HOME OPINI OPINI

  • Kamis, 2 Maret 2023

Berguru Ke Tradisi Cheng Beng

Pelaksanaan ritual Cheng Beng. Foto/Istimewa
Pelaksanaan ritual Cheng Beng. Foto/Istimewa

Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia. 

Demikian buah pemikiran Gus Dur, seperti dikutip dari Harian Kompas edisi 11 Maret 2004. Sebelumnya, Bapak Pluralisme itu telah menegaskan kebijakannya lewat Keputusan Presiden (Kepres) No.6/2000.

Kepres yang dibuat Gus Dur mematahkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang dikeluarkan Presiden Soerharto di masa Orde Baru memimpin Indonesia. Sejak saat itu, Barongsai, Cap Gomeh, Imlek dan berbagai bentuk tradisi Tionghoa lainnya tidak lagi menjadi 'benda asing' di nusantara ini. 

Gus Dur adalah pemikir besar. Cara penyampaianya yang 'nyeleneh' kadang sering disalah artikan. Namun, seiring berjalan waktu, semenjak kepergian Gus Dur, orang-orang semakin percaya akan kesahihan pemikirannya. Justru banyak gurauan Gus Dur yang menjadi kenyataan. 

Hal ini memantik saya ingin menelaah lebih dalam, 'eksotis dan elegannya' Tionghoa di balik 'seksinya' pemikiran Gus Dur tersebut. 

Keberadaan masyarakat Tionghoa sudah lama terbentuk dan mengakar di Indonesia. Lamanya suku Tionghoa berada di Indonesia, peningkatan jumlah populasi, serta nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam kebudayaan dan tradisi Tionghoa, sudah cukup menjadi dasar yang kuat bahwa tradisi ini harus dipertahankan dan dilestarikan. 

Di Kota Padang sendiri, masyarakat Tionghoa menurut catatan antropolog Belanda Fredericius Colombijn, orang-orang Tionghoa masuk ke Sumatera Barat hampir bersamaan dengan datangnya bangsa Belanda tepatnya saat organisasi dagang Hindia Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad 17 atau sekitar tahun 1664. 

Kedatangan etnis Tionghoa pertama kali ke Ranah Minang diperkirakan masuk melalui pantai barat Sumatera. Seorang Indonesianis asal Inggris, Christine Dobbin saat melakukan penelitian terhadap kebudayaan Minangkabau menemukan para pedagang Tionghoa sudah menyandarkan kapalnya di Pariaman sejak awal abad-17. 

Berjalannya waktu, aktivitas perdagangan orang-orang Tionghoa ini kemudian berkembang ke Kota Padang beriringan dengan berkembangnya serikat dagang Belanda VOC.  Menurut penelitian Dosen Sejarah Universitas Negeri Padang, Dr. Erniwati, SS, M. Hum, serikat dagang ini memungkinkan Belanda menjalin hubungan perekonomian dan politik dengan pedagang Tionghoa. Hubungan dagang tersebut juga dijalin dengan penduduk Padang yang merupakan para pedagang dari daerah pedalaman. Kerja sama dagang ini meningkatkan jumlah etnis Tionghoa di Padang. Itu lah momentum membesarnya pemukiman Tionghoa di Kota Padang, hingga kini.

Tentunya, masyarakat Tionghoa tidak hanya 'urang panggaleh' (pedagang), seperti banyak kesan yang ditangkap 'urang awak' atas keberadaan mereka di Ranah Minang. Hebatnya Gus Dur, ia melihat kesatuan ini sebagai bagian unik yang menyatu dengan esensi karakter nusantara.

Salah satu nilai kuat dari masyarakat Tionghoa yaitu filsafat. Filsafat China adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari 3 filsafat dasar yang memengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia.

Filsafat Tiongkok kuno sangat dipengaruhi oleh tiga sumber filsafat besar yaitu Konghucu, Tao dan Buddha. Pada tataran sistem kemasyarakatan filsafat konfusianisme menjadi lebih aplikatif dibandingkan dengan dua lainnya namun secara komprehensif filsafat Tiongkok kuno tidak terlepas dari ketiganya, atau lebih dikenal dengan 'The Three Ancient Religions of Chinese'. 

Pilar utama dalam ajaran konfusianisme adalah moral dan tindakan. Hal ini menyiratkan bahwa kualitas seseorang dapat dilihat berdasarkan moral dan hal-hal yang diraihnya. Nilai-nilai filsafat konfusius menitikberatkan kepada moralitas, hormat dan pendidikan. 

