HOME SOSIAL BUDAYA RANTAU
- Rabu, 13 Juli 2022
Renewable Spirit Ideologi Multikultural Indonesia Dibahas Doktor Kajian Budaya Alumni Universitas Udayana

Denpasar (Minangsatu) - Mencermati fenomena keindonesiaan hari ini, dalam rangka HUT ke-21 Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana dengan tema “Kritis Berlapis, Jaya Berkarya”, Alumni Angkatan 2005 mengadakan Webinar melalui platform Zoom Meeting pada 13 Juli 2022. Topik yang diusung adalah “Multikultural dan Prospek Dialog Lintas Budaya di Era Kebebasan Berekspresi”.
Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. Kaprodi S3 Kajian Budaya Universitas Udayana dalam sambutan pembukaan menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap penggagas webinar.
“Multikulturalisme bukanlah semata sesuatu yang kita warisi tetapi juga harus kita wariskan. Sumpah Pemuda 20 Oktober 1928 adalah cikal bakal yang menjadi kekuatan terwujudnya proklamasi yang menyatukan Nusantara menjadi Indonesia. Tugas kita generasi hari ini adalah membawakan ruh dan semangatnya ke masa depan. Jika ada renewable energy (energi terbarukan) maka dalam konteks multikultural preskripsi kita adalah renewable ideology (ideologi terbarukan) dalam kehidupan berbangsa. Semoga webinar ini menjadi kembang yang mewangikan”, tutupnya.
Prof. Dr. I Wayan Dana, M.Hum. tampil sebagai keynote speaker. Guru Besar Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta itu menekankan perlunya gerakan merayakan perbedaan. Keberagaman tidak hanya eksis dalam konteks Nusantara tetapi juga secara internal-lokal, seperti Bali dengan kompleksitas keberagaman Timur-Barat-Utara-Selatan. Namun, keberagaman itu wajib dipelihara agar tetap harmoni, seperti indahnya harmoni gamelan.
“Indonesia harus merdeka berbudaya, yang ditandai dengan terwujudnya rasa damai, karena saling menghargai, menghormati, menyapa, dan menyadari bahwa di antara kita orang per orang memiliki perbedaan (budaya, agama, dan ekspresi berkesenian). Politik yang santun dan bermoral, cara berbicara, bertatap muka, penuh rasa cinta dan bangga terhadap negara Indonesia, adalah keniscayaan untuk menyatukan 34 provinsi di Indonesia saat ini. Dengan begitu, semua menjadi satu dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika”, tegasnya.
Pembicara kedua, Dr. Hasanuddin, M. Si. dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, dalam paparannya menyatakan bahwa saat ini Indonesia disajikan fenomena kebebasan berekspresi yang timpang, saling klaim paling toleran tetapi praktiknya arogan. Persoalannya bersumber pada pemahaman konsep ideologis ‘sistem nilai’ atas multikulturalisme itu yang tidak sepenuhnya dihayati.
“Konsep esensial ‘budaya’ adalah sistem nilai yang dihayati (dihidupi dan diperbaharui sehingga bermakna secara kontekstual). ‘Nilai’ sendiri adalah sesuatu yang ‘diyakini baik’ karena itu menjadi standar perilaku. Sangat keliru dan bisa mengelirukan bila budaya dipahami sebagai sebuah ‘kebiasaan’, sebab adakalanya kebiasaan itu terkategori perilaku menyimpang. Akibatnya, muncul istilah-istilah ‘budaya korupsi, budaya kekerasan, budaya perjudian, dan lainnya’. Itu sangat keliru dan menyesatkan”, paparnya.
“Konsep multikultural (multicultural society) juga berbeda dari plural society. Konsep plural society memang didasari ‘kesadaran berbeda’ akan tetapi masing-masing komunitas masih hidup dalam dunianya sendiri-sendiri, diwarnai hubungan yang dominatif, sehingga diskriminasi (walau sangat tersamar) juga terjadi”, katanya.
“Berbeda dari itu, multicultural society ditandai oleh interaksi aktif, kedudukan yang sejajar dan setara, sehingga tercipta keadilan di antara berbagai unsur budaya atau subbudaya yang berbeda itu. Konsep-konsep penyamaan dan penyeragaman dengan tuntutan menghilangkan perbedaan adalah statemen yang salah dan menyalahi konsep multikulturalisme itu”, jelasnya.
“Etik multikulturalisme menempatkan identitas dan perbedaan (seseorang atau kelompok) bukan kategori berlawanan, keduanya sama-sama saling memerlukan, secara dialektis saling berhubungan, tidak ada pemahaman diri tanpa pemahaman ‘yang lain’. Dengan begitu, kelompok minoritas jangan berpikir hanya pada dua pilihan, yakni antara ‘assimilasionisme’ (penyatuan atas dasar kesamaan) atau ‘separatisme’ (pemisahan atas dasar perbedaan) tetapi juga ‘interaksionisme’ yakni penempatan hubungan diri dengan ‘yang lain’ secara dialektis. ‘Identitas baru’ tidak perlu dicari di luar perbedaan-perbedaan sosial kultural, tetapi ‘di dalam’-nya," jelasnya.
