HOME OPINI OPINI

  • Rabu, 4 Desember 2019

Kinari Nagari Modernis Awal

Nagari Kinari Tempo Dulu
Nagari Kinari Tempo Dulu

Kinari Nagari Modernis Awal

Oleh Yudhi Andoni
(Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)


Setelah perjalanan melelahkan dari Padang. Melewati Sitinjau Lawik yang membuat para pengemudi berhati-hati. Udara dingin segera menyergap kami kala memasuki kawasan Kabupaten Solok. Sukarami balapau nasi sebut satu lirik lagu Minang terkenal. Kami berhenti rehat dan makan di salah satu kedai nasi. Uap nasi membumbung. Aroma ikan bakar menggoda. Kami bersantap.

“Kalaulah sampai di Solok, apa saja lauk pauk kita. Meski samba lado jo uok taruang. Sedap juga sampai di lidah”, seloroh teman perjalanan. Yang lain mengamini tanpa bicara. Sibuk dengan capak makan masing-masing. Saya hanya diam, meresapi dingin dan keheningan. Sesekali terdengar capak makan kawan sebelah.

Dulu, di awal pergantian 2 dua lalu. Berjarak ribuan mill. Bule-bule telah lebih dulu dari kita di negeri ini menapak jejak. Mereka masuk ke nagari-nagari terdalam kita. Menyibak cerita dan mendigitalisasikannya demi anak cucu mereka. Sementara kita baru setapak menelusuri apa yang menjadi milik kita sebagai orang Minangkabau.

Walau begitu, kita bersyukur. Tinggalan itu setidaknya telah membantu kita menemui masa lalu yang sayup.

Ada dua foto tertua tentang nagari di Minangkabau yang masih bisa diakses dunia digital hari ini. Foto pertama bercirca 1895, koleksi digital Tropenmuseum. Pemilik foto ini bernama Christiaan Benjamin Nieuwenhuis.

Foto kedua diperkirakan diambil pada rentang 1892-1905. Keduanya sama-sama dapat ditemukan di Tropenmuseum, dengan pemilik foto yang sama. Kedua foto tersebut memvisualkan Nagari Kinari, yang hari ini ada di Kecamatan Bukitsundi, Kabupaten Solok. Dua foto yang menarik.

Foto pertama menampakkan perempuan-perempuan, dan anak-anak Kinari dalam pakaian sehari-hari mereka. Mereka berdiri berjejer di depan Rumahgadang yang tampak kokoh. Pada sebagian perempuan itu kepala mereka tampak sedang menjunjung tempayan, lainnya menggedong anak. Sementara sekelompok anak lelaki duduk di tepi sebuah poahon. Mengawasi. Tanpa ekspresi.

Sementara foto kedua terlihat satu keluarga besar (?) dengan pakaian adat, serta modern. Mereka berdiri membelakangi jejeran rangkiang besar yang megah. Berteman Rumahgadang nan berkharisma. Tampak perempuan memakai baju baralek. Suntiang antik. Aksesori perhiasan mewah dan besar, dikalungkan ke leher mereka. Bergantung sampai ke lutut. Seorang lelaki tua berdesta, dengan jas, sarung bugis dililitkan ke pinggang, dengan celana panjang berdiri angker. Berbeda dengan seorang pemuda di ujung lainnya. Ia memakai kopiah Bugis. Bercelana panjang. Sepatu kulit. Sebuah tongkat tampak menyokong gayanya yang santai selama sesi foto yang entah keberapa kali harus diubah sesuai maunya tuan bule yang datang ke Kinari kala itu memotret mereka. 

Anak-anak diposisikan di depan orangtua. Berdiri dan duduk. Mereka mungkin diminta berpakaian busana paling bagus yang mereka miliki. Pakaian adat atau modern yang lagi trendi kala itu. Selain pemuda tadi. Lainnya kaku. Serius. Bahkan tak suka.

Dua foto tentang Nagari Kinari di atas mengisahkan banyak hal tentang daerah ini diakhir abad ke-19. Periode peralihan ketika nagari-nagari masih merasa otonom pasca Paderi. Bahkan kala sistem kekuasaan kolonial masih bersifat parsial melalui kaki tangan mereka, seperti para laras, atau demang sebagai perpanjangan kekuasaan yang sentralistik di Kota Solok, Fort de Kock atau Padang kala itu.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa dibaca dari dua foto tersebut atas sejarah Nagari Kinari akhir abad ke-19.
Pertama, melalui foto-foto di atas Nagari Kinari menjadi bagian dari struktur dominasi kala itu. Keberadaan foto itu menjadi penanda bagi pemerintah kolonial memasukan nagari ini sebagai bagian dari koloni mereka.

Kedua, orang-orang Kinari melalui foto-foto itu dihegemoni tanpa bisa melawan, setidaknya mereka mengikuti maunya si fotografer (bule) sebagai penanda simbolik dari unsur kolonialisme kala itu.

Ketiga, bahkan pada akhir abad ke-19, ketika Politik Etis belum dikenalkan, orang-orang Kinari barangkali adalah kelompok paling awal yang dihidupi dengan nilai-nilai modernisme Barat. Dan mereka beruntung atas hal itu.

“Marilah kita foto-foto dulu,” kata kawan sebelah sambil menyemba sehelai tisu. Ya berfotolah kita, agar nanti orang tahu pula seperti apa rumah makan Padang dan capak orangnya di masa ini. “Yep…senyum!” Sebuah kilatan blitz memeramkan mata saya.


Tag :#opini yudhi andoni

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com