HOME OPINI OPINI

  • Senin, 31 Desember 2018

Pesta Yang Tidak Gembira

Gamawan Fauzi
Gamawan Fauzi

Ini tahun Politik. Katanya masa masa pesta demokrasi digelar. Namanya pesta selalu dikonotasikan dengan kegembiraan, orang Minang menyebutnya dengan "alek". 
Setahu saya tak ada pesta air mata. Pesta duka, pesta meratap atau sejenisnya. Yang namanya pesta selalu menjadi ajang kegembiraan. Senyum merekah dimana mana. Baju terbaik dipamerkan. Wajah sumringah menghias gelanggang perhelatan. Semua tampak berbinar binar dan berseri. Senang hati mendatangi.
Tapi hampir tiga bulan pesta ini digelar, kok yang muncul adalah caci maki dan saling berasah taji ?
Aku dan jutaan warga lainnya yang tak ikut jadi mempelai pesta itu, mulai bertanya dalam hati. Ini pesta atau perang troya? Ini helat atau bersilat? Ini sebuah harapan baru atau mau beradu kubu?
Diam-diam kubuka lembaran koran. Kusimak televisi atau media sosial. Tak ku jumpa kita mau kemana dibawa oleh mempelai sesudah pesta usai? 
Yang dominan adalah saling menyalahkan. Saling mencaci dan mengancam. Yang satu akan melaporkan yang lain. Atau saling membuka aib. Membuka kekotoran masa lalu. Bahkan mengumbar kata-kata yang semestinya tak terdengar dalam suatu pesta yang riang. 
Karena pesta tak dirancang untuk bercarut-carut. Pesta lazimnya bersalaman, cipika-cipiki, atau tempat reunian karena sudah lama tak jumpa. Sangat mengesankan. 
Bukan melawan bohong dengan bohong. Menyalahkan dengan cara salah. Menghentikan carut dengan bercarut. Meluruskan dengan cara bengkok. Atau menyalahkan dengan cara salah. 
Semuanya takkan merubah apa-apa. Apalagi apa-apa itu akan menjadi-jadi.
Tapi itu kerap terjadi dalam helat demokrasi pilpres, pilgub, pilbup, atau pilwako. Mungkin karena ujungnya adalah kalah dan menang?
Beda dengan pemilihan senator atau legislatif yang tidak head to head, atau kalah menang. Yang ada adalah terpilih dan tak terpilih. Bukan berhadap hadapan di antara keduanya. Mungkin karena itu pula tak ada caci-maki antara calon yang satu dengan calon lain. 
Masing masing hanya menghidupkan lampunya saja, jarang mematikan lampu colon yang lain. Paling-paling memuji diri sendiri di almanak, baliho, spanduk atau apapun yang bisa dibaca orang. Kalau boleh dinding pun akan diukir dengan foto calon, penuh aneka tulisan yang dianggap bisa menarik calon pemilih.
Nah...yang ini bisalah kita serasa berpesta. Foto calon dipilih yang paling bagus, dengan baju paling bagus. Orang studio photo panen raya, advertising merasa gembira, biro iklan senang sentosa, karena nambah orderannya. 
Tak jarang, kita yang membaca juga terhibur dengan pesannya yang lebay, atau status calon itu yang tulalit. Beragam jargon pun muncul. 
Aku suka mengejanya. Di bawah foto paling bagus itu kadang ditulis; "Muda, Jujur dan Cerdas",  ada lagi "sudah terbukti, teruji dan peduli ", ada juga "santun, ramah dan pintar", pokoknya menariklah iklannya.
Bahkan teman saya mengusulkan kepada seorang calon yang isterinya cantik. Bagusnya foto isterinya saja yang di pasang, lalu tulis dibawahnya... "suami ibuk ini benar yang jadi calon legislatif nomor sekian dari partai anu". Aku terpingkal-pingkal. Naaaah. Ini baru pesta namanya.
Kalau begitu haruskah kita pisahkan istilah bahwa pesta demokrasi hanya untuk memilih senator/DPD RI dan legislatif saja? 
Sedangkan untuk Pilpres kita pikir pikirlah istilahnya yang tepat. Sebelum bulan April 2019 datang, masih ada waktu.
Jkt; 31/12/2018


Tag :kolomGF

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com