HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Senin, 6 Maret 2023

Adakah Ungkapan Minangkabau Pada Zaman Milineal?

OPini Diah Noverita
OPini Diah Noverita

Adakah Ungkapan Minangkabau Pada Zaman Milineal?

Oleh: Dr. Diah Noverita, M.Hum*

 

Ungkapan Minangkabau adalah bentuk-bentuk kata-kata tertua dalam kesusasteraan daerah di Minangkabau. Ungkapan Minangkabau terdapat dalam tambo Minangkabau. Tambo Minangkabau adalah suatu karya sastra sejarah, suatu karya sastra yang menceritakan sejarah (asal-usul) suku bangsa, negeri dan adat Minangkabau. Karya sastra sejarah ini biasa disebut dengan historiografi tradisional, yaitu penulisan sejarah suatu negeri berdasarkan anggapan atau kepercayaan masyarakat setempat secara turun temurun (Djamaris, 2002: 151). Ungkapan Minangkabau sebagai tuturan metaforikal yang mengandung nilai moral dan filosofi yang sangat tinggi. Jika dituturkan sehari-hari lebih tinggi nilainya daripada tuturan biasa, karena mengandung nilai- nilai estetik. Ungkapan Minangkabau sebagai produk budaya masa lampau masih dipelihara dan dimanfaatkan oleh masyarakat Minangkabau meskipun dengan kadar kepedulian yang sudah jauh menurun. Ungkapan Minangkabau sebagai salah satu bentuk tindak tutur sudah jarang digunakan di masyarakat Minangkabau. Dari aspek kebahasaan ungkapan Minangkabau menjadi gambaran dari situasi kejiwaan dan keyakinan keagamaan serta sebuah kearifan masyarakat lokal. Semua aspek kehidupan orang Minangkabau termasuk pranata-pranata diatur melalui pesan secara lisan dalam bentuk ungkapan. Pesan-pesan moral yang berbentuk ungkapan diwariskan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan-pesan lisan itu berisi falsafah atau pandangan hidup, nasehat dan norma-norma kemanusiaan dalam masyarakat, seperti hubungan antar pribadi, alam dan sang pencipta, etika, hukum, keluarga, moral, harga diri, sistem kekuasaan, sosial budaya, gender, dan undang-undang adat.

Masyarakat tradisional Minangkabau masih memakai ungkapan dalam acara seremonial adat. Pemakaian ungkapan Minangkabau pada acara seremonial adat biasanya dilakukan pada waktu, tempat, dan acara adat tertentu. Misalnya pendirian rumah gadang ‘rumah besar’, maangkek datuak ‘pengangkatan datuk’, dan batagak gala adaik ‘bertegak gelar adat’. Ungkapan Minangkabau pada acara adat dituturkan oleh orang tua-tua atau tetua adat dan ninik mamak. Pada saat acara seremonial adat ungkapan Minangkabau dituturkan secara spontan dan langsung ditujukan kepada mitra tutur. Hal ini sangat berpengaruh terhadap mitra tutur sesama etnis Minangkabau. Pengaruh yang dimaksudkan ialah berupa efek psikologis dan rasa malu kalau mitra tutur tidak mampu memahami makna yang sesungguhnya. Artinya, secara adat seseorang itu bukanlah orang Minangkabau, kalau tidak memahami makna ungkapan yang diucapkan itu. Orang Minangkabau yang tidak mampu menyampaikan dan memahami sesuatu secara metaforikal dalam bentuk ungkapan, dapat dianggap sebagai orang Minangkabau yang tidak tahu adat, atau dalam bahasa Minangkabau biasa disebutkan dengan indak tau di nan ampek ‘tidak tahu dengan hal yang empat’. Julukan kepada seseorang dengan menyebutnya sebagai orang indak tau di nan ampek atau orang tidak beradat adalah suatu upaya untuk memberikan hukuman moral yang sangat berat kepada seseorang. Orang tersebut mempunyai strata paling bawah di masyarakat Minangkabau (Ilyas, 2003: 15).

Orang-orang Minangkabau yang mampu memahami kandungan yang tersirat dan tersurat melalui ungkapan Minangkabau, akan menemukan sejumlah prinsip dasar kehidupan yang padanannya hanya ditemukan dalam kebudayaan Yunani lama dan khasanah kebudayaan Islam. Pilihan kata-kata pada ungkapan Minangkabau menjadi pilar utama di dalam kehidupan orang Minangkabau. Kata-kata ungkapan dalam bahasa Minangkabau klasik seperti abeh, cewang, cupak, dabok, ereang, gabak, lameh, lakang, patuik, rando, uncang, sabak, tangkelek, lasuang, sanduak, cibuak, tampayan, koroang, singok, dan sebagainya. Cewang di langik tando ka paneh, gabak di ulu tando ka ujan ‘Terang di langit tanda akan panas, mendung di hulu tanda akan hujan. Ada juga ungkapan caliak ereang, ereang gendeang, Kata-kata ini mulai jarang dipakai dalam tuturan sehari-hari. Kata-kata ungkapan ini mengalami kesulitan memahami makna ataupun maksudnya. Pemakaian ungkapan Minangkabau mulai surut, seiring perubahan kondisi sosial budaya, karena didukung oleh kemajuan teknologi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perubahan gaya hidup menuju pada komersialisme. Kemajuan tersebut dapat mempengaruhi cara berpikir serta konsep hidup, sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat. Melemahnya tradisi kearifan lokal dan tata nilai agama dan sosial budaya terutama dikalangan generasi muda.

