HOME OPINI OPINI

  • Sabtu, 8 Maret 2025

Ramadhan Di Kampung Halaman: Kerinduan Perantau Minang

Penulis Dzaky Herry
Penulis Dzaky Herry

Ramadhan di Kampung Halaman: Kerinduan Perantau Minang

Oleh: Dzaky Herry 

Bagi masyarakat Minangkabau, merantau adalah bagian dari kehidupan. Banyak orang Minang yang meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu, bekerja, atau berusaha di perantauan. Namun, setiap kali bulan Ramadhan tiba, rasa rindu akan kampung halaman semakin kuat. Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momen penuh makna yang mengingatkan para perantau akan kebersamaan dengan keluarga dan hangatnya suasana kampung.

Tradisi Balimau: Awal Ramadhan yang Dinantikan

Salah satu tradisi yang paling dirindukan oleh perantau Minang adalah balimau, yaitu mandi bersama menggunakan air limau atau jeruk nipis di sungai atau tempat pemandian alami. Balimau dilakukan sehari sebelum Ramadhan sebagai simbol penyucian diri sebelum memasuki bulan suci.

Di berbagai daerah di Minangkabau, balimau tidak hanya sekadar ritual membersihkan diri, tetapi juga ajang silaturahmi. Warga berkumpul di pinggir sungai atau pemandian umum, berbincang-bincang, dan saling bercanda. Suasana ini membawa keceriaan yang khas, sesuatu yang sulit ditemukan di perantauan. Bagi perantau yang berkesempatan pulang, mengikuti tradisi balimau kembali menghidupkan kenangan masa kecil dan kedekatan dengan lingkungan kampung.

Surau: Tempat Ibadah dan Kebersamaan

Di kampung, surau bukan hanya tempat shalat, tetapi juga pusat aktivitas keagamaan dan sosial. Selama Ramadhan, surau selalu dipenuhi oleh jamaah yang melaksanakan shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, hingga mengikuti ceramah agama.

Selain itu, tradisi pesantren kilat Ramadhan di surau juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Minang. Anak-anak dan remaja mengisi waktu mereka dengan kegiatan bermanfaat, seperti belajar membaca Al-Qur’an, berdiskusi tentang ajaran Islam, dan berlatih ceramah. Para orang tua merasa tenang karena anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan yang religius dan penuh nilai kebersamaan.

Bagi perantau, suasana surau di bulan Ramadhan mengingatkan mereka pada masa kecil, saat belajar mengaji bersama teman-teman sebaya. Duduk bersila di lantai surau, mendengarkan petuah dari ustaz, serta bercengkerama setelah shalat tarawih menjadi momen yang sangat dirindukan.

Pasar Pabukoan: Surga Kuliner yang Dirindukan

Salah satu hal yang paling dirindukan perantau saat Ramadhan adalah keberadaan pasar pabukoan, yaitu pasar yang khusus menjual makanan untuk berbuka puasa. Setiap sore, pasar ini dipenuhi dengan berbagai hidangan khas Minangkabau, seperti kolak pisang, lamang tapai, bubur kampiun, dadiah, es tebak, hingga aneka gorengan dan lauk-pauk tradisional.

Di perantauan, terutama di kota-kota besar, tidak semua makanan khas Minang mudah ditemukan. Oleh karena itu, ketika pulang ke kampung saat Ramadhan, perantau tidak melewatkan kesempatan untuk menikmati kuliner kesukaan mereka. Pasar pabukoan juga menjadi tempat bertemu dengan teman-teman lama, sehingga suasana menjelang berbuka terasa lebih hangat dan penuh kebersamaan.

Berbuka dan Sahur Bersama Keluarga

Tidak ada yang lebih berharga bagi perantau selain bisa berbuka dan sahur bersama keluarga. Di kampung, berbuka puasa selalu menjadi momen yang penuh kehangatan. Meja makan dipenuhi dengan hidangan khas, seperti gulai ayam, ikan bakar, rendang, serta aneka sambal dan lalapan yang menggugah selera.