Pemahaman terhadap nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalam tradisi akan menjadikan generasi Tionghoa sebagai pribadi yang unggul, berkarakter dan memiliki moralitas yang baik. Hal ini karena tradisi Tionghoa mengajarkan nilai-nilai yang universal tentang cinta kasih, semangat, kesusilaan dan lain sebagainya. 

Berangkat dari nilai-nilai moralitas yang selalu dijunjung tinggi masyarakat Tionghoa tersebut maka terdapat salah satu tradisi yang dapat menggambarkan secara kompleks akan nilai-nilai tersebut. Tradisi tersebut bernama Qing Ming atau dalam dialek hokkian  disebut Cheng Beng. 

Tradisi Cheng Beng secara sederhana merupakan fenomena sosial pada aktivitas etnis Tionghoa yang didasari oleh ajaran Khong Hu Cu, yaitu bakti dan menghormati orang tua dan leluhur. 

Masyarakat Tionghoa akan selalu berusaha mencukupi, melayani kebutuhan hidup orang tua mereka, baik ketika masih hidup maupun setelah mereka meninggal. Hubungan antara mereka yang masih hidup dengan yang meninggal adalah dengan melakukan sembahyang, mempersembahkan makanan pada altar saat peringatan hari meninggal, membersihkan kuburan dan mengirim doa. 

Makna tradisi Cheng Beng pada setiap masyarakat Tionghoa di berbagai daerah Indonesia pada dasarnya sama. Begitu pun orang Tionghoa di Kota Padang. Mereka memaknai tradisi Cheng Beng sebagai hari persembahan dan doa kepada leluhur, karena tanpa orang tua, tentunya yang masih hidup ini tidak mungkin bisa ada di dunia. Dengan melaksanakan tradisi ini, semua kerabat dekat, saudara, anak-anak, bisa berkumpul bersama, sehingga hubungan semakin erat terjalin dan juga menjalin komunikasi dan kekerabatan diantara sanak keluarga.

Masyarakat etnik Tionghoa di Kota Padang sendiri sudah melakukan tradisi ini sejak generasi pertama. Pemakaman leluhur orang Tionghoa dapat kita jumpai di Bukit Sentiong tepi Sungai Batang Harau. 

Dewasa ini tradisi Cheng Beng bagi kalangan Tionghoa mulai kehilangan makna. Salah satu Faktor penyebabnya yaitu permasalahan lahan. Pemakaman etnis Tionghoa awalnya terletak di Bukit Sentiong sudah diakui sejak tahun 1851 terpaksa harus dipindahkan.

Pada tahun 1989, pemakaman etnis Tionghoa ini dipindahkan ke Bungus Teluk Kubung. Pemindahan ini dikarenakan faktor lahan yang mengakibatkan keluarga mayat harus membayar retribusi kepada pemerintah. Berjalannya waktu, Cheng Beng tidak lagi menjadi ikon masyarakat etnik Tionghoa, hingga saat ini tradisi ini hanya dilakukan oleh kalangan tertentu. Keluarga Tionghoa banyak melakukan kremasi dibanding  melakukan prosesi pemakaman. 

Kendati demikian, nilai-nilai pembelajaran moral dari tradisi Cheng Beng harus ditanamakan dan di pertahankan kepada generasi penerus Tionghoa.  Terdapat empat internalisasi nilai-nilai moral yang dapat ditanamkan dalam upacara Cheng Beng. Empat nilai kemoralan (moral) dalam tradisi Cheng Beng yaitu sikap menghormat kepada leluhur/hierarki keluarga, penguatan komunitas keluarga, sikap rendah diri dan bederma (dana). 

Nilai dalam tradisi Cheng Beng yaitu mengetahui asal-muasal keluarga dan menunjukan sikap hormat. Dalam keluarga Tionghoa sikap hormat adalah segala-galanya. Sikap hormat yang paling tinggi adalah kepada leluhur. Tanpa leluhur tentu segalanya tidak akan pernah ada. Oleh karena itu tradisi Cheng Beng adalah salah satu tradisi penting yang ada pada masyarakat etnis Tionghoa karena Cheng Beng merupakan perayaan yang dilakukan untuk mengenang jasa-jasa para leluhur dan karena adanya kewajiban untuk ziarah makam leluhur. 

