wanita yang sudah bersuami. Dan yang terakhir adalah parampuan, yaitu wanita yang sudah memiliki usia lanjut yang dimulai ketika dia sudah menjadi nenek dalam sebuah keluarga.

Sedangkan berdasarkan status sosialnya sebagai seorang ibu, maka wanita disebut juga dengan mande, ande atau mandeh. Sedangkan yang dituakan diantara mereka dan ditunjuk dengan mekanisme adat, disebut juga dengan mande soko. Mande Soko (terkadang juga disamakan dengan Bundo Kanduang) memegang peranan penting dalam menjaga marwah suku atau kaumnya dalam kehidupan masyarakat. Ia dipercaya dalam mengawasi, mengatur segala sesuatu yang terkait dengan tugas wanita secara adat. Ia adalah sumber teladan dan panutan dalam menjaga sikap dan prilaku generasi penerusnya terutama wanita. 

Bagi orang Minang, wanita adalah simbol yang terhormat dan harus dijaga. Malu seorang wanita idealnya adalah malu suku atau kaumnya itu sendiri. Sekaitan dengan ini, Parpatih (2002) menggambarkan keadaan tersebut sebagai berikut.
Hino mulia suatu kaum tagantuang dek nan padusi. Tuak parang bisa badamai, tikam bunuah dibari maaf, rabuik rampeh dilimaui. Tapi, kok padusi diagiah malu, jando diguguang urang tabang, gadih tapakiak dalam samak, mako tatutuiklah sagalo pintu damai, tasintak sagalo kaum, jago suku, bangun dubalang, disiko nan cadiak kabapakaro, nan bagak kamalalahan, nan kayo tajun jo harato. Pendeknyo, malu masti tabangkik. Kama hanyuik kama dipinteh, walau ka dalam lauik basah. Dima hilang dima dicari, bia ka suduik-suduik bumi. Tak lalu dandang di aia, di gurun kaditajakan,  jiko ndak mungkin di nan lahia, di batin dilaluan.
Maksudnya:
Hina mulianya suatu kaum tergantung oleh wanita. Kalau berperang bisa berdamai, kasus pembunuhan bisa diberi maaf dan seterusnya. Akan tetapi kalau wanita yang sudah diberi malu, akan membuat malu kaum dan suku. Maka semua unsur akan ikut terlibat menyelesaikannya.

Suku bangsa Minangkabau memiliki sitem nilai, norma, atau kearifan lokal (local wisdome) dalam menjaga kehormatan seorang  wanita atau perempuan. Sistem nilai tersebut dikenal juga dengan istilah “Sumbang Duobaleh” (Sumbang Duabelas).  Sumbang Duobaleh adalah panduan untuk mengatur tingkah laku seorang wanita, agar tidak menyimpang dari kodrat dan status sosialnya di dalam masyarakat. Sumbang, jangga atau cando, adalah perbuatan yang kurang baik dan harus dihindari oleh wanita di Minangkabau karena akan mendatangkan malu bagi suku dan kaumnya. Wanita yang sering melakukan Sumbang Duobaleh dianggap sebagai wanita yang tidak sopan atau dalam istilah Minang indak bataratik. 

Seringnya wanita melakukan prilaku sumbang akan membuat dia terjatuh kedalam prilaku salah yang akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai wanita terhormat. Dua belas prilaku sumbang yang harus dihindari oleh wanita Minangkabau tersebut adalah (1) sumbang  duduak, (2) sumbang tagak, (3) sumbang bajalan, (4) sumbang kato, (5) sumbang caliak, (6) sumbang  makan, (7) sumbang  pakai, (8) sumbang karajo, (9) sumbang tanyo, (10) sumbang jawek, (11) sumbang bagaua, dan (12) sumbang  kurenah. 

