HOME OPINI OPINI

  • Sabtu, 13 April 2019

Body Shaming Di Dunia Maya

Sartana
Sartana

Body Shaming di Dunia Maya

oleh Sartana
Dosen Psikologi Sosial Universitas Andalas

 

Dorongan agresi merupakan insting bawaan manusia sejak lahir. Ia senantiasa membutuhkan ruang dan objek untuk disalurkan. Dan, cara dorongan tersebut disalurkan senantiasa berevolusi seiring dengan perkembangan teknologi. Ketika teknologi berubah, agresifitas juga diekpresikan dengan cara yang sesuai. 
Pun demikian ketika teknologi internet berkembang. Aneka macam bentuk agresifitas juga turut bersalin rupa. Banyak tindakan agresi yang terjadi bermediakan internet, atau yang sering disebut perisakan siber (cyberbulling).

Body shaming merupakan salah satu jenis agresifitas yang sering terjadi di dunia maya itu. Body shaming adalah istilah yang digunakan untuk berbagai macam tindakan mengolok-olok atau mengomentari negatif tubuh atau penampilan fisik seseorang, misalnya tentang bentuk atau ukuran tubuh, warna kulit, rambut dan sebagainya. 

Contoh nyata body shaming tersebut di antaranya adalah orang mengedit foto temannya, misalnya dengan mengubah bentuk atau ukurannya, sehingga jadi lucu atau jelek. Misalnya, foto itu diedit dengan memperlebar bibirnya atau memperpanjang hidungnya. Di internet, orang dapat juga mengolok-olok dengan mengunggah video yang dapat mempermalukan seseorang. 

Yang sering terjadi, orang mengunggah status atau memberi komentar dengan maksud untuk mengkritik atau menghina.  Hal itu terutama ditujukan pada mereka yang memiliki ukuran atau bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan standar ideal masyarakat. 

Di Indonesia, kasus body shaming tergolong marak. Pada tahun 2018, ada 966 kasus body shaming yang ditangani polisi (detik.com). Jumlah tersebut adalah jumlah yang tercatat, dan kasusnya tergolong serius. Dalam kenyataannya, body shaming yang tidak dilaporkan jumlahnya melimpah.

Di dunia maya, body shaming dapat menimpa siapa saja. Tidak pandang bulu. Bahkan pejabat-pejabat tinggi, seperti presiden, menteri, anggota DPR, dan kepala daerah juga dapat menjadi korban. Kita mungkin sudah berulang kali mendapati foto beberapa pejabat publik yang diedit dan disebarkan di media sosial. Termasuk tebaran komentar-komentar yang bernada menghina atau merendahkan.

Meskipun semua orang dapat menjadi korban body shaming, perempuan memang lebih rawan menjadi korbannya. Sebuah survey bertajuk Body Peace Resolution yang dilakukan oleh Yahoo! Health (2016), melibatkan 2000 responden, menemukan bahwa 94 persen perempuan yang pernah menjadi korban body shaming, sementara korban yang laki-laki hanya 64 %. 

Tentu, kejadian tersebut tidak lepas dari kultur sosial yang cenderung memandang perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang lemah secara fisik. Dengan demikian, pelaku berfikir resiko yang mereka tanggung lebih kecil, dibanding dengan ketika mereka melakukannya pada laki-laki dewasa. 

Sebagai hal yang umum terjadi, orang body shaming memiliki dampak serius pada korbannya. Salah satunya, ia dapat menyebabkan korban menanggung citra diri buruk. Pada taraf tertentu, mereka juga dapat mengalami gangguan dismorfik tubuh. Mereka merasa ada yang kurang pada tubuhnya, meskipun dalam kenyataannya tidak demikian. Mereka kemudian merasa tidak puas dengan tubuhnya. Selain juga merasa tidak bahagia. Bahkan ada juga korban yang sampai merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Hal demikian terjadi karena penilaian-penilaian orang lain berpengaruh pada cara seseorang membangun konsep dirinya. Ketika seseorang sering dicemooh dan dinilai negatif, orang tersebut dapat mengafirmasi dan menganggap benar penyataan tersebut. Lalu, keyakinan itu diinternalisasi serta menjadi bahan individu untuk mengkontruksi gambaran dirinya.  