Etnis Tionghoa percaya dalam tradisi Cheng Beng, apabila mereka pergi beramai - ramai bersama sanak saudara menziarahi makam leluhur maka mereka akan mendapatkan keberuntungan dalam setiap usaha dan kegiatan yang dilakukan. Tidak hanya para leluhur saja yang diziarahi namun juga dapat berziarah ke kuburan keluarga dekat yang telah meninggal, seperti ayah, ibu, adik, kakak, maupun nenek atau kakek. 

Ketika perayaan Cheng Beng berlangsung, setiap makam keluarga dibersihkan dan diperbaiki agar tampak elok karena mereka percaya bahwa apabila makam seseorang terlihat indah, maka rumah leluhur mereka di langit juga akan terlihat indah, dalam artian makam di bumi mencerminkan tempat tinggal mereka di alam langit. 

Etnis Tionghoa yang merantau jauh dari kampung halaman akan berusaha untuk dapat pulang kampung pada saat perayaan Cheng Beng agar dapat melakukan sembahyang kepada para leluhur mereka. 

Nilai tradisi Cheng Beng lainya yaitu memberikan arti penting dalam penguatan komunitas keluarga sebagai sebuah kekuatan. Kekuatan yang ditunjukkan yaitu kepada keluarga besar. 

Tradisi Cheng Beng juga memiliki nilai memberi (berdana). Cheng Beng dapat menjadi salah satu media pembelajaran dan sarana untuk melatih berdana di waktu yang tepat. 

Dalam tradisi Cheng Beng terdapat berbagai macam tahapan dan usaha yang dilakukan oleh anggota keluarga di antaranya persiapan, pelaksanaan dan pasca Cheng Beng. Ketiga hal ini merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dalam satu rangkaian kegiatan Cheng Beng. Tahap persiapan meliputi segala hal yang berhubungan dengan aspek perlengkapan upacara baik sarana upacara maupun sesajen. Pelaksanaan merupakan hari utama dilaksanakannya upacara, dan setelah upacara adalah tahapan akhir dari proses Cheng Beng. 

Masyarakat Tionghoa melaksanakan upacara Cheng Beng selama 15 hari sebelum tanggal 5 April sebagai hari puncak perayaan tersebut. Menjelang puncak festival Cheng Beng tersebut masyarakat Tionghoa juga melakukan aktivitas unik lainnya untuk memeriahkan suasana. Seperti menerbangkan layang-layang dengan bentuk yang beraneka ragam, melukis telur dan mengukir kulit telur, melakukan permainan tarik tambang gadis istana, serta lomba perahu merebut piala (bola kain). Setiap tradisi tersebut yang dilakukan mempunyai maknanya masing-masing yang pada intinya kegiatan tersebut tidak lain dan tidak bukan guna mempererat persaudaraan antar suku Tionghoa. 

Pada permainan layang-layang, biasanya tidak hanya dimainkan pada pagi atau siang hari, namun uniknya layang-layang juga mainkan pada malam hari. Keunikan memainkan layang-layang pada malam hari dapat dilihat dari benang layangan dikaitkan ke lampion kecil warna-warni. Tradisi ini dipercaya sebagai pembawa keberuntungan dan penolak penyakit. 

Cheng Beng adalah sarana yang paling tepat untuk menanamkan nilai moral bagi masyarakat Tionghoa dalam membentuk sikap bakti khususnya untuk anak usia dini. Hal ini karena berdampak langsung, otentik dan empiris. Dengan melibatkan langsung anak usia dini dalam seremonial aktivitas Cheng Beng ini media edukasi ini sangat efektif untuk mengajarkan sikap bakti tanpa uraian teoretis namun bersifat model dan pengalaman langsung. 

Pada akhirnya, saya tergelitik. Saya yakin Gus Dur tidak pernah merayakan Cheng Beng. Namun, apa yang telah Gus Dur persembahkan untuk Tionghoa merupakan makna tersirat dari Cheng Beng itu sendiri. Gus Dur telah melakukan 'berdana' alias menyumbangkan tinta penanya lewat tanda tangan yang keindahannya saat ini dinikmati oleh seluruh masyarakat Tionghoa. 

Sesuailah kiranya dengan ungkapan dalam adat Minangkabau:

Pisau sirawik bari ba-ulu,

diasah baru ba-mato

Lawik sajo sajak daulu,

baru timbua pulau Paco 

 

Panakiek pisau sirawik,

ambiek galah batang lintabuang

salodang jadikan niru,

Nan satitiek jadikan lawik,

nan sakapa jadikan gunuang

Alam Takambang Jadi Guru


Tag :#minangsatu #chengbeng #tionghoa #opini

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com