HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Rabu, 8 Februari 2023

Minangkabau Dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (2)

Orasi Ilmiah Herry
Orasi Ilmiah Herry

Minangkabau dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (2)

Oleh: Herry Nur Hidayat*

 

Pada bagian sebelumnya, saya telah menguraikan aspek visual keminangkabauan dalam film Harimau Tjampa. Rumah gadang, kostum tokoh, silek, surau, dan kesenian tradisi ditampilkan tidak hanya sebagai pembangun latar cerita. Pacu kudo dan buru babi juga muncul dalam film ini. Kemunculannya yang sekilas, seperti halnya saluang dan randai, pacu kudo dan buru babi dalam film ini merujuk pada status sosial, kebiasaan, dan tradisi di Minangkabau. Sementara itu, aspek nonvisual keminangkabauan dalam film ini adalah merantau.

Sebagai sebuah perilaku, merantau dalam Harimau Tjampa ditampilkan melalui Lukman. Lukman merantau ke nagari Pauah untuk berguru silek pada guru terbaik di sana. Meskipun tidak diketahui asal kampung halamannya, tokoh Lukman menunjukkan perilaku merantau dalam konsep marantau dakek. Hal ini dibuktikan melalui kedatangannya di kampung Pauah dengan menumpang sebuah pedati. Indikator ini menunjukkan tempat yang tidak jauh dari kampung Pauah oleh karena jangkauan pedati yang terbatas. Maksud dan tujuannya merantau pun dapat dikategorikan sebagai tujuan merantau yang “klasik” yaitu untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman (Naim, 2013), berguru silek.  Akan tetapi, jika dihubungkan dengan motif dibalik itu, Lukman merantau adalah untuk mencari pembunuh ayahnya dan membalas dendam. Hal ini sesuai dengan pendapat Graves (2007) yang menyebut salah satu alasan orang Minangkabau merantau adalah konflik atau permusuhan.

Salah Asuhan (Asrul Sani, 1972)

Film berikutnya yang perlu mendapat perhatian adalah Salah Asuhan. Tahun 1972, Asrul Sani mengangkat novel Salah Asuhan karya Abdul Muis dan diproduksi oleh PT Taty & Sons Film. Sebagai penulis skenario, Asrul Sani mengadaptasi novel dan mengubah latar waktu cerita dari tahun 1930-an menjadi tahun 1970-an. Tokoh utama dalam cerita film Salah Asuhan ini adalah Hanafi dan Corrie. Hanafi berdarah asli Minangkabau sementara Corrie berdarah campuran, ibu Minangkabau dan ayah Perancis.

Hanafi dan Corrie diceritakan telah berteman sejak kecil. Keduanya lalu sama-sama bersekolah di Eropa. Sepulangnya ke kampungnya, perilaku Hanafi berubah. Hanafi selalu mengagungkan budaya Barat dan menjelekkan adat dan budayanya sendiri. Di samping itu, Hanafi merasa statusnya telah naik setelah menyelesaikan pendidikan di Belanda. Oleh karena merasa statusnya sama dengan Corrie, Hanafi bermaksud menikahi Corrie. Sementara itu oleh ibu dan mamaknya, Hanafi telah dijodohkan dengan Rapiah, anak mamaknya. Meskipun tidak menolak, Corrie masih ragu memutuskan. Mencoba menjauhi Hanafi, Corrie pergi ke Jakarta. Sakit hati ditinggalkan Corrie, Hanafi akhirnya menerima perjodohannya dengan Rapiah.

Karena tidak bahagia dengan pernikahannya, Hanafi menyusul Corrie dan menikahinya di Jakarta. Dalam kehidupan perkawinannya, Hanafi merasa disisihkan dari pergaulan. Corrie dituduhnya bertindak selingkuh. Tidak terima akan tuduhan itu, Corrie pergi meninggalkan rumah ke Bandung. Hanafi menyesali perbuatannya dan mencari Corrie. Namun terlambat, Hanafi menemukan Corrie menderita sakit kolera dan meninggal. Hanafi merasa menyesal dan kembali ke kampungnya untuk menemui ibu, istri, dan anaknya. Setelah memohon ampun pada ibu dan istrinya, Hanafi pergi menitipkan anaknya agar diasuh dengan baik.

