HOME OPINI OPINI

  • Kamis, 31 Agustus 2023

GEMPA BUMI DAPAT DIPREDIKSI DENGAN GPS?

Galang Putra Refindo, S.Si
Galang Putra Refindo, S.Si

Oleh : Galang Putra Refindo, S.Si

Indonesia kerap kali diterpa musibah gempa bumi yang menimbulkan berbagai macam kerugian, seperti merusak banyak bangunan dan jatuhnya korban jiwa. Berdasarkan data katalog USGS, lebih dari 150 gempa dengan skala magnitudo 7,0 atau lebih yang sudah terjadi di Indonesia sejak tahun 1900 hingga sekarang.

Salah satu gempa besar yang terjadi yaitu gempa tektonik di Sumatera Barat dengan kekuatan 7,6 Skala Richter yang terjadi pada tanggal 30 September 2009. Dikutip dari halaman sumbarprov.go.id, gempa ini menyebabkan sedikitnya 1100 orang meninggal, 2180 orang luka-luka dan 2650 bangunan rusak berat/ringan.

Selain dampak langsung berupa kerusakan bangunan dan jatuhnya korban jiwa, gempa bumi juga dapat menyebabkan beberapa bencana lain yang mengikutinya, seperti tsunami, tanah longsor, pasokan air bersih terganggu, kelaparan, serta terputusnya jalur listrik, transportasi, dan komunikasi.

Terjadinya gempa bumi pada dasarnya tidak dapat dihindari, namun resiko yang dihasilkan bisa diminimalisir dengan langkah-langkah mitigasi bencana. Teknologi mitigasi bencana gempa bumi yang paling dibutuhkan saat ini adalah teknologi untuk dapat memprediksi terjadinya suatu gempa bumi.

Menurut artikel dari BMKG, “Gempabumi Tektonik Bisa Diprediksi?”, belum ada teknologi yang secara pasti dapat memprediksi kapan, dimana, dan berapa besar suatu gempa tektonik yang akan terjadi. Meskipun begitu, para ahli saat ini masih mencari cara agar prediksi gempa dapat dilakukan.

Salah satu metode yang dapat digunakan oleh para ahli geodesi untuk memprediksi gempa adalah dengan memantau pergerakan tanah dengan GPS (Global Positioning System). Menurut Zhao,dkk (2021) dalam jurnal “Advances of satellite Remote Sensing Technology of Earthquake Prediction”, teknologi GPS dapat dikembangkan sebagai teknologi prediksi gempa. Hal ini karena kemampuan GPS yang dapat digunakan untuk memantau pergerakan tanah hingga skala milimeter.

Cara Kerja GPS

GPS bekerja dengan menggunakan satelit-satelit GPS yang mengorbit bumi dan perangkat pemancar sinyal GPS, seperti GPS portable, smartphone dan stasiun GPS. GPS dapat memperkirakan posisi secara real-time atau langsung, baik untuk pemancar tidak bergerak maupun bergerak. 

Sinyal GPS berupa kumpulan kode yang dipancarkan oleh pemancar sinyal dan diterima oleh satelit yang kemudian dipancarkan kembali ke sistem informasi pemecah kode untuk mendapatkan informasi lokasi dengan cepat dan tepat. Perkiraan posisi dilakukan secara matematis dengan memanfaatkan perbedaan jarak dan waktu tempuh sinyal dari satelit-satelit GPS.

Mekanisme Gempa Tektonik

Gempa tektonik merupakan gempa bumi yang disebabkan oleh pergerakan lempeng bumi yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini dapat berupa gerakan menghujam, saling menjauh, atau saling bergeser antar lempeng.

Gerakan tersebut menurut teori terjadi karena kerak bumi, yang “mengapung” di atas lapisan mantel bumi, terus bergerak akibat gerakan konveksi magma pada lapisan mantel bumi.

Gerakan interaksi antar lempeng akan menghasilkan gesekan yang mengakibatkan akumulasi energi pada permukaan yang bergesek atau disebut sebagai zona tegangan.

Akumulasi energi ini ketika sudah mentok atau tidak dapat ditahan lagi oleh batuan maka akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang menjalar hingga permukaan bumi, yang disebut sebagai gempa bumi tektonik.

