HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Jumat, 20 Oktober 2023

PENDIDIKAN ALA RUMAH GADANG

Lindawati
Lindawati

 

PENDIDIKAN ALA RUMAH GADANG

Oleh Lindawati*

Dulu, suasana kehidupan di kampung Minangkabau umumnya, orang hidup dalam lingkungan keluarga luas. Pendidikan sosial mereka terima dari lingkungan: mamak mengajari kamanakan, mande (perempuan-perempuan sepesukuan dengan ibu ego) bertanggung jawab mengasuh dan mengajari anak-anaknya (artinya anak saudara perempuannya). Bahkan kalau ada dua orang perempuan yang bersaudara yang sama-sama punya bayi yang sedang menyusu, jika salah seorang dari ibu bayi ada yang keluar untuk suatu keperluan, ibu yang ada di rumah bisa saja menyusui bayi yang ditinggal ibunya. Itulah sebabnya ‘anak kampung’ itu mempunyai nilai sosial dan nilai moral yang sama. Bila ada seorang orang tua memarahi anak siapa pun di kampung itu atas kelakuan mereka yang tidak patut, orang tua anak itu tidak marah kepada orang yang memarahi anaknya itu. Pertimbangannya adalah bila anaknya berkelakuan salah yang sangat mungkin terbawa ke dalam pergaulan di masyarakat, maka itu akan membuat malu kaumnya.

Selain surau, Rumah Gadang adalah institusi terpenting dalam kebudayaan Minangkabau. Di Rumah Gadang inilah anak-anak Minangkabau belajar segala hal tentang kehidupan, terutama hal yang berkaitan adat istiadat yang bermuara pada pendidikan akhlak. Demikian pentingnya institusi rumah gadang bagi masyarakat Minangkabau sehingga dipatrikan dalam sebuah lagu yang berjudul MINANGKABAU; Adapun lirik lagu Minangkabau itu adalah sebagai berikut:

Minangkabau, tanah nan den cinto Pusako bundo, nan dahulunyo Rumah gadang, nan sambilan ruang Rangkiang balirik, dihalamannya Bilo den kana, hati den taibo Tabayang-bayang, di ruang mato

 

Rumah gadang beserta rangkiang menandakan kemakmuran. Kemakmuran yang ingin dicapai orang Minang adalah kemakmuran sosial, bukan kemakmuran individual. Ungkapan adat yang menyatakan cita-cita yang seperti itu adalah:

  1. Lumbuang baririk di halaman.

‘Lumbung berderet di haraman.’

  1. Rangkiang tujuah sajaja.

‘Rangkiang tujuh berderet.’

  1. Sabuah si Bayau-bayau.

‘Satu buah bernama si Bayau-bayau.’

  1. Panenggang anak dagang lalu.

‘Untuk membantu pendatang.’

  1. Sabuah si Tinjau lauik.

‘Satu buah bernama si Tinjau laut.’

  1. Panenggang anak korong kampuang

‘Untuk membantu orang kampung.’

  1. Birawari lumbuang nan banyak

‘Tentangan lumbung yang banyak.’

  1. Makanan anak kamanakan.

‘Untuk dimakan anak dan keponakan

Dari peribahasa (1-8) dapat dipahami bahwa orang tidaklah boleh egois dan pelit atau kikir dalam hal apa saja (harta dan ilmu). Sudah ada ajaran bahwa orang punya kelebihan rezeki harus menyisihkan sebagian hartanya untuk didermakan kepada fakir miskin dan orang terlantar. Jadi konsep sedekah dalam Islam yang dimaksudkan dalam rangka memelihara fakir miskin dan orang terlantar sudah dinukilkan dalam peribahasa Minangkabau.

Begitu pentingnya Rumah Gadang dalam kebudayaan Minangkabau. Jadi, Rumah Gadang bukan hanya sebuah bangunan, bukan pula hanya sebuah kata; ia adalah salah satu pusat kecendikaan (center for excellent). Di Rumah Gadang, anak-anak belajar berbagai tata krama (adat dan adab), yang bermuara pada pada pendidikan akhlak. Kalau ada saudara datang, anak yang ada di rumah dipanggil. Sebelum keluar diingatkan untuk berpakaian yang pantas. Tamu yang datang diperkenalkan dan dijelaskan hubungannya dengan keluarga yang didatangi. Saat itu anak belajar bagaimana memuliakan tamu. Pelajaran yang diperoleh di Rumah Gadang harus mereka pakaikan dalam kehidupan sehari-hari dan nanti diwariskan pula pada keturunannya. Lingkungannya akan mengawasi terlaksananya pelajaran itu. Yang tidak melaksanakan akan dicela atau dicap sebagai orang/anak tidak beradat/beradab/berakhlak.

Untuk  anak perempuan, selain diajar tata-krama, mereka juga diajar berbagai ketrampilan. Searang anak perempuan Minangkabau harus pandai menjahit dan menyulam, menenun dan mamasak,  serta mengurus rumah tangga. Dari ketrampilan yang seperti  itulah  kaum perempuan Minangkabau dapat mengembangkan usaha kewirausahaan dalam bidang kuliner dan fassion.

Dulu, di Rumah Gadang, mamak/etek boleh memarahi (menasehati) anak- yang jadi anggota warga kaum sebuah rumah gadang. Sekarang, dengan rumah gadang sudah jarang, banyak yang ditinggal kaum, banyak yang sudah rubuh. Secara fisik memang boleh, wajar lapuk dan runtuh, tetapi konsep, ide, semangat tetap bisa dihidupkan. Konsep Rumah Gadang dapat dipadankan dengan RT /R W dengan syarat ada kesepakatan diantara warganya. Setidaknya, peran menjaga anak-anak dan kaum remaja dari tindakan yang sumbang seperti pergaualan bebas, ada yang mau menasehati sebelum mereka tergelincir masuk pada fase salah. Kita khawatir, hari ini tidak ada kepedulian masyarakat terhadap hal-hal yang seperti itu. Masing- masing orang hanya berfikir menyelamatkan dirinya dan paling-paling keluarga kecilnya. Sikap seperti itu diungkapkan dengan pernyataan mati selah ndak anak awak do ‘biarkan saja, itu bukan anak kita.’

         

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com