HOME OPINI OPINI

  • Rabu, 23 Januari 2019

Solusi Memberantas Politik Berbiaya Mahal

AG Sutan Mantari
AG Sutan Mantari

Saya pikir yang dimaksud oleh Pak Prabowo soal Jawa Tengah lebih besar daripada Malaysia adalah dari sisi populasi penduduknya. BPS menyebutkan, di tahun 2017 jumlah penduduk Jateng sebesar 34.257.865 jiwa. Sementara jumlah penduduk Malaysia pada tahun 2017 berada pada angka 32.022.600 jiwa. 

Alasan kenapa angka populasi begitu disoroti oleh Pak Prabowo bisa dipahami dari sudut bahwa besaran populasi sangat berpengaruh kepada budget yang dibutuhkan oleh seorang kandidat dalam proses kampanye dan pemenangan pertarungan politik. 

Tetapi yang menjadi fokus pertanyaan sebenarnya adalah bagaimana caranya menurunkan biaya politik yang mahal. Baik dari segi biaya kampanye paslon maupun biaya dari penyelenggaraan sebuah kontestasi politik. 

Berbeda dengan yang disampaikan oleh pendukung Prabowo dalam diskusi-diskusi whatsapp yang saya ikuti, Pak Prabowo tidak menyinggung soal kemungkinan kembali kepada sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui MPR, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota melalui DPRD. Dari segi hitung-hitungan pembiayaan, sistem perwakilan ini sebenarnya bisa memotong anggaran yang sangat banyak dan melokalisir kemungkinan korupsi pada  tempat-tempat tertentu saja yaitu MPR dan DPRD. Jika KPK dimaksimalkan fungsinya pada pengawasan di dua lokus itu saja, maka anggota MPR dan DPRD tersebut juga akan ketakutan apabila melakukan proses transaksional suara. 

Tetapi di era demokrasi langsung yang sudah terlanjur dinikmati oleh rakyat Indonesia dengan segala hiruk-pikuknya, kembali kepada sistem perwakilan di atas memang akan dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Karena rakyat hanya punya kesempatan memilih anggota DPR, DPD dan DPRD, sementara untuk pejabat eksekutif mereka harus merelakan suaranya diwakilkan oleh wakil rakyat yang mungkin juga tidak dipercayai sepenuhnya. 

Jika sistem pemilihan langsung seperti sekarang masih mau tetap dipertahankan, maka memang ongkos politik menjadi sebuah keniscayaan bagi siapapun. 

Pat-gulipat dan kebutuhan investasi dari pengusaha inilah dalam sistem politik yang terjadi saat ini menjadi persoalan serius dimana seorang pejabat terpilih akan merasa berhutang budi kepada sederet pengusaha. Yang kemudian, besar kemungkinan bentuk balas jasa itu dilakukan berupa pemberian proyek-proyek dan izin-izin eksplorasi kekayaan alam yang ada di Indonesia. 

Pilihan dalam politik yang mahal itu bisa dalam bentuk para pengusaha itu sendiri yang masuk dalam dunia politik atau pengusaha menjadi pem-back-up pendanaan para kandidat dalam pertarungan politik. 

Menurut saya, pilihan yang bisa diambil jika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lewat MPR serta pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota lewat DPRD tidak memberikan ruang demokrasi yang luas kepada rakyat, maka sesungguhnya PENGALIHAN ONGKOS POLITIK dari PENGUSAHA KEPADA NEGARA bisa menjadi solusi dari lingkaran setan perselingkuhan politik dan konglomerasi. 

Caranya adalah Negara membiayai kebutuhan politik setiap kontestan pilpres, pileg dan pilkada dengan jumlah yang relatif sama. Misalnya setiap kandidat Capres dan Cawapres diberikan budget kampanye sebesar 1 triliyun. Maka jika ada 5 pasangan kandidat maka negara cukup hanya menyiapkan uang 5 triliyun rupiah saja. 

Agar dana itu digunakan dengan tepat sasaran maka masing-masing kandidat harus melakukan laporan penggunaan dana secara akuntabel dan jujur dengan pelibatan BPK dan KPK dalam proses auditing penggunaan anggaran. 

Dana talangan politik dari APBN tersebut mengharuskan setiap kontestan untuk TIDAK BOLEH menerima pemberian dana kampanye dari publik dan dana kalangan pengusaha. 

Jika proses pendanaan sudah diatur dari anggaran negara sedemikian rupa, maka setiap kontestan bisa punya pride dan kewibawaan dari rayuan dan perasaan berhutang budi kepada pengusaha yang tentu mensyaratkan kontrak politik tertentu agar "investasi politik" nya itu bisa kembali lagi lewat proyek-proyek dan izin usaha yang diberikan oleh pejabat terpilih. 

Keunggulan kedua pembiayaan politik dari anggaran negara adalah setiap anak bangsa akan punya kesempatan yang sama untuk maju dalam kontestasi politik meskipun ia tidak memiliki modal finansial yang memadai. Sehingga diharapkan akan muncul orang-orang baik dan hebat dalam kontestasi politik tanpa pusing harus mencari pendanaan politik dari pengusaha mana. Sekaligus hal ini akan menghambat dominasi politik kita oleh para kapitalis-kapitalis yang sekarang menjadi penguasa-penguasa partai politik. 

Jika pendanaan politik dibiayai oleh negara, maka negara bisa mengikat pemimpin terpilih untuk tidak melakukan abuse of power dalam hal pemberian proyek dan izin usaha kepada para cukong yang selama bertahun-tahun menikmati sistem politik kapitalistik di negeri ini. Tidak mengapa kita kehilangan uang 20-100 triliyun rupiah untuk kontestasi pilpres, pileg, pilkada, tetapi kita bisa membebaskan bangsa ini dari penyakit korupsi kongkalingkong antara politisi dan konglomerasi serta penguasaan sumber daya alam negeri ini yang nilainya bisa mencapai puluhan sampai ratusan ribu triliyun oleh segelintir orang yang bisa mengikat penguasa lewat politik kapitalistik yang terjadi selama ini. Termasuk juga negara akan lebih punya power untuk menagih pajak yang semestinya kepada para pengusaha itu tanpa pandang bulu dan diskriminatif. Misalnya, betapa banyak kooporasi swasta yang mengemplang pajak atau dibebankan pajak yang tidak semestinya karena permainan data dengan petugas pajak yang ada atau lewat intervensi kedekatan dengan penguasa. 

Apabila pebisnis tidak merasa terikat untuk memberikan donasi pada setiap kontestasi politik maka sebenarnya mereka tidak punya beban keuangan yang memberatkan di luar proses-proses bisnis yang mereka lakukan. Sehingga pebisnis tidak memiliki ketakutan akan keberlangsungan bisnis mereka karena tidak berkontribusi kepada kontestan terpilih. Sehingga mereka bisa melakukan proses bisnis secara sehat dan menggunakan uang mereka untuk kepentingan semata-mata bisnis tanpa terjerat dalam lingkaran transaksi politik. Mereka cukup dibebani dengan 2 hal saja, kepatuhan membayar pajak dan kepatuhan melaksanakan CSR. 

Insya Allah dengan itu demokrasi kita akan semakin sehat dan kuat.


Tag :opini AG Sutan Mantari

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com