HOME OPINI OPINI

  • Sabtu, 23 Maret 2019

Minangkabau Bersyariat, Seperti Apa?

Emeraldy Chatra
Emeraldy Chatra

Minangkabau Bersyariat, Seperti Apa?

Dr  Emeraldy Chatra

Sebelum Islam menjadi bagian yang terpenting dari adat Minangkabau adat itu seperti pengejewantahan paham filsafat sekuler saja. Karakternya tidak berbeda dengan paham sosialisme yang dikonstruksi atas doktrin filsafati atau buah pikiran manusia. Bukan atas ajaran agama yang doktrinnya bersumber dari wahyu Allah.

Oleh sebab itu, sebelum Islam masuk adat Minangkabau hanya bersendikan kepada ‘alua jo patuik’. Artinya, atas dasar pertimbangan-pertimbangan rasional semata. Pertimbangan itu disandarkan kepada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh alam. Alam terkembang dijadikan guru. Jadi, tak jauh dari pandangan dasar kaum Stoicisme, suatu cabang filsafat Hellenisme yang muncul 3 abad Sebelum Masehi di Yunani.

Islam mengeluarkan adat Minangkabau dari sekularisme. Selanjutnya yang menjadi sendi adat bukan lagi pikiran filsafati semata, tapi juga wahyu Allah sebagaimana terdapat dalam Al Quran, ditambah dengan kitab Hadis. 

Dengan demikian hukum adat tidak lagi mengandalkan kepatutan yang didefinisikan secara rasional, tapi juga merujuk kepada kaidah-kaidah syariat Islam. Namun masuknya Islam tidak membunuh rasionalitas adat secara keseluruhan. Akal tetap dipergunakan untuk memahami dan mensinkronkan ayat-ayat Allah dengan pandangan rasional yang sudah ada sebelumnya. Bila terjadi benturan, maka ayat Allah yang didulukan, pikiran rasional dibuang.

Kawinnya Islam dengan adat merubah landasan adat Minangkabau dari ‘alua jo patuik’ menjadi ‘adat basandi syarak, syarak basandi ka kitabullah’ atau ABS-SBK. Syariat Islam memberi arahan, adat menggunakannya dalam kehidupan nyata.

Dari perbedaan itu, Minangkabau yang ber-ABS-SBK kita sebut saja “MINANGKABAU BERSYARIAT”. Sedangkan Minangkabau yang bersendikan ‘alua jo patuik’ kita sebut “MINANGKABAU LAMO”

Selesaikah sampai di sana?

Belum. Bagaimana format atau struktur adat Minangkabau Bersyariat itu masih jadi tanda tanya besar. Ada yang menganggap tidak ada lagi masalah karena masuknya unsur ‘urang malin’ ke dalam struktur kepengurusan adat. Juga karena adanya sejumlah praktik kehidupan yang berwarna Islam yang dikombinasikan dengan praktik adat, seperti pelaksanaan pernikahan dan menguatnya peranan ayah dalam rumah tangga. 

Sebaliknya, ada pula anggapan bahwa semua yang telah dilakukan belum cukup untuk mengatakan Islam sudah benar-benar telah menyatu dengan adat. Pendapat terakhir bahkan mengatakan struktur yang ada sekarang belum cukup Islami, belum mencerminkan secara sungguh-sungguh bahwa Islam itu memang ada dalam adat Minangkabau. Ditambahkan pula, Islam hanya penghias, etalase, bukan substansi. Ulama tetap dianggap outsider dalam kepengurusan adat, dan dalam upacara-upacara adat para ulama biasanya hanya menjadi peninjau, bahkan konon adakalanya tidak dibawa serta sama sekali.

Belakangan muncul pula pendapat ekstrim dari sekelompok orang yang sepertinya mengusung bendera Islam. Menurut mereka, adat Minangkabau masih jahiliyah, jauh dari nilai-nilai Islam. Alasannya karena masih mempunyai Harato Pusako Tinggi (HPT) yang subhat, dan prinsip pewarisan HPT berdasarkan garis ibu, suatu yang bersifat bid’ah karena tidak ada aturan seperti itu dalam Islam.

