HOME OPINI OPINI

  • Kamis, 28 Maret 2024

Preskripsi Pemajuan Kebudayaan Dalam Konteks Sumatera Barat (Bagian Kedua Dari Tiga Tulisan)

Hasanuddin Hasanuddin
Hasanuddin Hasanuddin

Oleh Hasanuddin Hasanuddin

(Dosen Sastra Minangkabau dan Kajian Budaya Universitas Andalas)

 

Terminology “pemajuan kebudayaan” dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dijadikan rujukan dalam tulisan ini.  Sebagaimana Pasal 1 angka 3 dideskripsikan “pemajuan kebudayaan” adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Ada dua frase yang penting disitu, yakni “ketahanan budaya” dan “kontribusi budaya”. Cuma, tidak ada penjelasan konseptual tentang budaya walaupun ada 26 kali kata “budaya” itu digunakan dalam Undang-undang tersebut. Selain itu, dikatakan bahwa Objek Pemajuan Kebudayaan adalah unsur Kebudayaan yang menjadi sasaran utama Pemajuan Kebudayaan (pasal 1 angka 8), tetapi yang tercakup hanya 10 objek yakni: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, Bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Keterbatasan cakupan tersebut menguatkan asumsi bahwa konsep kebudayaan disadari atau tidak disadari mengalami reduksi makna. Padahal, budaya adalah konsep menyangkut hal ihwal esensial dalam dan bagi kehidupan manusia, kemanusiaan dan kemasyarakatan, yaitu “sistem nilai”. Dengan menanggalkan “sistem nilai” dari kebudayaan maka pemajuan kebudayaan hanya mengutamakan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan terhadap kebudayaan dalam wujud konkrit atau touchable dan mengabaikan wujud abstrak atau untouchable kebudayaan. Jika ada yang kuasi abstrak seperti pengetahuan dan adat istiadat, tetap saja biasanya dibatasi dengan alat ukur empirikal untuk memenuhi syarat “sepanjang masih hidup”. Jika memakai analogi Syekh Sulaiman ar-Rasuli atau Inyiak Canduang prihal relasi antara adat dengan syarak yang ibarat tubuah dengan nyawo, maka pemajuan kebudayaan menurut UU 5 Tahun 2017 adalah pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan terhadap “tubuh tanpa nyawa” dari kebudayaan itu.

Bagaimana dengan Pemajuan kebudayaan Sumatera Barat? Pertama-tama harus dipahami bahwa Sumatera Barat bukan wilayah kebudayaan tetapi adalah wilayah administratif pemerintahan dalam konteks Negara Republik Indonesia. Keberadaannya baru muncul berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958. Bahkan, sebagai sebuah provinsi ia baru ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2022. Dalam kaitan ini, tidak ada “kebudayaan Sumatera Barat” tetapi yang ada adalah “kebudayaan di Sumatera Barat”.

Secara asosiatif, Sumatera Barat identik dengan Minangkabau, baik berdasarkan kesadaran penduduk mayoritas Sumatera Barat maupun berdasarkan persepsi eksternal masyarakat di luar Sumatera Barat. Namun, secara faktual dan historis, di Sumatera Barat terdapat beberapa kelompok kebudayaan, yakni kebudayaan inti Minangkabau, kebudayaan kepulauan Mentawai, kebudayaan perbatasan (dengan Sumatera Utara yaitu) Mandailing, dan kebudayaan-kebudayaan migran yang tumbuh dan berkembang selama lebih dari 100 tahun. Walaupun demikian, semua kelompok kebudayaan itu memiliki pemahaman yang sama tentang esensi kebudayaan sebagai sebuah sistem nilai yang dihayati dan dijadikan standar ide, perilaku dan karyacipta oleh masyarakatnya.

Mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017, konsep “pemajuan kebudayaan” yang kontekstual Sumatera Barat adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya yang ada di Sumatera Barat (Minangkabau, Mentawai, Mandailing, dan Migran) di tengah peradaban Indonesia dan dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Artinya, Sumatera Barat adalah kawasan mini-multikultural. Karena itu, pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat mesti mempertimbangkan secara sungguh-sungguh konsep multikulturalisme.

Rujukan konsep multikulturalisme yang ideal adalah Madinah, yakni kota multikultural yang dibangun Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wa salam pada awal abad ke 7 Masehi. Di kota itu Rasulullah Saw menauladankan bagaimana perbedaan dihormati, toleransi dijunjung tinggi, kebijakan diambil secara musyawarah untuk mufakat, dan harmoni dijaga dengan penegakan sistem nilai yang direpresentasikan ke dalam tata norma hukum, etika, dan estetika, dan diterapkan secara adil dan beradab untuk semua warga.

