HOME NASIONAL NASIONAL

  • Senin, 19 Agustus 2019

Fachrul Razi: Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh Perlu Komitmen Pemerintah Pusat

Fachrul Rozi (kanan)
Fachrul Rozi (kanan)

Jakarta (Minangsatu) - Komitmen pemerintah pusat terhadap proses perdamaian di Aceh masih lemah. Hal ini membuat keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh tidak bisa bekerja maksimal sebagaimana harapan yang tertuang dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005.

Demikian disampaikan anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI H Fachrul Razi mengatakan, kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/8).

“Perlu saya sampaikan KKR merupakan lembaga yang diharapan masyarakat untuk bisa mengungkap berbagai kebenaran dan rekonsiliasi yang terjadi di masa lalu dan di masa saat ini, terhadap kekerasan dan berbagai tindakan-tindakan yang melanggar hukum pada masa lalu,” kata Fachrul Razi.

Disebutkan, kehadiran KKR Aceh sangat penting terutama bagi masyarakat yang menjadi korban konflik Aceh di masa lalu. Harapan mereka begitu besar bagaimana KKR Aceh bisa menhungkap berbagai peristiwa pelanggaran hukum di masa lalu.

“Sebagai Senator Aceh, saya berkesimpulan, bahwa hak-hak sipil dan hak hak sosial serta hak ekonomi masyarakat korban konflik yang ada di Aceh, masih belum dirasakan dan masih belum diimplementasikan oleh pemerintah pusat, dan masih belum terealisasi sebagaimana perjanjian yang sudah disepakati dalam MoU Helsinki,” kata Fachrul.

Belum lagi pemerintah Aceh sendiri, dikatakan Fachrul masih setengah hati dalam mengembangkan KKR Aceh. Pada hal lembaga ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan dari masyarakat korban konflik.

Itu lah sebabnya, Fachrul sejak awal memberikan dukungan penuh pada KKR Aceh untuk terus melakukan upaya upaya pemulihan hak-hak korban. Kemudian, KKR Aceh akan menjadi pilot project atau bisa menjadi sebuah referensi lahirnya KKR Nasional.

Pada kesempatan itu, Fachrul mengungkungkapkan permasalahan implementasi MoU Helsinki yang belum selesai. Dari temuannya, ada 11 pasal yang bertentangan dengan MuU Helsinki dalam UU Pemerintahan Aceh dan 16 pasal yang belum direalisasikan, sehingga perdamaian Aceh hari ini masih mengalami proses yang sangat lambat dan kurang sesuai dengan harapan yang diinginkan berdasarkan perjanjian MoU Helsinki.

Salah satu kesepakatan MoU Helsinki itu adalah lahirnya lembaga Komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) Aceh.

“Tetapi secara finansial anggaran lembaga KKR juga kami anggap sangat tidak repersentatif dan kedua lembaga ini juga memiliki kewenangan yang besar di dalam proses rekonsiliasai dan pengungkapan kebenaran, namun dalam kewenangan yang di berikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya Aceh kita melihat masih terjadi ketidak seriusan, sehingga kewenangan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya,” ungkap Fachrul.

Pernyataan Sikap Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh
Pesan 14 Tahun Perdamaian Aceh;
Pemenuhan Hak Korban Adalah Agenda Utama Perdamaian

    Hari in 15 Agustus 2019, usia perdamaian Aceh telah memasuki angka 14 (empat belas) tahun. Banyak sudah perubahan terjadi di Aceh pasca konflik. Situasi kelam di masa lampau kini sudah kembali pulih dan kondusif, salah satunya masyarakat dapat melakukan aktivitas tanpa rasa takut dan pembangunan juga terus ditingkatkan.
        Salah satu amanat dari MoU (Nota Kesepahaman/Perjanjian Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 adalah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Saat ini KKR Aceh telah terbentuk melalui Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 yang didirikan dengan tujuan melakukan pengungkapan kebenaran untuk memperkuat perdamaian, memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi berbasis kearifan lokal Aceh dan merekomendasikan pemenuhan hak atas reparasi (pemulihan) hak korban kepada Pemerintah dan Pemerintah Aceh.
    Komisioner KKR Aceh dilantik pada Oktober 2016, efektif bekerja sejak Juli 2017 dan saat ini KKR Aceh telah melakukan kegiatan pengambilan pernyataan dari para saksi dan korban pelanggaran HAM di 12 wilayah kabupaten/kota di Provinsi Aceh sebanyak 3040 (tiga ribu empat puluh) pernyataan dari tahun 2017- juli 2019 sebagai upaya awal dalam melakukan pengungkapan kebenaran. Selain pengambilan pernyataan KKR Aceh telah melakukan Rapat Dengar Kesaksian (RDK) dengan menghadirkan para penyintas dari berbagai wilayah untuk didengar kesaksiannya seputar peristiwa yang telah dialami, dampak bagi korban dan keluarganya serta harapan. RDK telah dilakukan sebanyak dua kali pada November 2018 di Pendopo Gubernur Aceh, Kota Banda Aceh dan Juli 2019 bertempat di Gedung DPRK Aceh Utara – Lhokseumawe.
 

  KKR Aceh juga telah memberikan rekomendasi atas pemenuhan reparasi (pemulihan) korban yang mendesak kepada Pemerintah Aceh dan Badan Reintegrasi Aceh sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh) korban yang prosesnya saat ini masih menunggu tindaklanjut dari Pemerintah Aceh. Prinsip kerja KKR Aceh dalam melakukan pengungkapan kebenaran adalah berdasar pada sifat kesukarelaan semua pihak untuk memberikan pernyataannya melalui KKR Aceh.
    Sementara itu, upaya untuk melakukan rekonsiliasi korban dengan pelaku yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM sedang dalam proses merumuskan konsep yang komprehensif untuk mencari kearifan lokal yang relevan dalam rangka melakukan rekonsiliasi. Dalam regulasi internal KKR Aceh, rekonsiliasi ini nantinya akan diselenggarakan dengan berbasis pada kearifan lokal Aceh.

    Maka dalam rangka merefleksikan 14 tahun perdamaian Aceh, KKR Aceh merekomendasikan beberapa hal, sebagai berikut :
Presiden Republik Indonesia perlu segera memperkuat kelembagaan KKR Aceh melalui Peraturan Presiden (Perpres) agar KKR dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal di sisa periode 2016 – 2021;

Pemerintah Aceh, DPR Aceh dan Pemerintah Pusat diharapkan meningkatkan dukungan penuh kepada KKR Aceh untuk menjalankan mandat pengungkapan kebenaran. Selama ini sudah terjalin komunikasi yang baik antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat melalui Dirjen HAM, Kantor Staf Presiden, Kementerian Dalam Negeri dan Kemenko-polhukam;

Pemerintah Aceh diharapkan segera menjalankan atau merealisasikan reparasi atau pemulihan yang mendesak sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh KKR Aceh. Dalam dokumen rekomendasi tersebut berikut identitas lengkap korban, peristiwa yang dialami, dampak yang diderita hingga kini;
Pemerintah Aceh dan DPR Aceh ke depan diharapkan menggunakan perspektif penyusunan legislasi dan anggaran berbasis kebutuhan korban pelanggaran HAM sebagaimana rekomendasi yang telah disampaikan oleh KKR Aceh. Hal ini penting, mengingat masih banyak korban yang belum memperoleh pemenuhan hak atas pemulihan


Wartawan : Humas DPD RI
Editor : boing

Tag :#DPD #Aceh

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com