Sumbang Duobaleh secara umum mengatur wanita dalam berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Jika prilaku sumbang ini dapat dihindari, maka seorang wanita dapat dipandang baik dan dihormati di dalam suku dan kaumnya. Seperti yang dikatakan dalam pepatah adat :

Budi baiak baso katuju, muluik manih kucindan murah. Dibagak urang ndak takuik, dikayo urang ndak arok, dicadiak urang ndak ajan, dirancak urang ndak ingin, di budi urang takanai. Sasuai bak bunyi pantun, Babelok babilin-bilin, dicapo tumbuahlah padi, dek elok urang tak ingin, dek baso luluahlah hati. Nan kuriak Lundi , nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso.
Maksudnya:
Budi dan bahasa yang baik akan disukai orang. Walau pemberani orang tidak takut, walau kaya orang tak meminta, walau pintar orang tak hormat, walau cantik orang tak suka. Akan tetapi dengan budi dan bahasa baik orang akan tertarik.

Beberapa contoh prilaku sumbang tersebut antara lain adalah, sumbang wanita itu duduk bersila (baselo) seperti laki-laki. Idealnya wanita itu duduknya bersimpuh (basimpuah). Sumbang bagi wanita duduk berdua-duaan dengan laki-laki yag bukan muhrimnya ditempat yang sepi. Sumbang bagi seorang wanita berdiri di pinggir jalan sendirian tanpa ada tujuan yang jelas. Sumbang bagi wanita jika memakai pakaian sempit yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Sumbang bagi perempuan berjalan sendirian, berjalan tergesa-gesa dan berjalan di depan laki-laki. Sumbang bagi wanita berbisik-bisik di depan orang ramai. Sumbang bagi wanita berkata kasar, dan lain-lainya.

Wanita Minangkabau di Era Milenial

Sepertinya apa yang diungkapkan oleh Soekanto (1990), dalam bukunya “Sosiologi Suatu Pengantar”, ada benarnya. Ia mengatakan bahwa, “perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai –nilai sosial, norma-norma, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.”

Derasnya kemajuan teknologi dan informasi telah hampir menggantikan ruang-ruang public kedalam ruang-ruang maya dan telah membentuk komunitas yang besar secara fungsional (lihat tulisan saya, Ummat Smartphone). Melalui internet, media sosial dan sebagainya telah membawa perubahan sosial (social exchange) di tengah kehidupan masyarakat.

Perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Ia akan berdampak kepada kebudayaan suatu suku bangsa. Ia bisa berbentuk akulturasi yang berujung kepada reorientasi nilai, atau ia bisa pula berbentuk asimilasi yang mengikis habis identitas asli kedalam bentuk lain sebagai budaya baru dan dipraktekkan secara massal pada komunitas tertentu. Nah, hal ini akan menghilangkan identitas sosial masyarakat dalam suatu komunitas budaya yang homogen. Hilangnya idenditas kelompok ini terkadang tanpa disadari oleh masyarakat pendukung suatu kebudayaan. Perubahan pola prilaku individu (personal attitude) akan mengakibatkan perubahan prilaku kelompok (comunal attitude). Pada akhirnya, lemahnya kontrol sosial (social control) yang mengakibatkan terjadinya pembiaran telah mempercepat proses degradasi identitas, nilai dan budaya masyarakat.

Mengenai perubahan, sebenarnya sudah digambarkan dalam Pepatah Minangkabau: 
Sakali aia gadang
Sakali tapian barubah
Cupak lah diambik rang panggaleh
Jalan lah diasak dek urang lalu
Artinya:
Sekali air besar
Sekali tepian berubah
Cupak (alat untuk menakar sesuatu, seperti padi) diambil oleh pedagang
Jalan sudah diubah oleh orang yang datang.

Sumbang Duobaleh sebagai sebuah sistem nilai, akhir-kahir ini kembali ramai diperbincangkan. Ia menjadi topik yang selalu hangat di meja-meja diskusi di kalangan akademisi, seminar, workshop, artikel, makalah, dan bahkan ciloteh (bicara lepas, biasanya di lapau) di program televisi. Nampaknya ada ketertarikan dan kecendrungan untuk kembali mempelajari dan mengkaji kearifan lokal tersebut. Ada keinginan untuk menghidupkan kembali romantisme masa lalu ditengah hantaman globalisasi. 

