- Minggu, 24 Juli 2022
'No Free Lunch'
'No Free Lunch'
Tak ada makan siang yang gratis. 'No free lunch', sangat populer sebagai idiom ekonomi di negara-negara Barat, atau lebih lengkapnya disebut 'there is no free lunch' yang diartikan sebagai tak ada sesuatupun yang cuma- cuma alias gratis.
Istilah itu konon muncul di New york Times pada tahun 1872 sebagai tren umum di Cresent City New Orleans, dimana sebuah rumah makan memberikan makan gratis kepada pengunjungnya, akan tetapi harus membayar untuk minumnya. Pengunjung yang makan gratis itu tentu saja harus minum, tak mungkin makan tanpa minum, tapi bisa minum tanpa makan. Bayaran minum sesudah makan, akhirnya dapat menutup biaya makan gratisnya tersebut, sehingga muncul istilah 'No Free lunch'.
Akhirnya istilah 'no free lunch' menjadi idiom yang populer dan berkembang secara masif, dan digunakan tidak sebatas peristiwa ekonomi seperti model marketing sebuah restoran di New Orleans tersebut. Bahwa bila sesorang mengajak makan siang untuk istilah ditraktir atau dibayarkan, sesungguhnya di dalamnya terkandung 'utang' atau pinjaman sementara, karena di lain waktu orang yang ditraktir saat itu punya tanggungjawab moral pula untuk membaýarkan orang yang mentraktirnya. Dalam hal lain juga bisa dimaknai sebagai sebuah kompensasi untuk meloloskan sesuatu permintaan pada kesempatan lain karena disebabkan adanya utang moral tadi.
Pemikiran barat yang cenderung individualistis, menganggap bahwa membayarkan orang lain makan selalu terkandung maksud lain. Mereka begitu akrab dengan istilah 'lobby melobby'. Meloby kadang diawali dengan makan siang atau minum kopi. Tentu selalu ada dalam harapan di balik lobby tersebut, apakah itu berupa permintaan sesuatu kepada sesorang yang berhak memutuskan sesuatu ( kebijakan ), mendapatkan izin, atau untuk memperoleh peluang bisnis dan berbagai manfaat lainnya.
Dilihat dari makna secara positif, 'no free lunch' dapat juga menyadarkan banyak orang bahwa segala keberhasikan tak mungkin diraih dengan cuma-cuma, semua harus punya tarif, harus ada kerja keras dan cerdas (no pain no gain). Walaupun Tuhan sudah mentakdirkan hambanya memperoleh sesuatu, tapi ikhtiar tetap penting ( tajrid ), kecuali yang bersifat ( tahrib ), ada dengan sendirinya.
Berbeda dengan pandangan banyak orang di dunia barat yang cenderung materialistik dan nyaris menggunakan akal semata dalam memaknai hidup serta bersifat individualistik, orang timur biasanya dalam memberi sesuatu tak selalu memiliki motif lain, tapi pemberian dianggap sebagai bagian dari sikap tolong-menolong, bantu-membantu, menjalin silaturrahiim, berbagi suka dan duka, walaupun tak dapat dinafihkan niat semacam itu mungkin saja ada.
Dalam tradisi suku-suku bangsa timur, terkait hal ini, bahkan menjadi tradisi yang sangat mengakar. Rasa kekeluargaan dalam sebuah komunitas kecil dan besar kadang diwujudkan dalam bentuk saling memberi.
Masyarakat Minang misalnya, dahulu kebiasaan ini sangatlah hidup. Tradisi membagi lamang, katan, kolak, bubur, lauk atau randang dan lainnya pada tetangga atau sanak famili di waktu waktu tertentu, seperti 'hari baik, bulan baik', syukuran, kemalangan , saat panen padi dan sebagainya sangat lazim dijumpai, terutama di nagari-nagari (desa).
Sejak kapan tradisi ini mulai ada, saya kira tak banyak yang tahu, bisa saja dimulai setelah ajaran islam berkembang luas di Minangkabau, sebagai implementasi dari hadist Rasulullah yang menyuruh ummat beliau untuk saling memberi. Bahkan Rasulullah pernah menyuruh mengantarkan masakan kambing kepada tetangga beliau meskipun seorang Yahudi (berbeda keyakinan).
Idiom "no free lunch', yang muncul di dunia barat dan idiom-idiom lainnya, kadang tak berlaku untuk semua masyarakat. Biarlah dunia barat berjalan dengan pikirannya sendiri dan dengan kelakuannya sendiri, tapi masyarakat kita berjalan pula dengan nilainya sendiri tanpa harus mengikutinya dalam banyak hal, seperti pandangan mereka terhadap wanita, terhadap pergaulan, terhadap adab berpakaian, terhadap sopan santun, terhadap kepatutan dan kepantasan, serta terhadap banyak hal lainnya.
Hal tersebut diakibatkan karena akar pemikiran barat bersumber dari nilai kebebasan dan individualitis, sementara akar pemikiran timur, khususnya indonesia, lebih khusus lagi Minangkabau berangkat dari nilai agama ( Islam ). Sepanjang agama melarangnya, maka apapun bentuk perilaku sosal, tertolak dengan sendirinya, dan apa yang diperintah agama, diupayakan untuk dikerjakan.
Karena itu, pikiran yang menganggap barat sebagai sesuatu yang patut ditiru dalam segala hal, disebabkan karena secara faktual lebih maju dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan tingkat kesejahteraan rakyatnya, adalah sesuatu yang keliru.
Pertarungan konsep ini akan terus berlangsung dalam kehidupan nyata. Kaum milenial yang tak berbasis kuat dengan nilai sosial lokal, pelan-pelan tergerus dengan nilai-nilai barat. Ujungnya bisa beragam. Bisa terjadi akulturasi budaya, bisa juga kekalahan total. 'Jalan dialiah urang lalu, cupak diganti urang manggaleh' kata orang Minang. Atau tetap eksis dengan nilai lokal yang merujuk pada nilai agama, dalam arti, 'diansak indak mati, dibubuik indak layua'.
Dalam hal ini, 'free lunch', bagi orang minang 'is ok' atau sah-sah saja. Bukan dimaknai sebagai 'ada udang dibalik batu', tapi silaturrahim untuk saling memberi dan menerima,
'saketek samo dicacah,
banyak samo dilapah.
adat di lawik sambia-manyambia,
adat di rimbo bantu-mambantu'
Bersedekah itu adalah amal yang amat mulia.
Jakarta, 24 Juli 2022
DR. Gamawan Fauzi.
Tag :#gamawanfauzi #opini #minangkabau #minangsatu #sumaterabarat #nofreelunch
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
SEMUA ADA AKHIRNYA
-
PERKEMBANGAN TERKINI PENGGUNAAN BIG DATA DI SISTEM E-GOVERNMENT
-
MERASA PALING HEBAT, JANGAN MAIN LABRAK SAJA
-
PEMANFAATAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK E-GOVERNMENT
-
ANGGOTA DEWAN JANGAN SEKADAR JADI TUKANG SALUR PROYEK
-
SEMUA ADA AKHIRNYA
-
PERKEMBANGAN TERKINI PENGGUNAAN BIG DATA DI SISTEM E-GOVERNMENT
-
MERASA PALING HEBAT, JANGAN MAIN LABRAK SAJA
-
KALA NOFI CANDRA MENEBUS JANJI KE TANAH SUCI
-
PEMANFAATAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK E-GOVERNMENT