HOME OPINI FEATURE

  • Minggu, 20 Juni 2021

Batik Ekoprint Dengan Desain Budaya Lokal, Kian Menasional ; Produksi Sanggar Canting Buana Kreatif Padang Panjang

Ketekunan berkarya dengan keunikan budaya lokal dan alam nan indah, mengantarkan Sanggar Canting Buana makin menasional.
Ketekunan berkarya dengan keunikan budaya lokal dan alam nan indah, mengantarkan Sanggar Canting Buana makin menasional.

Padang (Minangsatu) - Siapa sangka kerajinan batik, baik cetak maupun batik tulis sebagai salah satu warisan dunia versi UNESCO dan cuma ada di Indonesia, sudah berkembang di ranah Minang.

Dalam sejarah perjalanannya, batik semula berkembang pesat di Solo dan Yogyakarta serta beberapa daerah lain di pulau Jawa, ternyata dalam lebih satu dekade terakhir mulai bermunculan di Sumatera Barat dengan desain dan motif-motif "budaya lokal" yang mencengangkan publik tanah air.

Dan, bukan hanya batik tulis dan cetak dalam beberapa tahun terakhir juga hadir batik Ekoprint mulai merambah dunia tekstil. Ekoprint memunculkan beragam motif yang bersumber alam lingkungan serta lingkungan bernilai estetika tinggi.

Hal itu pulalah yang digagas dan dikembangkan Widdi Yanti (42 th) pemilik sanggar Canting Buana Kreatif Batik. Ia, salah seorang peserta EXPO # 5 Kriya Batik empat provinsi Sumatera yang diadakan ISI (Institut Seni Indonesia) di galeri Taman Budaya, Sumbar, Jalan Diponegoro 31 Padang.

Di sela-sela kesibukannya, Sabtu (19/06/21), Widdi Yanti menururkan dalam setahun terakhir sejumlah tokoh nasional pun mulai melirik batik tulis karya "Sanggar Canting Buana Kreatif" bermuatan budaya lokal. Karyanya yang menampilkan desain dan motif-motif ragam hias Minangkabau menggoda pengunjung sanggar. Mereka kemudian mengoleksinya menjadi busana menarik sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan terhadap batik "urang awak" itu.

Sejumlah tokoh nasional yang sudah mengoleksi batik tulis dan ekoprint Sanggar Canting Buana Kreatif tersebut diantaranya Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Refly Harun, Ustad Abdul Somad, Dr.Jerry Sambuaga (Wakil Menteri Perdagangan RI) bahkan puluhan pejabat publik serta kalangan dunia pendidikan di Sumatera Barat.

Widdi Yanti, seniman batik nasional yang juga asesor batik nasional dan penggagas diwujudkankanya ekoprint di Sumbar, yang juga dosen kriya seni ISI Padang Panjang itu, menyebutkan, bila diamati secara sepintas ekoprint layaknya seperti batik biasa tapi bernilai seni tinggi. Padahal ekoprint berbeda jauh dengan batik, baik proses pengerjaannya maupun bahan-bahan yang digunakan.
Untuk batik tulis, batik cap banyak publik yang telah memahami proses pembuatannya, sementara untuk proses pengerjaan ekoprin memaanfaatkan bagian dari tumbuh-tumbuhan alami non kimiawi. Bahan alami yang ramah lingkungan dengan media kulit, kertas, keramik dan kayu.

"Teknik membuat motif kain dari tumbuh-tumbuhan seperti bunga, daun dan akar yang diletakkan di atas kain. Untuk warna dasar menggunakan pewarna alam air rebusan jengkol, kulit nangka atau kulit manggis," ujar Widdi Yanti lagi.

Proses pengerjaan ekoprint tidak terlalu sulit. Artinya cukup dengan daun daun berupa daun jati, daun si kaduduak yang banyak dijumpai di hutan-hutan atau di sekitar tempat tinggal kita, dapat dijadikan motif bernilai seni dan estetika tinggi. "Jika menginginkan dasar kain berwarna, dapat pula membuat warna alam sendiri seperti air rebusan kulit jengkol, air rebusan teh, air rebusan kulit mangis. "Hasil warna akhir tergantung dari bahan pengunci yang digunakan," ujar Widdi Yanti memaparkan.

Sesuai langkah dan prosedur ekoprint, mulanya kain dimordant dengan menggunakan tawas kemudian dicuci melalui proses seperti ; meletakkan bunga atau daun diatas kain. Kemudian dipukul-mukul daun yang ada diatas kain, dilanjutkan dengan proses kukus dimana kain setelah dibentang diletakkan bunga atau daun diatas kain untuk digulung dan diikat selama lebih kurang 2 jam. Kain kemudian diangin-anginkan, diperkuat dengan fiksasi (alat pelindung) guna mengunci warna dengan tawas atau cuka hingga selesai dikerjakan.

Saat ditanya sejak kapan ia merintis tektil ekoprint berenilai estetika tinggi itu, menurut Widdi Yanti, persisnya sejak tiga tahun lalu di sela-sela tugasnya menjadi asesor batik nasional bersama sejumlah dosen ISI Yogyakarta jurusan seni kriya dalam banyak kesempatan.

Melalui puluhan bahkan ratusan karya ekoprint yang dihasilkannya diluar batik tulis dan cetak, mulai diperkenalkannya melalui iven pameran Seni Rupa dan Industri Keratif dalam rangka Hari Pers Nasional di Taman Budaya Padang 2018 lalu. Juga diperkenalkan  pada iven “Visual art and film exhibition ekpression of visual various” Indonesia (ISI Padangpanjang) - Malaysia (Unimas) November  2017 University Malaysia Serawak, Malaysia dan serta sejumlah penting lainnya," ujar Widdi Yanti.

Pengamat dan kurator seni rupa, Muharyadi, saat diminta tanggapannya perihal batik dunia seni batik di Sumatera Barat atau seniman batik asal Sumatera Barat menyebutkan, saat ini sedikitnya terdapat 4 (empat) srikandi pembatik Indonesia “urang awak” yang terus mengapungkan debutnya. Mereka tampil dengan beragam eksplorasi dan motif unik, tanpa mengabaikan budaya lokal. Ciri khas itu mampu mencengangkan publik dengan karya-karya batik dan ekoprint.

Seniman/pembatik urang awak tersebut adalah Yunizah “Sanggar Batik Basurek” di Bengkulu, Maryeni dengan “Sanggar Batik Minang” di Baso, Kabupaten Agam, Zulmi Aryani sanggar “Azyanu Batik”,  Muara Labuah, Solok Selatan dan Widdi Yanti “Sanggar Canting Buana Kreatif” di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ke empatnya kini karya batiknya jadi lirikan publik nasional karena desain karyanya terus mengalir dengan eksplorasi kekinian. 


Tag :#batik tulis#batik cetak#batik ekoprint#khas ranah minang#sumatera barat

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com