Lebih lanjut, konsep “ketahanan budaya” mesti dipahami sebagai kapasitas dan kemampuan suatu budaya untuk berdiri kokoh dengan akar sendiri terhadap berbagai goncangan dari dalam ataupun dari luar. Mengacu kepada konsep budaya sebagai system nilai yang dihayati, maka ketahanan budaya bisa dibangun dengan cara memperkuat system nilai itu. Ibarat sebuah pohon, untuk mengupayakan ketahanannya adalah dengan memperkukuh akar dan batangnya. Dengan kata lain, upaya pemajuan kebudayaan mesti pertama-tama berorientasi penguatan system nilai itu. Dengan penguatan system nilai itulah maka sebuah kelmpok kebudayaan akan tetap eksis dengan jati dirinya yang khas yang berbeda dengan kelompok yang lain.

Sejalan dengan ketahanan budaya, ranah pemajuan kebudayaan kedua adalah kontribusi budaya. Konsep itu harus pula dipahami sebagai kontribusi budaya kelompok Minangkabau, Mentawai, Mandailing, dan Migran terhadap peradaban Sumatera Barat, Indonesia dan dunia. Kontribusi pertama dan utama adalah jati diri yang dibentuk dengan sistem nilai yang dihayati oleh setiap kelompok kebudayaan masing-masing. Kontribusi beragam jati diri tersebut akan membentuk sebuah mosaic atau taman bunga aneka warna, yang esensi keindahannya adalah pada keanekawarnaan itu bukan pada kesewarnaan. Segala upaya yang hendak menghilangkan kekhasan jati diri suatu kelompok kebudayaan adalah tindakan kontra produktif terhadap esensi pemajuan kebudayaan dimaksud. Oleh sebab itu, sekali lagi, orientasi pemajuan kebudayaan adalah penguatan system nilai sebagai ruh jati diri setiap kelompok kebudayaan.

Sesungguhnya, frase ketahanan budaya dan kontribusi budaya itu merepresentasikan bahwa ruh UU 5 2017 adalah penguatan sistem nilai tetapi sayangnya tidak terepresentasikan pada pasal-pasal yang menjadi batang tubuhnya. Hal itu pula yang terjadi pada Ranperda Pemajuan Kebudayaan Daerah inisiatif DPRD yang dikritisi dan diminta oleh Relawan Pemajuan Kebudayaan Sumatera Barat untuk dimatangkan sebelum disahkan oleh Lembaga Legislatif dan disetujui oleh Lembaga Eksekutif provinsi ini. Oleh karena itu, peraturan daerah untuk Sumatera Barat, seperti beberapa provinsi lain, mesti berani membuat konstruksi yang kontekstual sesuai kebutuhan daerah dan tentu sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Ringkasnya, pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat mesti berorieantasi penguatan system nilai yang menjadi “standar” dalam melahirkan ide-ide kreatif dan kritis, standar dalam berperilaku yang beragam sesuai karakteristik kelompok-kelompok kebudayaan yang memang dikodratkan oleh Allah Swt berbeda satu sama lain tetapi tetap dalam tatanan dialektis-dinamis yang harmoni, dan standar dalam melahirkan inovasi-kreatif tanpa merusak komunikasi kollaborasi antar kelompok. Adalah sebuah kerancuan apabila regulasi pemajuan kebudayaan menonjolkan perayaan keberagaman tetapi pada saat bersaman justru mengaburkan identitas-identitas kelompok, sebuah kekeliruan apabila memberikan jaminan kebebasan berekspresi tetapi pada saat bersamaan justru menafikan sistem nilai yang dihayati oleh masyarakat pemilik kebudayaan itu. Jika hal itu yang dilakukan maka percayalah bahwa alih-alih memajukan kebudayaan justru yang terjadi adalah penghancuran kebudayaan dan peradaban sekaligus.

Semoga para ahli, tim perumus, dan pengambil kebijakan berhati-hati dalam membuat konstruksi regulasi agar bisa diterima masyarakat pelaku kebudayaan (axceptable) dan bisa pula dilaksanakan (applicable) di dan oleh masyarakat tersebut karena dipercaya dan terbukti mendatangkan kemanfaatan yang luas. Kebalikan yang tidak dikehendaki adalah regulasi yang tidak aspiratif dan disadari atau tidak justru memiliki daya rusak terhadap sendi-sendi kebudayaan daerah di Sumatera Barat yang pemulihannya akan makin sulit bahkan bisa jadi tidak akan terselamatkan sama sekali. Wallahu alam bishawaab.

  Bersambung ….


Tag :#Sumbar#UNAND#PemajuanKebudayaan#Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com