HOME OPINI TAJUK

  • Senin, 17 Februari 2020

Hidup Berdampingan Dengan Bencana

Hidup berdampingan dengan bencana (ilustrasi.net)
Hidup berdampingan dengan bencana (ilustrasi.net)

Tajuk Minangsatu
 

HIDUP BERDAMPINGAN DENGAN BENCANA

Ranah Minang memang etalase bencana. Semua jenis potensi bencana, lengkap di sini. 

Tercatat, selama tahun 2019 Sumatera Barat (Sumbar) diterjang 746 Bencana, 10 orang tewas. Hampir seluruh wilayah Sumbar diterjang bencana alam. Banjir, tanah longsor dan banjir bandang melanda hampir 19 kabupaten dan kota. Hasil rekapitulasi BPBD Sumbar, 746 kejadian itu terbagi ke dalam 16 jenis bencana alam.

Memasuki tahun 2020, bencana bukannya mereda. Ancaman banjir, longsor, gempa dan tsunami, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tetap mengancam. Bencana tetap datang silih berganti. Banjir dan tanah longsor menjadi langganan kabupaten/kota di Ranah Minang.

Seperti disapa tulah, belum habis dua bulan, menurut catatan Minangsatu, sudah terjadi banjir dan tanah longsor di Dharmasraya, Sijunjung, Pesisir Selatan, Pasaman, Agam, Kabupaten Solok, serta daerah lainnya. Ada rumah yang dihondoh longsor lantaran tergerus banjir. Ada jalan yang putus. Kornan nyawa dan materil pun tak bisa dihindari.

Menghadapi itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno (IP) telah mengeluarkan Surat Instruksi ke Bupati dan Wali Kota di daerah ini. 

Pada Surat Edaran tanggal 10 Januari 2020 itu, Gubernur IP mengingatkan bahwa berdasarkan informasi dari BMKG dan Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana (PVMB), serta Kementerian ESDM, Ranah Minang berpotensi mengalami banjir, tanah longsor, gempa, tsunami, abrasi dan karhutla.

Dalam surat itu, Gubernur IP meminta bupati dan wali kota melakukan inventarisasi, pemetaan daerah rawan bencana dan mensosialisasikan kepada masyarakat melalui mitigasi dan pencegahan.

Bupati dan wali kota juga diminta menyiapkan sumber daya berupa peralatan penanganan bencana, petugas kebencanaan, masyarakat dan dunia usaha, serta melakukan koordinasi teratur bersama BPBD, TNI, Polri serta relawan bencana.

Tidak itu saja, bupati dan wali kota juga diminta untuk melakukan mitigasi bencana struktural dan non-struktural guna mengurangi resiko bencana. Bahkan kabupaten/kota juga diinstruksikan menyiapkan anggaran penanganan bencana alam, baik mitigasi maupun penanganan saat kejadian (tanggap darurat) dan rehab rekon. 

Instruksi gubernur sudah. Kesiapan peralatan dan petugas serta relawan juga sudah. Bahkan sejumlah Kapolres atas instruksi presiden juga telah menginisiasi melakukan koordinasi di wilayah masing-masing untuk memastikan kesiapsiagaan menghadapi bencana dalam bentuk Gelar Pasukan. Tapi tetap saja kita rentan tatkala bencana tiba. 

Apakah lagi yang kurang?

Minangsatu melihat, kealpaan paling substansial adalah belum siapnya masyarakat menghadapi bencana. Kita tidak pernah berupaya untuk "hidup berdampingan dengan bencana"!

Sebagai etalase bencana, kita harus memasyarakatkan mitigasi ke seantero pelosok daerah ini. 

Terkait itu, Minangsatu menyarankan, sebagai berikut. Pertama, gubernur hendaknya memimpin pemasyarakatan mitigasi ini untuk mengkoordinasikan dan menyosialisasikan "hidup berdampingan dengan bencana". Antara lain dengan membuat program bersama untuk mengkampanyekan mitigasi ini secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Instruksi, edaran, dan pamflet-pamflet juga mangkus untuk mengimbau masyarakat agar selalu siap siaga memitigasi diri dan keluarganya manakala terjadi bencana. 

Cara-cara terkini untuk berkampanye, seperti memaksimalkan media sosial (medsos) lintas platform patut dicoba. Rangkul kaum milenial untuk mengkreasi kampanye mitigasi di Facebook, Instagram, Tweter dan Youtube. 

Media pers (medpers) juga harus dirangkul. Secara regulasi, keberadaan medpers atas karya jurnalistiknya tentu sudah melalui proses verifikasi dan validasi sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Karena itu produk jurnalistik dapat dipercayai dan terhindar dari berita bohong alias hoaks. Kepada medpers dapat diminta tanggungjawab moral untuk ikut serta mengkampanyekan mitigasi secara massif dalam pemberitaan-pemberitaan mereka. 

Kedua, untuk memayungi kiprah para pihak dalam hal mitigasi, tanggap darurat dan rehab rekon, perlu dibuat regulasi sebagai turunan dari Undang-Undang-Undang (UU) 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Aturan ini perlu untuk melindungi para pihak (pemerintah, dunia usaha, relawan dan masyarakat) melakukan tindakan dalam hal mitigasi, tanggap darurat dan rehab rekon, sehingga tidak berurusan pula dengan aparat hukum pasca tindakan dilakukan. 

Terutama untuk tanggap darurat, perlu payung hukum agar bisa lebih membuka ruang keleluasaan untuk melakukan transaksi yang berkaitan dengan penggunaan uang negara. Standar Operasional Prosedur (SOP) menjadi sangat penting untuk memayungi para pihak melakukan perannya, khususnya saat tanggap darurat. 

Ketiga, perkuatan koordinasi dan sinergi lintas pihak perlu dilakukan. Presiden Jokowi saat Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2020 di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Selasa (4/2), sudah memerintahkan seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah untuk bersinergi melakukan pencegahan, mitigasi, dan meningkatkan kesiagaan dalam menanggulangi bencana. 

Presiden Joko Widodo juga memerintahkan para kepala daerah untuk segera menyusun rencana kontingensi agar tata laksana pascabencana dapat berjalan dengan baik. Dia minta unsur pentahelix, yakni pemerintah, dunia usaha, akademisi atau pakar, masyarakat, dan media massa untuk berkolaborasi dalam melakukan pencegahan, pengelolaan lingkungan, rekonstruksi, hingga rehabilitasi dampak bencana di Indonesia.

Bahkan Presiden juga mengingatkan agar TNI dan Polri untuk selalu siap siaga dan turun ke lapangan serta bersinergi dengan pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung kegiatan penanggulangan bencana. 

Tindak lanjut dari pernyataan presiden berkenaan dengan koordinasi dan sinergi ini adalah pelembagaan secara kongkrit. Ini pun kita tunggu hingga ada lembaga lintas pihak sebagai presidium penanganan bencana dari tingkat nagari hingga provinsi. 

Akhirnya, Minangsatu berpendapat, kita memang tidak bisa melawan takdir kapan bencana itu tiba? Tetapi kita dianjurkan berikhtiar demi kemaslahatan hidup. Membiasakan diri hidup berdampingan dengan bencana, adalah ikhtiar dan sebuah keniscayaan yang perlu dibiasakan. Mari kita mulai.


Tag :#hidupberdampingandenganbencana #tajukminangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com