Tema cerita Salah Asuhan ini dapat dengan mudah diraih yaitu pertentangan budaya Indonesia, dalam hal ini Minangkabau, dengan budaya Barat. Kegagalan kehidupan rumah tangga Hanafi dengan Corrie menjadi salah satu tanda muatan tema tersebut. Melalui tokoh-tokohnya, terutama Hanafi, film ini mencoba membangun kesadaran penonton akan konflik yang muncul karena perbedaan tersebut.

Citraan visual keminangkabauan dalam film Salah Asuhan tidak banyak ditemukan kecuali tradisi Tabuik. Visualisasi ini muncul pada bagian akhir cerita saat tokoh Hanafi pulang ke kampung halamannya setelah kematian Corrie. Adegan ini secara tidak langsung membangun latar tempat peristiwa berada di Pariaman, Sumatera Barat.

Meskipun citraan visual keminangkabauan dalam film Salah Asuhan ini tidak menonjol, beberapa dialog tokoh menyiratkan muatan keminangkabauan. Dalam hal ini, unsur keminangkabauan yang diangkat adalah hubungan kekerabatan di Minangkabau, mamak dan kemenakan. Tokoh Sutan Batuah dalam Salah Asuhan adalah mamak Hanafi (yang menyebutnya paman). Anak Sutan Batuah, Rapiah, oleh ayahnya dijodohkan dengan Hanafi yang juga disetujui oleh ibu Hanafi.

Menurut alam pikiran orang Minangkabau, perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan demikian lazim disebut sebagai pulang ka mamak dan pulang ka bako. Pulang ka mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang ka bako berarti mengawini kemenakan ayah. Semakin dekat hubungan kekerabatannya, semakin kuatlah hubungan perkawinan tersebut. Hal inilah yang ditunjukkan melalui perjodohan Hanafi dengan Rapiah yang adalah anak perempuan Sutan Batuah, mamak Hanafi sendiri.

Perkawinan dengan orang luar Minangkabau tidak menjadi pilihan. Perkawinan dengan orang luar terutama mengawini perempuan luar dipandang sebagai perkawinan yang akan bisa merusak struktur adat. Pertama-tama karena anak yang lahir dari perkawinan itu bukanlah bangsa Minangkabau. Di samping itu, kehidupan istri akan menjadi beban bagi suaminya, padahal setiap laki-laki bertugas utama bagi kepentingan sanak saudara, kaum, dan nagarinya. Salah Asuhan mencoba menggambarkan kehidupan yang dialami jika melanggar petuah adat Minangkabau. Kehidupan perkawinan Hanafi dengan Corrie tidak berhasil dan hanya menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

Penolakan Hanafi terhadap sistem kekerabatan Minangkabau muncul pada adegan penolakannya terhadap perjodohannya dengan Rapiah. Secara verbal Hanafi mengatakan, “Dan menurut adat pamanku boleh campur dengan urusan pribadiku. Boleh mengganggu aku di rumahku sendiri.” Hanafi menafikkan peran mamak dalam sistem kekerabatan di Minangkabau. Hanafi memandang Sutan Batuah sebagai paman bukan mamak. Hanafi telah dibutakan oleh budaya Barat sepulangnya dari Belanda.

Di sisi lain, kesadaran perbedaan latar belakang budaya antara Hanafi dan Corrie disadari oleh Du Busse, ayah Corrie. Perkawinannya dengan perempuan Minangkabau telah membangun kesadaran tersebut. Dalam sebuah adegan, Du Busse mengatakan, “Barat adalah barat. Timur adalah Timur.”

Satu hal yang menarik dari film ini adalah diramunya cerita novel zaman Pujangga Baru menjadi cerita yang up to date pada zamannya (1970-an). Penceritaan tidak terbatas pada konflik yang disebabkan perbedaan latar belakang budaya, tetapi menjadi isu nasional pada saat itu. Tentu saja hal ini harus dihubungkan dengan era Orde Baru yang mengedepankan karakter dan budaya nasional. Film Salah Asuhan bukan lagi bercerita tentang Minangkabau dengan bukan Minangkabau, bukan pula budaya Indonesia dengan yang bukan Indonesia, melainkan budaya Timur dengan budaya Barat. (bersambung)

*Dosen Sastra Minangkabau FIB Unand


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com