Tidak dapat dipungkiri, prilaku wanita di Minangkabau saat ini sudah mulai bergeser mengikuti tren atau perkembangan zaman. Apa yang dianggap baru atau “modern” secara perlahan telah menggerus nilai-nilai “tradisional” yang sudah ada sebelumnya. Saat ini wanita di Minangkabau banyak yang tidak tahu lagi dengan Sumbang Duobaleh. Prilaku wanita, terutama (gadih) bukan sekedar sumbang (janggal) akan tetapi sudah ada yang salah menurut norma adat. 

Sebagai generasi milenial, anak gadih Minang saat ini lebih cepat mengetahui, menerima dan  mencontoh nilai-nilai baru, tren-tren baru terkait dengan gaya hidup, mode, makanan, tokoh idola dan lain sebagainya. Mereka sangat mudah menemukan semua itu melalui gadget canggih yang ada di tangannya. Sebut saja Facebook, WhatsApp, IG, Tweeter, Line dan sejenisnya telah menjadi ruang baru dalam berkomunikasi. Hubungan melalui medsos itu terjadi antara individu dengan individu yang dikenal dengan istilah chat, japri dan bahkan bicara langsung yang dikenal dengan istilah VC. Hubungan antara individu dengan kelompok dengan identitas yang sama  juga dapat dwngan mudah terealisasi melalui grup-group yang beragam di sosial media.

Mudahnya akses informasi secara global telah memberikan andil besar dalam perubahan prilaku wanita atau gadih Minang saat ini. Mereka lebih mahir menggunakan jari-jarinya dalam mengusap smartphone dibandingkan menghapal dan memahami Sumbang Duobaleh sebagai kontrol mereka agar tetap menjadi wanita terhormat dan bermartabat. Lemahnya kontrol sosial pada wanita baik dalam keluarga inti (nuclear family) maupun dalam keluarga luas (extended family) kelihatannya juga menjadi pendorong maraknya prilaku sumbang dan salah tersebut.

Masih jelas dalam ingatan kita, kasus dua orang penari streaptise yang ditangkap oleh jajaran satpol PP pada September tahun 2011 disebuah cafe di Padang. Pada tahun 2015, 10 pasang ABG juga ditangkap berbuat mesum di beberapa hotel melati di kota padang. Dan yang paling spektakuler adalah berita penangkapan 48 pasangan mesum pada malam pergantian tahun 2018 ke tahun 2019. Mereka ada yang ditangkap di hotel, tempat kos, dan bahkan ada yang tertangkap di parkiran SPBU (detik news, Edisi: 1 januari 2019). Mengkhawatirkan memang, apabila hal ini tidak ditangani secara bijak dan arif maka akan berdampak pada prilaku-prilaku menyimpang, kekerasan seksual, dan penyakit masyarakat lainnya.

Idealnya, secara struktural dan fungsional sudah ada mekanisme yang terbentuk secara alamiah dalam mengontrol prilaku sosial dalam masyarakat. Di Minangkabau dikenal dengan istilah “Tungku Tigo Sajarangan, tali tigo sapilin”. Ini merupakan istilah untuk tiga orang unsur pemimpin yang sangat menentukan dalam sitem nilai dan norma yang mengatur aktivitas sosial masyarakat. 

Tiga unsur itu adalah Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Masing-masing mempunyai fungsi sosial berdasarkan status sosial mereka di tengah masyarakat. Ninik Mamak, adalah laki-laki yang dituakan secara adat, berdasarkan tingkatanya biasa disebut dengan Mamak Kapalo Warih (mamak kepala suku), mamak kapalo kaum, mamak kapalo paruik dan penghulu sebagai pimpinan tertinggi satu suku. Cadiak Pandai adalah laki-laki yang dianggap memiliki ilmu dan wawasan yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan. Dan Alim Ulama adalah laki-laki yang dituakan dan memiliki kemampuan yang cukup dalam dalam hal keagamaan. Sedangkan Mande Soko dan Bundo Kanduang juga termasuk orang yang dituakan secara adat dan berperan dalam mendidik generasi penerus dan hal-hal lain yang terkait status dan peran sosial wanita secara adat. 

