HOME OPINI OPINI

  • Minggu, 3 Februari 2019

EUFORIA POLITISI MUDA 

AG Sutan Mantari
AG Sutan Mantari

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, hingar-bingar politisi muda atau dengan nama keren "politisi millenial" lagi menemukan euforianya untuk tahun politik 2019 ini. Partai politik sudah menyadari bahwa mereka butuh amunisi untuk menggaet suara mayoritas DPT yang diisi oleh anak-anak muda dengan salah satu caranya adalah merekrut anak-anak muda berprestasi untuk kemudian dicalonkan sebagai anggota legislatif dan menjadikan mereka sebagai juru bicara partai. 

Beberapa partai yang cukup sukses merayu kaum millineal untuk bergabung adalah PAN dan PSI. Jika dulu PAN melakukan strategi pencalegan artis untuk merebut suara, sekarang mereka melakukan sebuah transformasi yang cukup unik yaitu membuka kran lebar-lebar buat para mantan ketua-ketua BEM universitas-universitas terkenal. Faldo Maldini yang merupakan mantan Presiden BEM Universitas Indonesia menjadi rekrutmen terbaik PAN sejauh ini. 

PSI sebagai partai baru cukup sukses dengan "branding" "Partai Anak Muda". Banyak kaum millenial yang kemudian mencoba peruntungan lewat PSI termasuk juga mantan pengurus pusat Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah Raja Juli Antoni, Tsamara Amany mahasiswi sensasional Universitas Paramadina yang mengawali kepopulerannya dengan debat-debat di sosmed terutama dengan para politisi senayan seperti Fahri Hamzah, dan Rian Ernest Tanudjaja alumni Hukum UI yang pernah menjadi Guru Muda Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan.

Namun di sisi lain, juga hadir para politisi muda yang miskin pengalaman organisasi sewaktu menjadi mahasiswa. Prestasi akademik pun juga tidak menonjol. Bahkan untuk pencalegannya pun mereka mengandalkan dana dari kantong orang tuanya sendiri. 

Pertanyaan besarnya kemudian, apakah para politisi muda yang masih mentah dan miskin pengalaman politik praktis itu bisa sukses menggaet suara kaum-nya, dan jika terpilih nanti mereka bisa bersuara garang di parlemen dan mampu menjalankan tugas-tugas sebagai wakil rakyat.

Berbagai keraguan masih menyelimuti tentang kiprah para politisi muda itu jika terpilih sebagai anggota legislatif. Apakah mereka mampu untuk bertarung dalam ide-ide kebangsaan dan ide-ide teknis dengan politisi senior yang sudah belasan atau puluhan tahun menjadi "penghuni" Senayan? Sejauhmana kontribusi mereka dalam proses pembuatan legislasi yang baik? Bagaimana caranya mereka membentengi diri sehingga tidak hanya berposisi sebagai sekedar suruhan para politisi senior untuk melakukan negosiasi awalan dengan para pengusaha yang ingin mendapatkan proyek-proyek yang didanai uang negara atau BUMN dengan misi "suci" mencari permodalan buat berbagai acara partai?

Anas Urbaningrum, Zumi Zola, dan Angelina Sondakh adalah sederetan politisi muda yang karier awalnya moncer tapi kemudian hancur setelah ditangkap oleh KPK. Ketika awal-awal bergabung mereka dipuja-puji sebagai kader-kader masa depan partai dan kader muda terbaik partai. Seketika 
setelah ditangkap KPK, para senior di partainya pun lepas tangan dan tak ada menganggapnya kader lagi.

Tantangan lain yang akan dihadapi oleh para politisi millenial itu adalah keberadaan produk-produk legislasi sekarang ini sangat mudah dimentahkan apabila jika dijudicial-reviewkan oleh berbagai LSM atau publik di Mahkamah Konstitusi. Bukan karena suara anggota DPR sekarang tidak lantang dan perdebatan perumusan RUU tersebut tidak sengit. Tetapi mereka tidak memiliki kecakapan dalam hal-hal yang bersifat teknis ketatangeraan dan kegagalan memahami filosofi Pancasila dan UUD 1945.

Satu hal yang mesti ditekankan kepada fenomena merebaknya politisi millineal ini adalah mengurus negara jangan dibuat seperti ajang "uji coba" pertandingan sepakbola. "Pemain" yang mendapatkan kesempatan unjuk gigi pun dalam pentas politik nasional seharusnya adalah orang-orang terbaik dan berpengalaman dalam hal ketata-negaraan, pembuatan UU, pengawasan yang efektif terhadap eksekutif dan yudikatif serta kemampuan merumuskan anggaran yang canggih. Bukan anak-anak muda mentah yang bisa tampil ke depan lebih banyak karena faktor kedekatan politik atau karena faktor jadi artis di sosial media atau karena dekat dengan petinggi partai, atau hanya sekedar pernah menjadi "aktivis sosial".