Memang perbedaan pandangan ini tidak terlalu mencuat ke permukaan, dan tidak menjadi perdebatan luas serta tajam di tingkat elite maupun publik. Orang lebih banyak menyimpan pikiran mereka dalam-dalam dan bersikap seperti tidak ada masalah. Mungkin orang sudah lelah berdebat dan berkonflik sehingga masalah perbedaan pandangan dibiarkan saja mengambang. 

*Dinamika Berhenti*

Dinamika budaya Minangkabau Bersyariat kini menjadi seolah-olah berhenti, tidak mengalami perkembangan yang berarti. Pembaruan-pembaruan dan penyesuaian adat Minangkabau Bersyariat dengan dinamika kehidupan kontemporer dapat dikatakan tidak terjadi. Tak ada orang yang berani menawarkan perubahan agar adat Minangkabau Bersyariat tidak dipandang kuno oleh orang Minangkabau sendiri. 

Alih-alih berkembang menjadi sebuah kekuatan budaya baru, peranan adat dan agama di tengah masyarakat Minangkabau justru semakin memudar. Kepemimpinan Minangkabau Bersyariat makin jauh dari wibawa, kehilangan popularitas, dan tergusur oleh kekuatan birokrasi. Kemenakan kucar-kacir seperti anak ayam kehilangan induk. Niniak mamak dan ulama tak tentu away. Para pemimpin Minangkabau Bersyariat seolah-olah menjadi sekelompok orang yang hidup menompang di daerah yang diteruka oleh nenek moyangnya sendiri. Ironis sekali.

Akhir-akhir ini memang tampak ada ‘kesadaran balik’ dan upaya di kalangan elite tradisional untuk kembali menghidupkan adat Minangkabau di tengah kehidupan sehari-hari. Namun upaya itu kelihatannya tidak mendapat sambutan antusias di kalangan orang Minangkabau, karena kuatir akan kembalinya adat ‘Minangkabau Lamo’ yang bersifat feodal. 

*Sepenggal Harapan*

Harapan kita tentu saja adat Minangkabau Bersyariat yang berkembang, menjadi sumber kekuatan kolektif orang Minangkabau dalam menghadapi berbagai ancaman kultural yang datang dari luar. Adat Minangkabau Bersyariat harusnya menjadi identitas yang kental, kokoh, sehingga godaan-godaan untuk beralih kiblat dan orientasi kehidupan disikapi secara kritis oleh orang Minangkabau dimana pun mereka berada.

Pandangan pribadi saya, Minangkabau Bersyariat itu harus ditandai terutama sekali oleh tegasnya batas antara halal dan haram dalam pikiran, emosi dan tindakan orang Minangkabau. Orang Minangkabau tak akan mengonsumsi barang haram walau hanya sebesar biji zarah. Mereka tidak akan makan bangkai, darah yang mengalir, dan babi (QS, Al An’am: 145). Mereka juga tidak akan makan riba karena Allah akan menghancurkannya (QS, Al Baqarah: 276). Riba itu berpotensi menghancurkan sebuah bangsa (QS, Ali Imran: 130-1). Sebaliknya mereka akan mengutamakan sedekah dan menjadikan sedekah sebagai kekuatan ekonomi baru karena Allah akan menyuburkan sedekah itu (QS, Al Baqarah: 276).

Apakah harapan itu akan wujud? Mustinya demikian. Optimisme harus tetap dibangun. Karena itulah, para pemimpin Minangkabau Bersyariat perlu merapatkan barisan, duduak sahamparan, menyatukan kembali kekuatan yang telah menyerpih dan terbawa arus. Kemauan untuk duduk bersama ini pulalah kelak yang akan melahirkan perubahan-perubahan dan pemantapan format adat Minangkabau Bersyariat yang kokoh dalam menyaring dan melawan ancaman budaya luar yang kontraproduktif.

(Emeraldy Chatra, Dosen FISIP Universitas Andalas)


Tag :opiniEmeraldyChatra

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com