HOME LANGKAN KATO

  • Senin, 16 Oktober 2023

Refraksi Pergerakan Politik Rakyat Dalam Karya Sastra Tjeritera Toeankoe Pantjoeran Rawang Dan Sja’ir Si Bakri

Yerri
Yerri

Refraksi Pergerakan Politik Rakyat Dalam Karya Sastra Tjeritera Toeankoe Pantjoeran Rawang dan Sja’ir Si Bakri

Oleh Yerri Satria Putra*

Dalam pandangan umum, sastra sering kali dianggap sama dengan karya fiksi. Istilah "fiksi" di sini merujuk pada rekaan atau imajinasi, yang terhubung dengan dunia khayalan. Namun, ada pandangan yang mengasumsikan sebaliknya, yaitu bahwa karya sastra refleksi dari peristiwa-peristiwa masa lampau yang dibungkus dalam untaian kata atau urutan kejadian dalam sebuah cerita. Oleh karena itu, di dalam sebuah karya sastra, seringkali ditemukan peristiwa-peristiwa yang secara faktual pernah terjadi sebelumnya. Hal ini bisa terjadi karena disebabkan oleh sifat orisinalitas sebuah karya sastra dan ketergantungan sastra pada konvensi tertentu, yang mengakibatkan karya fiksi akan mengemas unsur-unsur faktual di dalamnya (Luxemburg, dkk, 1987). Cerita menjadi inti dari upaya penyampaian pesan dan gagasan oleh pengarang. Menurut baik Forster maupun Abrams (Nurgiyantoro, 1995), cerita merupakan unsur yang fundamental dalam sebuah karya fiksi; tanpa unsur cerita, sebuah karya fiksi tidak akan memiliki substansi. Namun, bentuk dari pesan dan gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karyanya bersifat sangat situasional.

Berdasarkan pertimbangan ini, banyak peneliti saat ini memandang karya sastra sebagai sumber penting dalam penulisan sejarah lokal. Dalam konteks penulisan sejarah, sastra dianggap sebagai sumber yang timbul dari suatu konteks dan situasi tertentu, yang tak terpisahkan dari pengaruh perilaku masyarakat di sekitarnya dan latar belakang situasional yang melatarbelakanginya.

Dalam konteks sebagai sumber sejarah lokal, karya sastra memerlukan pendekatan yang relevan untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa kesejarahannya. Penelitian-penelitian sastra Indonesia yang kajiannya dititikberatkan pada dinamika pemikiran, ideologi, dan politik tersebut, dalam pembahasannya tidak lepas dari periodesasi yang berkembang dalam kesusastraan Indonesia, terutama dimulai sejak masa Balai Pustaka. Periode Balai Pustaka, karya sastra digunakan sebagai alat propaganda politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, menariknya, banyak karya sastra pada masa itu juga mencoba melawan kebijakan kolonial melalui kisah-kisah yang mereka sampaikan.

Pendirian Balai Pustaka dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. Pertama, meningkatnya jumlah penduduk yang melek huruf dan berkembangnya sistem pendidikan. Kedua, munculnya penerbit-penerbit swasta di daerah-daerah yang menerbitkan buku-buku yang tidak sejalan dengan ideologi pemerintah Belanda, yang kemudian disebut sebagai "bacaan liar" (Damono, 1979:10).

Dalam sejumlah literatur, perkembangan sastra Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh pengaruh politis dan hegemoni berbagai kelompok yang berusaha menyebarkan ideologi-ideologi tertentu. Mahayana (2001) menyoroti bahwa puncak perkembangan sastra di berbagai daerah di Indonesia terjadi ketika mesin cetak diperkenalkan sebagai alat reproduksi karya sastra. Abdullah Munsyi menyatakan bahwa mesin cetak memiliki keunggulan, yakni (1) betul perkataanya dengan tiada bersalah, (2) lekas pekerjaanya, (3) terang hurufnya lagi senang membacanya, dan (4) murah harganya. Semenjak ini pulalah, iklim dialektika dalam dunia sastra di daerah-daerah di Indonesia menjadi sangat hidup, banyak orang atau kelompok-kelompok berlomba-lomba mencetak buku-buku bacaan hanya untuk menandingi atau menentang pendapat dan pemikiran orang atau kelompok lainnya.

Kehidupan berdialektika dalam dunia sastra, baik untuk tujuan komersial maupun kepentingan ideologi kelompok, menimbulkan tanggapan dari pemerintah kolonial Belanda yang menyebutnya sebagai "saudagar kitab yang kurang suci hatinya". Pemerintah Belanda menetapkan empat kriteria sebagai standar penilaian bacaan yang dianggap layak yakni 1. Bacaan hendaknya sesuai dengan selera masyarakat konsumen; 2. Bacaan dapat menambah pengetahuan masyarakat; 3. Bacaan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat dalam memerangi keterbelakangan; 4. Bacaan dapat menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang bisa merusak kekuasaan pemerintahan dan ketentraman dalam negeri (Faruk, 1999:114). Sebagai respons terhadap situasi ini, pada tahun 1908, Belanda mendirikan lembaga penerbitan yang disebut Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur, yang kemudian berganti nama menjadi Balai Pustaka pada tahun 1917 (Kantor Bacaan Rakyat: Kantoor voor de Volkslectuur).