Secara kebahasaan perubahan yang sangat signifikan terlihat pada ketidaktahuan cara bertindak tutur yang sopan santun dan pilihan kata saat bertutur. Untuk situasi kebahasaan yang dihadapi oleh masyarakat Minangkabau sekarang ini, telah banyak terjadi perubahan-perubahan dalam cara bertutur sehari-hari. Banyak penutur bahasa Minangkabau yang hidup pada zaman sekarang lebih senang bertutur menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan dalam situasi informalpun mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dialek Betawi dan bahasa Indonesia dialek Cina, seperti berikut ini.

Penutur 1: Loe kama lai?                    ‘Kamu kemana lagi?’ 

Penutur 2:  Gua ka pulang lai             ‘Saya mau pulang saja’

Pada bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, bahasa Minangkabau terus berubah. Pengaruh bahasa Indonesia sudah menyebar jauh ke pelosok daerah di Sumatra Barat, dibawa oleh media audio visual seperti televisi dan radio, “membengkokkan” lidah generasi muda Minangkabau, yang mulai terbata-bata berkomunikasi dalam bahasa ibunya sendiri. Suka atau tidak suka, bahasa Indonesia, dan mungkin juga bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin, makin mempengaruhi masyarakat penutur bahasa Minangkabau (Suryadi, 2008). Pada dahulunya sewaktu acara pasambahan manjapuik marapulai ‘menjemput mempelai pria’, bisa memakan waktu berjam-jam, dimana kemampuan bersilat lidah benar-benar dipraktekkan, yang penuh dengan mamangan, pepatah, gurindam, pantun, dan idiom-idiom yang penuh metafora, tetapi sekarang masyarakat cenderung main praktis saja. Niat dan maksud disampaikan dalam pembicaraan pendek dalam kalimat-kalimat denotatif, lalu makan, kemudian pulang.

Bahasa Minangkabau memiliki keterbatasan dalam mengkodifikasikan pengetahuan modern. Oleh sebab itu makin lama pemakaian bahasa Minangkabau makin menyempit. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa bahasa Minangkabau tidak memiliki sistem ejaan orthography yang standar karena sejak semula lebih berciri lisan. Sejak 30 tahun terakhir, makin banyak kosakata, frase, idiom, dan petatah-petitih bahasa Minangkabau yang tidak terpakai lagi dan berangsur lenyap, yang merupakan bagian dari kekayaan bahasa Minangkabau. Kebanyakan generasi muda Minangkabau sekarang tidak mengerti lagi dengan bahasa kiasan yang telah arkhais itu, yang penuh dengan metafora, seperti ungkapan mangapik daun kunik ’mengapit daun kunyit’ atau mangapik kapalo harimau ’mengapit kepala harimau’ kepada anak muda sekarang. Mereka akan bingung dan tidak mengerti. Kita tidak dapat menyalahkan mereka, karena basis kultural bahasa Minangkabau ketika mereka hidup juga sudah berubah.

 Salah satu faktor ketidakmampuan penutur asli bahasa Minangkabau bertutur menggunakan ungkapan, karena mereka merasa malu bertutur apabila diselingi dengan ungkapan Minangkabau. Image berbahasa Indonesia dianggap lebih modern, maju, intelek, dan dapat meninggikan sedikit status sosial mereka  di dalam pergaulan sehari-hari. Penutur bahasa Minangkabau yang paham dan sering menggunakan ungkapan dalam berkomunikasi sehari-hari hanyalah segelintir orang saja, dan itupun orang-orang tua yang masih tinggal di desa atau di daerah-daerah yang belum tersentuh teknologi. Penutur asli bahasa Minangkabau yang menonjolkan rasa gengsi berbahasa Minangkabau banyak yang tidak mengetahui lagi kosa kata bahasa Minangkabau klasik yang ada di dalam ungkapan Minangkabau. Mereka hidup dalam rumah tangga yang telah memakai kompor gas dan peralatan dapur modern, dengan berbagai merek dagang dari berbagai kata yang bukan dari bahasa Minangkabau. Kalau mereka bertutur menggunakan bahasa Minangkabau yang ada ungkapannya, mereka takut dianggap kampungan, orang desa atau orang udik masuk kota dan juga takut dianggap ketinggalan zaman.

Akhirnya, hanya sedikit sekali penutur asli bahasa Minangkabau yang paham dan sekali-kali mau bertutur menggunakan ungkapan dalam bahasa Minangkabau.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unand


Tag :#Opini #Didaktika #Diah Noverita #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com