HOME OPINI OPINI

  • Rabu, 20 Oktober 2021

Berlindung Di Bawah Naungan Privilege Dan Kata Maaf

Fara Salsabila
Fara Salsabila

(oleh : Fara Salsabila Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)

DI sebuah Trip Pulau, "Welcome to Wkwk Island! Dimana segalanya memang tidak melulu tentang uang, tetapi uang bisa membeli segalanya. Yang “Goodloking” dibela yang “Selflove” dihina, keadilan sosial, bagi seluruh rakyat kelas atas!” ujar Guide yang ada disana.

Ya, selamat datang ke Negeri Komedi!, Negeri yang kaya akan sumber daya lawakan setiap saat. Mata pencaharian penduduk disini pun beragam, mulai dari menjual sensasi dan kontroversi, bahkan ada yang rela memakan keringat dan bangkai saudara sendiri dan menyamar sebagai “Tikus Berdasi”, jangan menjadi orang jujur disini,nanti kamu ditangkap! Kunci kesuksesan disini bukanlah kerja keras, tetapi “Privilege”.

Di negeri ini sering terjadi badai, namun tenang dan jangan panik, kamu bisa berlindung dibawah naungan Privilege dan kata maaf, dan semua akan kembali berjalan normal. Privilege? Iya, hak istimewa. Jika kamu kaya, kamu bisa melakukan segalanya disini. Jika kamu memiliki paras menawan, kamu akan mendapatkan pembelaan, kamu bisa mencurangi mereka yang sama sekali tidak mempunyai privilege. Jika kamu ketahuan bersalah dan tersudut, kamu harus melewati formalitas klarifikasi dan meminta maaf yang sangat membosankan, lalu semuanya selesai. 
(Tidak lama kemudian, datanglah seorang penjual bakso. Dan…) -Tamat-

Dalam beberapa kurun waktu terakhir ini, Indonesia sering diguncang kabar kontroversial dari kalangan selebriti. Seperti yang kita ketahui isu yang trending diakhir-akhir ini, yaitu kabar Selebrita Rachel Vennya yang kabur pada masa karantina dan Baim Wong yang menghina seorang Kakek Tua. Atau kitab isa throwback ke beberapa waktu kebelakang, seperti kasus pelecehan terhadap bendera Indonesia,atau pelecehan Pancasila, bahkan tindakan asusila. Kalaupun hukum berlaku, mereka akan dapat keringanan atas privilege mereka.

Dengan privilege yang mereka punya, mereka dapat melakukan apa yang mereka inginkan, tidak peduli itu merugikan orang atau bahkan hilangnya rasa empati. Setelah tersudut, kebanyakan orang yang memiliki privilege akan melakukan sebuah klarifikasi dan permohonan maaf terhadap public, lalu masalah selesai begitu saja.

Tetapi Penulis tidak akan membahas pelaku sebagai pokok permasalahan, melainkan Privilage yang dapat melakukan segalanya dan kata maaf yang kian lama hanya dianggap sebagai formalitas dan dinilai dapat menyelesaikan segala kesulitan.

Privilege atau hak istimewa tidak selalu berkonotasi negative. Privilege sendiri adalah hak istimewa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Privilege memang tidak bisa menjamin kesuksesan, namun privilege dapat memperbesar peluang seseorang dalam meraih sesuatu dibanding orang yang tidak mempunyai privilege tersebut.

Namun, perlu diluruskan lagi, bahwa setiap orang memiliki Privilege masing-masing. Seperti ada yang terlahir di keluarga elit, atau memiliki orangtua yang mempunyai banyak akses, bahkan lahir di keluarga mayoritas juga merupakan Privilege. Namun yang menjadi masalah adalah orang yang menyalahgunakan Privilege tersebut.

Orang sukses yang terlahir kaya sering menyangkal bahwa apa yang mereka raih bukan karena privilege (Privilege Denial). Namun, tanpa mereka sadari pernyataan tersebut sangat menyakitkan bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan sebagus mereka, seperti akses, jaringan, Pendidikan dan finansial.

Ya, tentunya kemiskinan adalah masalah yang structural dan berlanjut. Menurut Arie Sujito, seorang sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin akan memiliki beban dan memiliki peluang kecil untuk sukses dan kaya. Sejak kecil mereka harus bekerja, dan tidak memiliki kesempatan menempuh jenjang pendidikan, kalaupun ada, tentu tidak akan optimal.

Pendapat ini juga didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan “The SMERU research Institute” yang mendapati hasil bahwa anak yang terlahir dari keluarga miskin berpendapatan 87% lebih rendah dibandingkan anak yang hidup berkecukupan saat mereka dewasa. Akan tetapi, Ketika seseorang yang belum sukses berlindung dibalik alasan tidak mempunyai Privilege itu juga salah.

Benar sekali, hak istimewa itu penting, namun usaha juga tidak kalah penting.

Disini penulis menganalogikan, seorang anak yang terlahir di keluarga elit, bekerja keras untuk mengubah 1 menjadi 100 (scale up bisnis) sedangkan mereka yang kurang beruntung bekerja keras untuk mengubah 0(nothing) menjadi 1.

Yap, seperti memulai sebuah game, akan ada beberapa level seperti easy, middle dan hard. Semua memang memiliki kesempatan untuk sukses, namun tentunya diraih dengan usaha dan kesulitan yang berbeda-beda tergantung privilege yang mereka miliki.

Namun, menurut Ratu Media Amerika Serikat, Oprah Winfrey, walaupun Sebagian orang tidak seberuntung anak yang terlahir dari keluarga sejahtera, tapi kebebasan memilih jalan hidup adalah bagian Privilege yang sakral.

Lalu mengapa mereka yang memiliki Privilege lantas menggunakannya secara semena-mena? Setelah itu berlindung dibalik klarifikasi dan kata maaf setelah ketahuan bersalah dan bukan karna merasa benar-benar bersalah?

Maaf merupakan sebuah komunikasi verbal dalam mengutarakan penyesalan dan perjanjian tersirat agar tidak mengulangi sebuah kesalahan. Namun, semakin kesini kata maaf seakan tidak bernilai dan hanya dilakukan untuk formalitas semata. Dapat kita lihat pada beberapa kontroversi yang selalu penyelesaiannya hanya dengan kata maaf lalu terulang kembali.

Apalagi di negara kita Indonesia yang masih kental akan nilai norma, budaya kolektif, dan perintah agama. Dimana disini memaafkan adalah suatu hal yang wajib dilakukan demi keberlansungan harmonisasi sosial dan menghindari konflik antar keberagaman sehingga masyarakat kebanyakan akan cenderung lebih mudah memaafkan dan melupakan tanpa pemahaman yang mengakibatkan kegagalan perubahan dalam diri.

Sudah seharusnya ketegasan dalam keadilan diberlakukan. Privilege memang normal digunakan dalam mencapai sebuah kesuksesan, namun sangat tidak ada toleransi dan pembeda dalam kacamata hukum.

Apalagi dalam berbagai kasus terjadi ketimpangan sanksi dalam strata sosial yang sangat jauh berbeda. Tentunya, ini sangat memancing kecemburuan sosial dan menyulut amarah publik. Sanksi tetaplah sanksi, privilege tidak bisa dijadikan penawar dan maaf tidak cukup dalam mengganti sanksi tersebut.*


Tag :#opini

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com