Meskipun begitu, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tidak dapat secara otomatis dianggap sebagai karya yang tunduk kepada pemerintah kolonial. Beberapa karya bahkan mengandung gagasan dan kritik yang disajikan dengan cermat dalam bahasa maupun struktur sastra, seperti yang terlihat dalam novel Sitti Nurbaya. Menurut catatan Faruk (1999:115), novel Sitti Nurbaya melanggar ketentuan ke-4 dalam peraturan Balai Pustaka tersebut. Pengarang Sitti Nurbaya memberikan kritik yang tajam terhadap peraturan perpajakan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda di Indonesia, namun hal ini berhasil menghindari sensor Belanda. Tidak hanya Sitti Nurbaya, tetapi juga novel-novel lainnya seperti Salah Asoehan, Salah Pilih, dan Sengsara Membawa Nikmat, memiliki ciri serupa. Termasuk dalam konteks ini adalah novel Tjeritera Toeankoe Pantjoeran Rawang dan Sja’ir Si Bakri, yang menjadi objek penelitian ini (selanjutnya disebut dengan TTPRSSB).

Salah satu kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat kontroversial adalah pemberlakuan sistem belasting. Namun, dampak dari penerapan kebijakan ini adalah memanasnya situasi politik di berbagai daerah di Indonesia. Kritik, pandangan, dan protes muncul di daerah-daerah untuk menentang kebijakan ini. Situasi politik di berbagai daerah semakin memanas karena kebijakan ini dianggap kontroversial, terutama ketika dipertentangkan dengan aturan adat setempat, yang sangat dihargai oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Salah satu daerah yang menjadi fokus konflik karena kekentalan pengaruh adat istiadatnya adalah Sumatera Barat (Minangkabau). Beberapa perlawanan rakyat muncul di Sumatera Barat sebagai bentuk protes terhadap peraturan belasting, termasuk di antaranya adalah perlawanan di Batipuh, perlawanan di Buo, dan juga perlawanan di Calau.

Dalam novel TTPRSSB, situasional di atas, pasca diberlakukannya peraturan belasting di daerah-daerah di Indonesia tadi, dan melahirkan berbagai konflik di daerah, terekam dengan sangat baik, dan menjadi tema sentral dalam setiap pembicaraannya,

“...dahoeloe kita mendjoeal kopi kepada Goebernemen f 12,50 sepikoel. Didjoealnya dinegeri (di Eropah) f 60, f 70 atau lebih. Djadinja siapa jang ada kopinja sepikoel setahoen, seolah-olah telah kena belasting f 47,50 boekan?...” (Maradjo, 1925:30).

 

Selain itu, novel ini juga menyimpan berbagai informasi mengenai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di struktur birokrasi pemerintah kolonial Belanda dalam mengelola uang hasil pungutan pajak rakyat tersebut.

Novel TTPRSSB ini ditulis oleh Sj. B. Maradjo dan diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1925, memiliki nomor seri 704, dan dijual seharga f 0,40,-, hal ini dapat dilihat dari label harga yang tertera di kovernya. Novel ini merupakan cerita tentang perjalanan hidup Toeankoe Pantjoeran Rawang, semasa masih menuntut ilmu di Padang Ganting, hingga ia menjadi ulama besar dan terkenal. Latar yang diambil dalam penceritaannya adalah daerah Tanah Datar (Onderafdeeling Batoe Sangkar. Fort van der Capellen). Yang unik dari karya ini adalah dimuatnya dua genre sastra sekaligus, pertama adalah genre prosa, yang berjudul Tjeritera Toeankoe Pantjoeran Rawang, yang terdiri dari 13 Bab dan setebal 46 halaman, dan yang kedua genre syair/puisi, berjudul Sja’ir si Bakri, setebal 46 halaman. Untuk kepentingan penelitian ini, kedua genre tersebut akan dibahas keseluruhannya, karena keduanya dianggap memiliki kerterkaitan dalam tema dan amanat.

TPRSSB diawali dengan kisah Midun, seorang murid dari sebuah surau Padang Ganting. Sebagai seorang murid, Midun terkenal soleh, taat akan aturan dan patuh akan perintah guru. Ia tidak pernah melanggar hal-hal yang menjadi larangan sang guru. Oleh karena sikapnya yang baik itu, ia menjadi murid yang disayang guru dan juga teman-temannya. Singkat cerita, setelah sekian lama “belajar mengaji” di Padang Ganting, akhirnya Midun menjadi sosok seorang ulama muda dan dijuluki oleh masyarakat sekitar sebagai “fakih” atau orang yang ahli dalam ilmu fiqih.