Selain itu, tradisi berbuka di kampung biasanya diiringi dengan kebiasaan saling berbagi makanan antar tetangga. Anak-anak berkeliling membawa rantang berisi makanan untuk diberikan kepada rumah-rumah di sekitar. Tradisi ini mempererat hubungan sosial dan menambah berkah di bulan suci.

Setelah berbuka, malam di kampung masih terasa hidup. Anak-anak bermain di halaman rumah, remaja pergi ke surau, dan orang tua berkumpul berbincang setelah shalat tarawih. Suasana ini memberikan ketenangan yang sulit ditemukan di kota besar, di mana Ramadhan sering kali hanya diisi dengan rutinitas bekerja dan beribadah secara individu.

Malam Takbiran dan Idul Fitri: Puncak Kerinduan Terobati

Saat Ramadhan berakhir, malam takbiran menjadi puncak kebahagiaan bagi perantau yang pulang ke kampung. Suara takbir menggema di seluruh desa, anak-anak berkeliling kampung membawa obor, dan beberapa daerah masih mempertahankan tradisi pawai obor atau beduk keliling.

Pada hari Idul Fitri, perantau merasakan kembali suasana khas lebaran di kampung. Silaturahmi dengan sanak saudara, saling bermaafan, serta menikmati hidangan khas lebaran seperti ketupat gulai, rendang, dan lapek bugih menjadi kebahagiaan yang tidak tergantikan. Selain itu, bagi perantau yang sudah sukses, ini juga menjadi kesempatan untuk berbagi rezeki dengan keluarga dan tetangga.

Di Minangkabau, lebaran juga identik dengan makan bajamba, yaitu tradisi makan bersama yang dilakukan di rumah gadang atau rumah keluarga besar. Semua anggota keluarga duduk bersila, menikmati hidangan di atas daun pisang atau nampan besar. Momen ini mempererat tali persaudaraan dan mengingatkan perantau akan pentingnya kebersamaan.

Kerinduan yang Tak Selalu Terobati

Sayangnya, tidak semua perantau bisa pulang setiap Ramadhan. Kesibukan pekerjaan, jarak yang jauh, atau keterbatasan biaya membuat banyak perantau hanya bisa mengenang kampung halaman dari kejauhan. Namun, meskipun tidak bisa pulang, perantau tetap menjaga tradisi dengan berbuka bersama sesama orang Minang di perantauan, mengikuti pengajian, atau sekadar menelepon keluarga di kampung untuk melepas rindu.

Beberapa perantau juga berusaha menciptakan suasana kampung di tempat mereka tinggal. Mereka memasak hidangan khas Minang, mengikuti shalat tarawih berjamaah, dan berusaha menjaga kebersamaan dengan teman-teman perantauan. Meskipun tidak seindah Ramadhan di kampung, cara ini membantu mengobati sedikit kerinduan.

Kesimpulan

Ramadhan di kampung halaman adalah impian bagi banyak perantau Minang. Dari tradisi balimau, surau yang ramai, pasar pabukoan, hingga kebersamaan saat berbuka, semuanya menciptakan suasana yang penuh kehangatan dan kebersamaan. Bagi yang bisa pulang, Ramadhan menjadi momen untuk melepas rindu, sedangkan bagi yang belum bisa pulang, kenangan Ramadhan di kampung tetap terpatri di hati.

Meskipun kehidupan terus berjalan dan merantau menjadi bagian dari takdir, kampung halaman selalu memiliki tempat spesial di hati. Ramadhan mengingatkan bahwa di tengah kesibukan dunia, ada keluarga dan tradisi yang selalu menunggu di kampung halaman. Tak heran jika setiap kali Ramadhan tiba, perantau Minang selalu berharap bisa kembali, meskipun hanya untuk sejenak menikmati kehangatan yang tidak tergantikan.

(Penulis Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas Padang)


Tag :#Ramadhan #Kerinduan perantau

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com