Kajian Lisya Chairani (2018) terhadap 21 riset tentang body shaming menunjukan bahwa body shaming sangat berhubungan dengan gangguan makan seseorang.  Beberapa orang yang diejek karena tubuhnya yang gemuk, mereka menderia anoreksia nervosa. Mereka melakukan diet ketat hingga memuntahkan makanan yang dimakan. 

Perasaan malu yang mereka alami juga dapat mendorong mereka melakukan tindakan-tindakan irrasional. Misalnya, melakukan diet atau olah raga yang ekstrem, demi menjaga atau menurunkan berat tubuhnya. 

Ada banyak hal yang mendorong orang melakukan body shaming di internet. Salah satunya, karena faktor anonimitas. Di internet, seseorang dapat menutupi identitas aslinya dengan berbagai cara. Misalnya, mengganti foto profil atau nama akun media sosial, dan itu akan menjadikan seseorang menjadi lebih berani. Karena kondisi itu dapat mereduksi tanggung jawab mereka.

Yang selanjutnya adalah faktor jarak. Di dunia virtual, orang-orang berinteraksi dengan jarak geografis yang relatif jauh. Kondisi demikian mengubah cara seseorang dalam memandang teman yang mereka ajak interaksi. Termasuk pertimbangan mengenai resiko dari perbuatan yang mereka lakukan. Mereka cenderung melihat orang sebagai entitas impersonal, dan mengurangi derajat resiko dari tindakan yang dilakukan. 

Perilaku body shaming tersebut juga dipengaruhi oleh budaya. Dalam beberapa masyarakat, body shaming tersebut sering dianggap sebagai hal yang biasa. Orang mengolok-olok badan seseorang dianggap sebagai candaan yang lazim. Ia dianggap bagian tanda dari hubungan yang akrab. Hal serupa kemudian mereka terapkan di dunia maya. 

Yang menjadi catatan, realitas dunia maya berbeda dengan dunia nyata. Perilaku yang dimaksudkan untuk bercanda tidak selalu ditanggapi sama oleh lawan bicara. Bisa jadi mereka menganggap itu hinaan, bukan candaan, sehingga mereka membalas. Kondisi itu memicu lingkaran setan pertengkaran yang sulit untuk dicari ujung pangkal dan penyelesaiannya.

Terkait itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah maraknya kasus body shaming di internet. Yang pertama tentu adalah melakukan edukasi pada remaja tentang body shaming. Di antaranya tentang jenis-jenisnya, dampaknya bagi korban, jerat hukum bagi pelakunya, serta dinamika terjadinya. Sebagian orang awam tentu belum tahu bahwa perilaku yang nampak sepele tersebut memiliki dampak serius pada korbannya.

Literasi digital adalah hal lain yang perlu terus dilakukan. Remaja perlu dipahamkan bahwa dunia virtual adalah dunia yang berbeda dengan dunia nyata. Ada sejumlah keterbatasan dalam interaksi di dunia maya. Termasuk tentang etika serta peraturan hukum yang perlu dijadikan pedoman.  Juga tentang keputusan yang perlu mereka ambil ketika melihat atau menjadi korban body shaming.

Di luar itu, cara-cara yang bersifat sistemik juga harus dilakukan. Dalam arti, stake holder terkait juga perlu membuat kebijakan dan program untuk mencegah dan mengurangi kejadian body shaming. Misalnya, melakukan kampanye atau edukasi ke anak-anak, guru dan orang tua agar mereka lebih sadar tentang kejadian tersebut, serta bersedia terlibat untuk mencegahnya.


Tag :opiniSartana

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com