Sebagai seorang ulama, Midun sangat disegani oleh masyarakat sekitar, namun, hal ini malah membuat Midun merasa kekurangan. Ia merasa ilmu yang didapatnya sangatlah kecil, sehingga ia memutuskan kembali ke surau guna memperdalam kaji. Niatnya untuk kembali mengaji diawali dengan keberangkatannya untuk menuntut ilmu ke Calu (Muaro/Onderafdeeling Sijunjung), kepada angku Calu. Selama dua tahun di sana, Midun kemudian kembali ke Padang Ganting, tempat ia belajar pertama kali. Di Padang Ganting, Midun hidup dan menetap bersama istrinya. Selain belajar, ia juga sering diminta oleh masyarakat setempat mengajar agama. Di Padang Ganting pun, Midun belajar selama dua tahun, dan akhirnya ia kembali ke Aur (kampung halaman) dan menetap di sana. Di Aur, para ninik mamak dan masyarakat sekitar, menghibahkan sebidang tanah di daerah Pancuran Rawang. Di atas tanah tersebut, Midun mendirikan sebuah surau, yang akhirnya menjadi tempat ia tinggal dan mengajar agama Islam. Oleh masyarakat sekitar, Midun pun akhirnya diangkat sebagai ulama negeri dan dijuluki Tuanku Pancuran Rawang (TPR).

Hari demi hari berlalu, TPR semakin ternama. Murid-murid yang menuntut ilmu ke surau Pancuran Rawang tidak hanya datang dari Aur, tetapi juga dari berbagai pelosok seperti Pariaman, Lintau (Buo), Calau dan Padang Ganting. Sebagai seorang guru, TPR terkenal dengan kebijaksanaannya. Karena kebijaksanaannya itu, TPR selalu dimintai nasehat-nasehatnya oleh masyarakat, ninik mamak, setempat dalam mencarikan solusi dari persoalan-persoalan yang dialami oleh kampung dan masyarakat di kampungnya. Ia pun menjadi sosok ulama yang sangat disegani.

Salah satu persoalan negeri yang meresahkan masyarakat di pelosok nusantara temasuk di Nagari Aur adalah persoalan belasting. Kebijakan belasting tersebut diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1908 untuk menggantikan kebijakan cultuurstelsel yang mendapat krtitikan oleh masyarakat dunia karena dinilai tidak manusiawi. Namun demikian, tidak sedikit masyarakat pribumi yang menolak diberlakukannya kebijakan belasting tersebut. Kebijakan ini dianggap terlalu menyulitkan masyarakat untuk dapat menikmati hasil panennya, karena pajak yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda terlalu besar, dan masyarakat tidak diperkenankan menjual hasil panennya ke pihak lain selain pihak Hindia Belanda. Oleh karena itu pula, diberbagai pelosok negeri, terjadi pergolakan-pergolakan rakyat untuk menentang penjajahan Belanda. Di negeri Aur pun demikian, TPR dihadapkan pada masalah yang pelik. Di satu sisi, ia menyukai kebijakan belasting karena dianggapnya lebih manusiawi dibandingkan ketika diberlakukaknnya cultuurstelsel, tetapi di sisilainya, banyak masyarakat di negerinya yang tidak menginginkan campur tangan pemerintah Hindia Belanda atas hasil panen mereka. Melalui perwakilan pemerintah Belanda, TPR diminta untuk memusyawarahkan hal ini kepada masyarakat negeri terutama untuk meredam berbagai gejolak yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pada saat inilah terjadi perselisihan antara para ninik mamak yang menyetujui belasting dengan yang tidak. TPR dianggap oleh masyarakat negeri sebagai penghianat negeri karena telah membantu bangsa penjajah memeras dan merampok harta negeri. Tidak sedikit masyarakat yang akhirnya membenci TPR, sehingga ia tidak lagi dihormati, dan disegani di negerinya.

Sayangnya, hingga saat ini, dalam khasanah kajian sastra Indonesia, novel TTPRSSB ini sepertinya luput dari perhatian para kritikus dan peneliti sastra di Indonesia. Berbagai pembicaraan mengenai sastra, terutama yang menyangkut sastra zaman kolonial hanya diwakilkan pada karya-karya besar saja, padahal jika dilihat dari tahun terbitnya, novel ini termasuk dalam kumpulan novel yang dikategorikan sebagai pelopor Balai Pustaka. Hal ini pula yang menjadi alasan kenapa penelitian ini dilakukan. Setidaknya, secara tidak langsung di penelitian ini akan disikapi berbagai fenomena yang melatarbelakangi novel TTPRSSB. Penelitian ini mencoba untuk memberikan gambaran tentang struktur dan konteks sosio budaya maupun sejarah novel TTPRSSB. Aspek yang diteliti adalah aspek ekstrinsik dan instrinsik, kajian terhadap struktur-dalam karya dan interpretasi-interpretasi berbagai kemungkinan yang terdapat di dalamnya.

Sebagai sebuah fakta dan fenomena, kehadiran TTPRSSB membutuhkan kajian yang lebih mendalam dari peneliti dan kritikus sastra Indonesia, dalam usaha melengkapi sejarah sastra Indonesia.

 

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unad


Wartawan : Bahren
Editor : bahren

Tag :#Langkan #Kato#Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com