HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Senin, 23 Oktober 2023

Menakar Kemampuan Siswa Dalam Membaca Naskah Beraksara Arab Melayu: Studi Terhadap Siswa Di Kota Padang

Yerri
Yerri

Menakar Kemampuan Siswa Dalam Membaca Naskah Beraksara Arab Melayu: Studi Terhadap Siswa Di Kota Padang

Oleh Yerri Satria Putra*

Dalam konteks sosial-tradisi, tingkat intelektualitas masyarakat Minangkabau tercermin dari keberlanjutan tradisi menulis yang ada di dalam masyarakat mereka. Tradisi menulis di Minangkabau berkembang seiring dengan perkembangan Islam di daerah tersebut, terutama di Sumatera Barat. Aksara Jawi digunakan sebagai sistem tulisan oleh masyarakat Minangkabau, dan ini terbukti dari banyaknya naskah-naskah bertulisan Jawi yang masih dapat ditemukan di surau-surau tua di Sumatera Barat. Secara konseptual, surau adalah bangunan kecil beratap dan berlantai, yang digunakan sebagai tempat ibadah setelah mandi, serta sebagai tempat ibadah saat bekerja di sawah atau ladang, misalnya untuk salat Dzuhur dan Ashar. Secara adat, surau juga berfungsi sebagai tempat pertemuan, rapat, dan tempat tinggal bagi anak laki-laki yang telah dewasa serta laki-laki tua yang tidak memiliki istri atau sudah uzur (Azra, 2003:8, lihat juga Navis, 1984, Pramono, 2007). Karena sistem adat Minangkabau mengikuti garis keturunan ibu, kaum laki-laki tidak memiliki tempat tinggal di rumah gadang, sehingga mereka tinggal di surau. Signifikansi posisi surau di dalam masyarakat Minangkabau, terutama untuk kaum laki-laki, menjadikan surau tidak hanya sekadar identitas bagi umat muslim di Sumatera Barat. Surau telah menjadi identitas budaya yang lebih luas. Sebagai identitas budaya, surau tercermin dalam filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Oleh karena itu, pengetahuan agama, keterampilan membaca dan menulis, serta pengetahuan adat dan budaya Minangkabau diajarkan di institusi surau, melalui baraja adat, baraja agamo, indak baradat, indak baragamo (Putra, 2006).

Fungsi surau sebagai institusi pendidikan tradisional ini turut diperkuat dengan ditemukannya berbagai jenis naskah atau kitab kuno di surau. Filolog-filolog Sumatera Barat mengungkapkan bahwa temuan ini memberikan gambaran yang luar biasa tentang kekayaan warisan budaya masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Berbagai jenis naskah, baik yang disimpan secara individu maupun kolektif oleh masyarakat Minangkabau. Sebagian besar naskah tersebut merupakan karya-karya Islam yang ditulis dengan menggunakan aksara Arab, dan ada juga yang menggunakan aksara Arab Melayu. Naskah-naskah ini merupakan hasil karya para syekh, ulama, buya, dan tuanku, yang merupakan para guru di surau. Para cendekiawan ini mengajarkan ilmu dan pemahamannya kepada murid-murid dan kaum mereka di dalam surau.

Dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan konservasi naskah-naskah kuno ini telah menjadi sangat aktif, terutama di bawah pengawasan para filolog dari Universitas Andalas. Sejak tahun 2014, Dr. Pramono dan timnya telah melakukan kegiatan pendigitalan dan penyelamatan terhadap naskah-naskah yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat secara tradisional. Contohnya, naskah-naskah yang disimpan di Surau Paseban Kota Padang, Surau Simawuang di Kabupaten Sijunjung, Surau Calau di Kabupaten Sijunjung, dan surau-surau lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Hal ini merupakan perkembangan yang sangat positif, dan diharapkan dukungan dari berbagai pihak dapat terus mengalir agar misi "membangkitkan kejayaan masa lalu" dapat tercapai dengan baik.

Namun demikian, ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di benak kami, untuk apa naskah-naskah itu dilestarikan, dan apakah masih ada generasi yang bisa membaca naskah-naskah tersebut? Pertanyaan ini sangat relevan, mengingat kondisi naskah-naskah itu saat ini yang bisa dikatakan tidak baik, dan sudah tentu akan sulit dibaca. Meskipun demikian, kami sangat menyadari bahwa generasi saat ini mungkin tidak langsung membacanya, sehingga upaya menyelamatkan naskah-naskah tersebut memiliki tujuan untuk menjaga warisan budaya dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya agar dapat menjadi pengetahuan dasar bagi pembelajaran dan pemahaman tentang sejarah dan budaya lokal untuk membentuk karakter, identitas dan memperkaya pengetahuan generasi selanjutnya.