Dra. Dwi Pujiastuti, M.Si, Dosen Fisika Universitas Andalas, menyampaikan bahwa secara umum gempa tektonik memiliki tiga fase berdasarkan siklus pergerakannya, yaitu sebelum terjadinya gempa (praseismik), saat terjadinya gempa (koseimik), dan sesudah terjadinya gempa (pascaseismik). Fase praseismik merupakan fase saat gerakan tanah yang sebelumnya bergerak stabil kemudian melambat sebagai respon terjadinya akumulasi energi pada zona tegangan. Akumulasi ini ketika sudah mentok maka akan menyebabkan rekahan atau patahan batuan dan energinya dilepaskan dalam bentuk gempa bumi tektonik yang terjadi pada fase koseismik. Pada fase pascaseimik, pergerakan tanah akan perlahan stabil kembali setelah melepaskan sisa-sisa energi gempa dalam bentuk gempa-gempa kecil susulan.

Metode Prediksi Gempa Dengan GPS

Prediksi Gempa dapat dilakukan dengan memperkirakan kapan terjadinya fase praseimik dan perkiraan waktu pelepasan gempa dengan memantau prekursor berupa anomali pergerakan tanah. Pemantauan pergerakan tanah ini dapat dilakukan dengan teknologi GPS dengan menggunakan stasiun GPS yang dipasang di beberapa tempat.

Stasiun GPS digunakan oleh para ahli untuk meneliti pergerakan tanah karena kemampuan akuarasinya hingga orde milimeter dan dapat diatur agar cukup aman dari gangguan manusia dan alam. Adapun stasiun-stasiun GPS yang ada di Indonesia misalnya dari SuGAr (Sumatran GPS Array) dan InaCORS (Continously Operating Reference Station).

Perkiraan adanya praseismik dilakukan dengan mengukur besar dan arah deformasi harian hasil olahan data GPS. Proses untuk mendapatkan besar dan arah deformasi yaitu menggunakan data orbit harian satelit dan rekaman kode sinyal dari pemancar, serta berbagai data pendukung geospasial yang kemudian diolah dan dihitung secara komputasi.

Kecepatan pergerakan tanah yang melambat dari normalnya secara bertahap di sekitar perbatasan lempeng dapat diduga sebagai prekursor dari praseismik, dimana hal tersebut diasumsikan sebagai pertanda terjadinya akumulasi energi sebelum dilepaskan menjadi gempa.

Kendala yang Ada Saat Ini

Setidaknya ada tiga kendala utama yang menyebabkan saat ini prediksi gempa dengan GPS belum dapat dilakukan.

Kendala yang pertama adalah waktu yang dibutuhkan. Pengumpulan dan pengolahan data-data untuk mendapatkan pergerakan harian saat ini belum cukup cepat, sehingga biasanya perhitungan praseismik justru ketika aftershock atau setelah terjadinya gempa. Hal ini karena kompleksnya data-data yang diperlukan untuk mendapatkan nilai posisi harian stasiun GPS secara akurat.

Kendala yang kedua adalah persebaran stasiun GPS yang belum cukup banyak dan merata di sekitar area rawan gempa. Hal ini menyebabkan pergerakan tanah banyak yang tidak terdeteksi. Kurangnya persebaran stasiun GPS ini dipengaruhi oleh biaya instalasi dan perawatan yang mahal.

Kendala yang ketiga adalah dengan memperkirakan praseismik, belum tentu dapat memperkirakan secara pasti kapan terjadinya gempa dan bagaimana energi gempa tersebut dilepaskan. Belum ada persamaan matematis dan algoritma khusus yang bisa digunakan untuk dapat memprediksi waktu, lokasi, dan besar kekuatan gempa bumi akan terjadi secara pasti. Artinya hasil yang didapatkan sifatnya masih bernilai kemungkinan atau probabilitas.

Akumulasi energi pada rekahan dapat dilepaskan secara perlahan melalui gempa-gempa kecil yang tidak berbahaya dan bisa pula secara sekaligus dalam bentuk gempa besar yang berbahaya. Hal ini cukup dilema karena gempa-gempa kecil yang kemungkinannya lebih sering terjadi daripada gempa dengan skala besar tentu tidak memerlukan langkah-langkah mitigasi yang berarti untuk masyarakat.

Dengan adanya kendala-kendala tersebut, bukan berarti prediksi gempa tidak mungkin dilakukan. Penelitian tentang prediksi gempa saat ini tetap berlanjut, sejalan dengan perkembangan teknologi yang ada. Teknologi GPS bisa dikembangkan ataupun dikombinasikan dengan teori dan teknologi yang lain sehingga di masa depan prediksi gempa bumi dapat dilakukan.

Penulis berharap teknologi prediksi gempa ini dapat segera terwujud di masa depan sebagai peringatan dini sebelum terjadinya gempa bumi. Peringatan dini ini tentunya berguna untuk meminimalisir dampak gempa bumi terhadap masyarakat, terutama untuk wilayah rawan bencana gempa bumi seperti Indonesia.

 


Tag :#Opini #Gempa

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com