“Mengacu Brian Fay (2002), sikap hormat atas perbedaan adalah kata kunci. Sikap hormat mesti dipahami dalam arti ‘penerimaan kritis’ dalam konsep engagement (pelibatan). Pemahaman perbedaan dimulai dari upaya mempelajari dan menjelaskan perbedaan: mengapa berbeda, bagaimana perbedaan itu berkembang, dan bagaimana hubungannya dengan kita? Mempelajari dan menjelaskan perbedaan membuka kemungkinan untuk mengetahui keterbatasan atau kekurangan masing-masing dan menuntun agar saling menghargai kelebihan satu sama lain. Dengan begitu, terlibat, mempertanyakan, dan mempelajari lebih mampu menangkap sifat sinergis interaksi multikultural murni,” lanjutnya.
“Dengan demikian, des sein multikultural Indonesia adalah beragam, berbeda, dan karena itu plural. Sementara des solen adalah merayakan perbedaan, mengukuhkan jatidiri lokal, dan karena itu akan membangun masyarakat multikultural sejalan dengan filosofi bhineka tunggal ika,” tutupnya.
Pembicara ketiga adalah Dr. Sri Hartiningsih, M.M dengan tajuk ‘Lintas Budaya: Ekspresi Pesan Budaya Melalui Film’. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UMM Malang itu menyampaikan bahwa konsep lintas budaya memberi ruang dialog antar budaya tetapi dihadapkan kepada beberapa kendala ‘gagap budaya’ yang di antaranya dalam bentuk kendala bahasa (pada film Jennifer Salt ‘Eat Pray Love’), kendala etika (seperti dalam Film Harald Zwart ‘The Karate Kid’), dan kendala mitos (seperti dalam Film ‘Leap Year’). Gagap budaya disebabkan oleh faktor perbedaan. Hal itu patut disadari walaupun sesungguhnya perbedaan itu tidak buruk, tetapi justru indah, yang diperlukan adalah empati budaya satu sama lain.
Pembicara keempat adalah Dr. Yuliawan Kasmahidayat, M.Si. dengan topik ‘Totalitas Ekspresi Dalam Karya Tari Cerminan Masyarakat Multikultural sebagai Pengukuhan Keragaman Budaya Nusantara’. Dosen Pendidikan Seni Tari FPSD UPI mendasari paparannya dari Filosofi Rute Perjalanan spiritual Manusia dalam Gerak Tari Sajatine Hirup yang diciptakannya dari hasil riset sejak Tahun 2018.
Kasmahidayat mengungkapkan pesan tentang nilai-nilai ‘Hablum min Allah, Hablum Min An Nas, dan Hablum min al Alam’. Konsep tersebut (sangat selaras dengan konsep Hindu: tri hita karana), yakni tentang konsep harmoni dengan Tuhan, harmoni dengan sesama manusia, dan harmoni dengan alam). Tari tersebut juga menyampaikan pesan bahwa realitas kehidupan multikultur meniscayakan perbedaan dan konflik, tetapi yang penting bagaimana mengelola konflik itu menjadi gerak dinamik.
Dalam sesi diskusi berekembang topik berkaitan dengan multikulturalisme dan hubungannya dengan fenomena mayoritas- minoritas, politik identitas, dan lainnya. Menanggapi hal itu, para narasumber mendukung program pendidikan multikultural sejak dini. Kurikulum Merdeka yang sedang dijalankan pemerintah saat ini memberikan harapan karena diakomodasinya kembali pendidikan dengan nomenklatur Profil Pelajar Pancasila dan Muatan Lokal. Tentu saja konsep Pancasila dimaksud bukan mengacu kepada tafsir elitis yang bias dengan kepentingan politik tertentu. Dengan begitu, arogansi mayoritas dan tirani minoritas mesti dihabisi dalam pergaulan kebangsaan ke depan.
Webinar yang dimoderatori oleh Renata Lusilaora Siringo, S.I.Kom., M.I.Kom. (Program Doktor Kajian Budaya UNUD-Bali) dan MC Gisel Tanjung Oktarina, M.Pd. (UPI Bandung) itu diikuti oleh 128 peserta terdaftar dari seluruh Indonesia.(*)
Editor : Benk123
Tag :#universitasudayana
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
GUBERNUR MAHYELDI: PERANTAU HARUS BISA MENJADI ETALASE SUMBAR
-
WALI KOTA ZULMAETA APRESIASI KEKOMPAKAN PERANTAU PAYAKUMBUH-LIMAPULUH KOTA
-
BERTEMU WAMEN BP2MI, VASKO RUSEIMY MINTA PERHATIAN KHUSUS UNTUK PEKERJA MIGRAN ASAL SUMBAR
-
WAGUB VASKO RUSEIMY DAN KAPOLDA SUMBAR PILIH LESEHAN SAAT BERBUKA PUASA DI MASJID
-
MENSYUKURI NIKMAT RAMADHAN, ANGGOTA DPR RI FRAKSI PAN H. ARISAL AZIZ SIAPKAN 250 TON BERAS UNTUK FAKIR MISKIN
-
OPTIMALISASI PEMELIHARAAN ALAT KESEHATAN UNTUK TINGKATKAN KUALITAS LAYANAN RUMAH SAKIT
-
MERAJUT SILATURAHMI DAN GAYA HIDUP SEHAT: TURNAMEN BANK NAGARI HUT KE-63 MENGINSPIRASI SEMANGAT KERJA
-
NGALAU BUNIAN DI LINTAU BUO UTARA: MISTERI GUA YANG MENGUNDANG MITOS,DUNIA GHAIB DAN KEPERCAYAAN TERHADAP MAKHLUK HALUS ATAU ROH
-
BADAI PHK MASSAL DI SRITEX: PENYEBAB, DAMPAK, DAN TANGGAPAN PEMERINTAH
-
SAWAHLUNTO KOTA LAYAK ANAK DAN PENDAPATAN DAERAH