Untuk meyakinkan kami tentang manfaat dari usaha konservasi naskah ini, kami melakukan sebuah riset kecil-kecilan. Kami melalukan survey untuk mengevaluasi kemampuan pelajar SLTA di Kota Padang dalam membaca tulisan Arab Melayu. Alasan kami mengambil sampel pelajar SLTA karena kami beranggapan bahwa pelajaran membaca Arab Melayu masih dipelajari dalam kurikulum BAM di tingkat SD dan sudah tentu pelajaran itu masih sangat membekas dibenak mereka sampai mereka berada di tingkat SLTP. Namun, kami ragu apakah apabila mereka telah duduk di tingkat SLTA masih dapat mengingatnya dengan baik atau tidak. Pelajar SLTA yang kami pilih adalah pelajar SLTA yang duduk di kelas dua, karena pelajar kelas dua SLTA merupakan sampel ideal mengingat pelajar kelas satu SLTA baru setahun meninggalkan pendidikan SLTP sedangkan pelajar kelas tiga SLTA terlalu disibukkan dengan persiapan bimbel dan kursus. Kegiatan ini melibatkan 50 pelajar, yang berasal dari SLTA-SLTA di Kota Padang, terdiri dari 25 pelajar laki-laki dan 25 pelajar perempuan.

Pertanyaan-pertannyaan yang disediakan adalah seputar naskah, untuk melihat tingkat kemampuan siswa dalam membaca dan mengalih aksarakan bacaan itu ke dalam aksara latin. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diklasifikasikan ke dalam 3 tingkat kesulitan. Pertama, tingkat kesulitas rendah. Pada tingkatan ini disediakan 6 pertanyaan seputar huruf dan kata dasar di dalam aksara Jawi/Arab Melayu (c, -nya, -ng, dan g, serta kata pinggang dan nyontek). Kedua, tingkat kesulitan sedang. Pada tingkatan ini disediakan 4 kalimat yang harus dibaca dan dialih aksarakan oleh siswa. Ketiga, tingkatan kesulitan tinggi. Pada tingkatan ini, disediakan sebuah cerita yang terdiri dari 134 kata, dan siswa diminta untuk membaca dan mengalih aksarakan cerita tersebut ke dalam aksara latin. Siswa hanya memiliki waktu selama 40 menit untuk menjawab semua pertanyaan.

Hasil yang diperoleh adalah 10 pertanyaan di tingkat pertama, dan kedua rata-rata mereka hanya dapat menjawab tujuh pertanyaan dengan benar dan 3 jawaban salah. Sebagian besar pertanyaan yang mendapatkan jawaban salah adalah pertanyaan seputar huruf “-nya dan g” dalam aksara Arab Melayu. Kami menduga bahwa siswa tidak bisa menjawab huruf nun dengan tiga titik di atasnya sebagai huruf “-nya” sesuai dengan standar penulisan Arab Melayu, karena selama ini mereka diajarkan bahwa penulisan huruf “-nya” adalah huruf “ya” dengan tiga titik dibawah. Sedangkan untuk kasus huruf “g” kami menduga siswa tidak lagi dapat mengingat simbol huruf “g” dalam aksara Arab Melayu.

Untuk jenis pertanyaan ketiga dengan tingkat kesulitan yang tinggi, Dari total 134 kata yang disediakan di lembar pertanyaan, rata-rata siswa hanya dapat membaca 16-22 kata saja, selebihnya tidak dijawab dan atau salah dalam menjawab. Hasil ini jelas jauh dari perkiraan, mengingat lampiran pertanyaan yang disediakan berasal dari naskah beraksara Arab Melayu yang dicetak, dengan kualitas kopian yang baik. Sebagian besar pelajar tidak dapat mejawab kata-kata seperti “madah, jombang, inyo, tolan, Jibra’il, dan faedah”. Kami menduga bahwa siswa tidak mengetahui kosa kata itu, karena memang kosa kata tersebut untuk masa sekarang sudah jarang digunakan dalam komunikasi lisan maupun tulisan.

Apabila berkaca dari suvey ini, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam membaca naskah beraksara Arab Melayu masih cukup baik. Namun demikian, perlu adanya langkah-langkah untuk mengasah kemampuan siswa dalam menguasai kembali kosa kata Minang klasik. Oleh karena itu ada beberapa hal yang penting yang perlu diperhatikan, pertama materi pembelajaraan bermuatan bahasa Minangkabau harus lebih ditingkatkan, karena rata-rata siswa sekarang tidak lagi mengenal kosa kata lama, sebagaimana contoh kecil yang disebutkan di atas. Kedua, kemampuan guru dalam mengajarkan Arab Melayu pun harus diasah, agar gurupun dapat memberikan materi dengan baik kepada siswanya. Tidak lupa juga, peran aktif pemerintah daerah untuk mengadakan program-program pelatihan membaca naskah beraksara Arab Melayu untuk guru harus mulai digiatkan. Program-program pelatihan ini penting mengingat saat ini ilmu pengetahuan dan pengkajian naskah-naskah kuno sudah sangat berkembang, dan guru harus memperoleh pengetahuan itu untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengajarkan kepada siswa.

*Dosen Sastra MInangkabau FIB Unand


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com