Terkait hal ini, dalam pepatah adat juga disebutkan:
Kaluk paku kacang balimbiang
Pucuknyo lenggang lenggokkan
Dibaok manurun kasaruaso
Anak dipangku
Kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Supayo nagari jan binaso

Akan tetapi, realitas yang ada sekarang menunjukkan sistem nilai itu sudah bergeser, jangankan menghukum perbuatan yang salah, untuk menegur perbuatan yang sumbang saja, seolah berat untuk melakukannya. Kenapa?? Tentu berbagai macam pula alasannya. Bisa jadi karena merasa bukan dia yang pantas menegur, karena status sosial yang rendah, kekurangan ilmu atau bisa karena cuek dan tidak mau tahu. Apalagi, kalau ibu, bapak dan mamaknya, yang secara adat memiliki tanggung jawab penuh, tidak mempermasalahkan prilaku sumbang atau salah yang dilakukan oleh anak dan kemenakannya tersebut. 

Agaknya perubahan sosial dan kultur masyarakat Minangkabau yang terbuka (open society) telah menggeser eksistensi pranata sosial yang ada sebagai sebuah regulasi ideal bagi masyarakat. Peran Ayah, Ibu dan Ninik Mamak secara adat semakin melemah. Padahal mereka adalah orang terdekat dalam hal pewarisan kebudayaan dan sosial kontrol dalam keluarga inti dan keluarga luas. 

Jika ini dibiarkan, maka badai globalisasi yang membawa nilai yang berbeda dan tidak cocok dengan budaya Minangkabau akan mengikis seluruh sistem sosial yang ada. Pembiaran akan hal ini akan berdampak pada degradasi budaya Minangkabau. Alangkah banyaknya nanti generasi-generasi muda yang kehilangan jati diri dan menjadi wanita yang tidak tahu sopan santun atau disebut juga dengan gadih nan indak bataratik.

Peran cadiak pandai dan alim ulama sebagai duo tungku penyangga lainnya dalam sistem nilai budaya Minangkabau, juga tidak boleh melemah dan harus tetap diberikan penguatan. 
Selanjutnya penguatan keluarga inti (nuclear family), keluarga luas (extennded family). Penguatan pranata pendidikan formal dan non formal sebagai lembaga edukasi kultural. Penguatan pemangku adat di nagari, dalam hal ini “urang ampek jinih, dan urang bajinih ampek” (orang empat jenis dan orang berjenis empat). Yaitu Penghulu, Malin, Manti dan Dubalang. Serta empat orang perangkat Malin dalam menjalankan tugas keagamaan, yaitu Bilal, Khatib, Imam dan Khadi. Serta penguatan Mande Soko dan Bundo Kanduang. 

Dan faktor penting lainnya adalah penguatan anggaran pada instansi-instansi pemerintah yang mengurus kebudayaan. Politik anggaran yang berpihak pada penataan nilai-nilai budaya adalah suatu keharusan dalam reorientasi nilai-nilai kultural kedepan.

Tidak berlebihan kiranya, jika penguatan-penguatan secara personal, fungsional dan struktural sebagai sebuah sistem mekanisme pewarisan nilai, harus dilakukan secara terstrukstur, sistematis dan masif (TSM) pada setiap pranata sosial yang ada. Jika tidak dilakukan, tidak menutup kemungkinan, kearifan lokal khususnya Sumbang Duobaleh dalam menjaga marwah wanita Minangkabau hanyalah romantisme masa lalu. Ia hanya akan tetap menjadi topik yang begitu ideal dan seksi dalam diskusi-diskusi para akademisi, naskah-naskah artikel yang memenuhi ruang media massa, buku, media online, sosial media dan perbincangan para praktisi kebudayaan.

(Masrizal, S.Sos, Pamong Budaya Provinsi Sumatera Barat)


Tag :Sumbang Duo Baleh #Minangkabau

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com