Padahal kalau kita mau jujur, sangat banyak orang-orang berpengalaman dan cerdas di BUMN kita, di jajaran kementerian kita, lembaga negara, di kampus-kampus kita dengan degree akademik yang mumpuni dan pengalaman yang mencukupi. Dan merekalah yang kemudian menjadi mitra diskusi, mitra kerja dan mitra negosisasi daripada anggota legislatif terpilih baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Jika dalam rapat koordinasi, rapat konsultasi, dan rapat perumusan kebijakan, anggota DPR/DPRD dari kaum millineal itu tak bisa mengimbangi intelektualitas dan pengetahuan teknis para pejabat yang ada di BUMN, Kementerian, Perguruan Tinggi, dan Lembaga-Lembaga Negara terus suasana politik apa yang akan terjadi di gedung Parlemen? Media tentu butuh "selebriti" untuk tampil dalam acara-acara talkshow mereka. Tentunya politisi millineal punya daya jual yang menarik. Tetapi dalam pengambilan kebijakan dan perumusan UU yang dibutuhkan bukan sekedar "menarik" tetapi kuatnya bacaan, cerdasnya intelektual dan kayanya pengalaman. 

Menurut saya, lebih baik para politisi menjalani "trial" terlebih dahulu dengan pertama-tama menjadi staf magang pembantu anggota DPR senior. Selepas itu, mereka bisa menimba pengalaman menjadi anggota DPRD kota/kabupaten dan kemudian naik tingkat menjadi anggota DPRD provinsi. Baru kemudian kalau skill dan keterampilan membuat PERDA dan APBD sudah canggih, silahkan mereka masuk dalam pentas perpolitikan nasional.

Buat teman-teman muda yang memang berminat jadi politisi, jangan kemudian jadi politisi ujug-ujug. Ujug-ujug bicara soal kepentingan rakyat, ujug-ujug jadi peduli sama rakyat. Lebih baik kembalilah ke desa masing-masing. Mengabdilah dengan menjadi pengurus atau direktur di BUMDES yang ada. Belajar mengelola uang dari dana desa yang telah dialokasikan oleh pemerintah untuk menjalankan BUMDES secara baik, profesional dan membawa kesejahteraan buat masyarakat.

Jalani pengabdian itu paling tidak selama lima tahun. Setelah itu tidak apa-apa kalau mau nyaleg. Toh, lima tahun itu sebentar. Jadi politisi juga tidak ada batasan umur dan tidak harus buru-buru di usia muda mentah.

Kalau ujug-ujug nyaleg tanpa bekal pengabdian masyarakat yang benar-benar teruji, hasilnya hanyalah parlemen yang tidak kuat, produk legislasi yang rapuh, berpeluang jadi makelar proyek negara, orientasi pengabdian ke partai di atas kepentingan rakyat, dan kalau celaka ya ditangkap sama KPK.

Pengabdian masyarakat yang cuma seperti "ayam bertelur", kalau dapat dana CSR baru bikin program, ya memang menarik untuk mempercantik CV dan menarik simpati publik serta publikasi media. Tetapi sebenarnya pengabdian masyarakat seperti itu tak akan ampuh ketika menjadi wakil rakyat di DPR. Bahkan malah proposal sumbangan akan membanjiri meja kerja. Yang jumlahnya bisa ratusan juta per bulan. Jika tak dikasih maka akan dicap sebagai politisi pelit oleh masyarakat dan elektabilitas pun turut tergerus.

Padahal dulu ketika jadi aktivis sosial dengan duit CSR dan sumbangan dari donatur sejumlah 10 juta rupiah saja, sudah bisa dibikin "booming" dengan mengundang media lewat program bantuan literasi atau beasiswa atau hadiah sepeda.

Tugas anggota DPR bukanlah bagi-bagi bingkisan. Tetapi mengawal uang negara yang ribuan triliyun dengan ketat tanpa kemudian menjadi makelar proyek pemerintah dengan fee sekian persen, membuat produk legislasi yang benar-benar membela kepentingan masyarakat serta tak gampang "knock out" jika dijudicial-review oleh MK.

(Anggun Gunawan, Ketua Bidang Publikasi dan Media Pusat Studi Pengkajian Nusantara, Anggota ICMI DI. Yogyakarta, Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada)


Tag :Politisi Millenial

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com