HOME OPINI OPINI

  • Senin, 24 Agustus 2015

SUSAHNYA JADI RAKYAT

asrinaldi
asrinaldi

Memang susah jadi rakyat kecil, apa-apa selalu dinomorduakan.  Bahkan aspirasi mereka, entah iya entah tidak, diperjuangkan oleh wakil-wakil mereka di lembaga legislatif.  Konon, wakil rakyat ini sangat yakin bahwa apa yang mereka suarakan dalam lembaga legislatif sudah sesuai dengan keinginan mayoritas publik.  Indikator mereka adalah sedikit sekali rakyat protes kepada mereka sehingga mereka percaya bahwa apa yang mereka kerjakan di lembaga legislatif tidak ada masalah dengan masyarakat.

Peristiwa menomorduakan rakyat, juga terjadi pada hari kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Minggu 23 Agustus.  Kedatangan beliau dalam rangka memperingati Satu Abad Yayasan Pendidikan Adabiah dan meninjau pabrik Semen Padang Indarung VI telah “merepotkan” rakyat.  Bagaimana tidak.  Semua akses jalan yang dilalui wakil presiden ditutup untuk disterilkan.  Bahkan gladi resik untuk menyambut kedatangan wakil presiden ini sudah membuat masyarakat Sumatera Barat repot melaksanakan aktivitasnya.  Padahal tidak sedikit dari mereka yang melakukan kegiatan untuk memenuhi ekonomi keluarga mereka yang memang semakin sulit.

Fenomena menutup jalan yang dilalui oleh pejabat tinggi negara setingkat presiden dan wakil presiden memang sering terjadi di republik ini.  Alasan protokoler kepresidenan memang tidak terbantahkan sebagai alasan utamanya.  Apalagi sterilasi semua akses jalan ini dilakukan untuk alasan keamanan.  Akan tetapi, alasan protokoler ini sebenarnya dapat disederhanakan karena yang membuat juga manusia.  Masa iya, mau berkunjung ke masyarakat saja mesti dikawal super ketat dan bahkan mencurigai rakyat sebagai ancaman bagi wakil presiden.  Padahal Indonesia dalam keadaan aman dan damai dan bukan dalam keadaan gawat yang disertai konflik seperti yang terjadi di negara luar.

Ketatnya pengawalan terhadap wakil presiden sehingga merepotkan masyarakat untuk beraktivitas tentu tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang ingin dekat dengan pemimpinnya.  Ikatan emosional yang mestinya dibangun di antara masyarakat dan pemimpinnya justru dibatasi oleh aturan protokoler yang kalau dipikir terlalu mengada-ada dan mengikut acuan negara fasis.  Kalau negara-negara fasis pada masa lalu menerapkan protokoler yang ketat ini wajar, karena kebijakan negara mereka seringkali menzalami rakyatnya sendiri sehingga mendatangkan ketidaksenangan dan bahkan menjadi musuh.  Kekhawatiran terhadap balasan dari musuh inilah yang membuat mereka menjadi lebih hati-hati dan bersikap waspada.  Namun, tidak demikian dengan Indonesia.  Kecuali pemimpin kita memang merasa telah membuat kebijakan yang mendatangkan ketidaksenangan dengan masyarakatnya.  Khusus untuk Sumatera Barat yang masyarakatnya cenderung rasional dalam berpikir dan bertindak tentu tidak semudah itu mau mengancam pejabat setingkat presiden dan wakil presiden.  Kalaupun ada ancaman dari orang luar yang menyusup dalam aktivitas kunjungan pejabat negara ini, mestinya sudah dapat dibaca oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan mencegahnya.

Ada semacam kekhawatiran bahwa pengamanan yang berlebihan seperti ini adalah bukti tidak percayanya pemimpin dengan rakyatnya.  Bahkan, pengamanan yang super ketat ini sebenarnya adalah bukti lemahnya cara antisipasi terhadap ancaman yang datang pada pejabat negara setingkat presiden dan wakil presiden.  Ke depan, tentu kita berharap bahwa kunjungan presiden dan wakil presiden, jika memang datang ke daerah dengan satu niat untuk mengunjungi rakyatnya.  Kunjungan ini tentunya tidak perlu dibarengi dengan kecurigaan kepada masyarakat sehingga harus menjarakkan diri dengan alasan protokoler kenegaraan dan keamanan.

Jika diperhatikan, banyak teladan yang sebenarnya dapat dilihat dari kepala pemerintahan yang beraktivitas tanpa pengawalan dan mengundang simpati rakyatnya.  Misalnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron yang rela naik kereta api sambil berdiri untuk pergi ke kantornya.  Bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengisi BBM kendaraannya karena dikemudikannya sendiri.  Bahkan Presiden Obama mengantar puterinya berbelanja di sebuah swalayan tanpa sungkan bertemu dengan rakyatnya.  Indonesia sebenarnya sudah ada Presiden Jokowi yang juga antri naik pesawat dan meninggalkan pesawat kepresidenan untuk urusan pribadinya di kampung halaman.  Inilah yang sebenarnya dirindukan rakyat kebanyakan, bukan pemimpin yang selalu diminta dinomorkansatukan ketika kekuasaan ada ditangannya.


Tag :#pulgub

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com