HOME OPINI OPINI

  • Jumat, 25 Januari 2019

Dana APBN, Beban Administratif Dan Mimpi Jadi Universitas Riset

AG Sutan Mantari
AG Sutan Mantari

Pada tahun 2015, UGM mendapatkan jatah APBN sebesar Rp. 790.344.169.550. Dari 790 miliar itu, lebih dari separohnya untuk membayar gaji karyawan dan dosen (Rp. 430.304.169.550). Sementara uang yang didapatkan UGM dari layanan pendidikan hanya Rp. 62.337.398.206.

Adapun pengeluaran UGM di tahun 2015 adalah Rp. 958.578.470.025. Sehingga UGM harus mencari dana hibah, kerjasama dan membuat jenis-jenis usaha untuk menutupi beban operasional yang melebihi akumulasi dana APBN dan pemasukan dari produk-produk layanan pendidikan.

Ketika jumlah mahasiswa D3-S3 semakin banyak tiap tahunnya, di tahun 2017 ini malah terjadi penurunan anggaran untuk Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi dari 40 T di tahun 2016 menjadi 39 T di tahun 2017.

Saya melihat keberhasilan pimpinan universitas (negeri), salah satunya, adalah bagaimana mereka bisa menutupi kekurangan slot budget APBN yang diberikan oleh pemerintah untuk membiayai berbagai kegiatan kampus. Sehingga apa yang sudah digagas oleh Menteri Pendidikan di zaman SBY dengan membuat program S2 dan S3 Manajemen Perguruan Tinggi untuk mengisi slot pimpinan Universitas, Fakultas di perguruan tinggi adalah ide yang jitu.

Sekarang professor dan doktor brilian di perguruan tinggi banyak disibukkan dengan jabatan-jabatan administratif. Sementara Guru Besar yang kita miliki saat ini hanya 5000-an orang. Sedangkan dosen yang bergelar Doktor cuma 31-an ribu (2017). Sementara jumlah mahasiswa yang mesti mereka bimbing dan didik ada 3 juta orang. Jika jumlah mahasiswa doktoral di perguruan tinggi di seluruh indonesia 10% dari total 3 juta itu, maka satu orang professor menangani 60 proposal disertasi tiap tahunnya. Sebuah beban yang berat, apalagi banyak di antara profesor tersebut memegang jabatan politis, administratif dan organisasi sosial kemasyarakatan.

Beban sampingan sebagai akademisi itulah yang kemudian membuat banyak professor dan para doktor di Indonesia secara rata-rata kalah bersaing dalam hal kuantitas jumlah publikasi ilmiah dibandingkan dengan kolega-koleganya di negara lain. Kampus kemudian hanya disibukkan dengan ritual penerimaan mahasiswa baru dan wisuda setiap tahun, sehingga agak kesulitan untuk mengimbangi kemampuan untuk memberikan bekal bagi mahasiswanya menghadapi persaingan dunia kerja yang sangat kompetitif dewasa ini. Akibatnya, pengangguran terdidik menjadi persoalan serius yang melanda Indonesia dalam tahun-tahun ke depan.

Mungkin sudah saatnya dunia pendidikan Indonesia berbenah. Melakukan gerakan radikal seperti pemisahan wilayah administratif dan akademis termasuk sumber daya manusia yang mengisinya bisa menjadikan Perguruan Tinggi di Indonesia lebih sehat secara akademis dan sehat secara finansial. Para dosen bisa fokus untuk melakukan riset-riset ilmiah yang aplikatif. Dan para mahasiswa mendapatkan pelayanan "prima" dari dosen-dosennya.

Kembali mengambil kasus UGM yang mengelola dana 1 triliyun setiap tahun, kehadiran seorang CEO yang punya skill manajerial yang bagus sangat membantu penguruan tinggi untuk bisa "survive" secara ekonomi. Meskipun visi dasar perguruan tinggi adalah melahirkan sumber daya manusia, tetapi kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh perguruan tinggi tidak bisa lepas dari ketersediaan dana.

Untuk menghelat 1 seminar saja, paling tidak butuh dana 50 sampai 100 juta. Biaya semakin membengkak kalau seminar tersebut menghadirkan pembicara dari luar negeri. Belum lagi untuk sebuah riset serius yang memakan waktu bertahun-tahun. Paling tidak dibutuhkan uang miliaran rupiah. Untuk menutupi biaya-biaya yang menjadi denyut jantung sebuah perguruan tinggi itu dibutuhkan seorang CEO yang mampu menarik investor dari kalangan industri dan bisa membuat bentuk-bentuk usaha mandiri. Ketika kerja-kerja diberikan kepada orang profesional, kita bisa berharap perguruan tinggi di Indonesia mulai mengurangi ketergantungannya kepada negara (untuk UGM saja 70% anggaran tahunnya dicover oleh APBN).

Nah, ketika proses "bisnis" perguruan tinggi sudah dipegang oleh orang khusus "bukan dosen", kita bisa berharap banyak kepada para doktor dan profesor di perguruan tinggi untuk mengupdate ilmunya lebih cepat. Melakukan riset-riset serius yang bisa diimplementasikan oleh dunia industri dan dijadikan perumusan kebijakan. Tidak hanya sekedar riset asal-asalan untuk bisa mengakses dana hibah penelitian yang disiapkan oleh pemerintah. Ketika waktu yang dimiliki oleh dosen semakin banyak untuk melakukan riset dan membaca berbagai literatur dari rekan-rekannya sesama dosen di berbagai belahan dunia, ada harapan kita lebih banyak mendapati status artikel bernas dan informasi publikasi ilmiah yang mengisi akun sosial media mereka. Bukan hanya sekedar foto-foto jalan-jalan dan status yang ngak jelas yang tidak mencerahkan masyarakat.

Selain itu, dosen bisa melepaskan diri dari pertarungan politis sesama mereka untuk menduduki berbagai jabatan di kampus. Sudah jadi cerita umum, kalau ada seseorang yang mau jadi Rektor, maka ia harus punya koneksi yang bagus kepada Menteri Ristek dan Dikti. Kalau ada dosen yang mau maju jadi Dekan, maka ia harus punya hubungan yang baik dengan rektor. Dan biasanya ada sentimen-sentimen kedaerahan, organisasi, ideologi, almamater dan masalah-masalah psikologis yang membuat pertarungan "politik" kampus sering membuat suasana kampus tidak kondusif.


Tag :opini AG Sutan Mantari

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com